APIDI BUKIT MENOREH SERI 1 API DI BUKIT MENOREH Sebuah sandiwara radio kolosal yang membawa anda kembali pada sejarah masa lalu dimasa Kerajaan Pajang, Jipang Panolan dan Watch Now. Film Api di Bukit Menoreh Part 1 Watch Now. Film Api di Bukit Menoreh Part 2 Watch Now. ♦ 15 Juli 2010 Demikian Wikan itu tegak berdiri, maka lawannya yang lebih kecil itu segera menyerangnya. Tetapi lawannya itu menjadi semakin berhati-hati agar ia tidak lagi dapat disekap oleh tangan Wikan. Karena itu, maka anak itu telah berusaha menyerang dengan cepat kemudian menjauhinya dengan cepat pula. Demikian Wikan tegak berdiri, maka lawannya yang kecil itu pun telah meloncat. Kakinya terjulur dengan derasnya mengarah ke dada Wikan. Wikan yang baru saja berdiri tegak itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat banyak. Kaki itu benar-benar telah mengenainya. Demikian kerasnya sehingga Wikan itu terdorong surut. Ternyata lawannya yang marah itu tidak memberinya kesempatan. Anak itu telah meloncat memburunya. Dalam keadaan goyah, maka serangan anak itu telah mendorongnya. Satu pukulan yang keras mengenai kening Wikan. Wikan tidak dapat mengelak. Pukulan itu telah membuatnya menjadi pening. Tetapi Wikan tidak terjatuh karenanya. Meskipun ia menjadi terhuyung-huyung, tetapi Wikan itu tetap mampu bertahan berdiri diatas kakinya. Namun lawannya benar-benar tidak mau memberikan kesempatan. Kemarahannya tidak lagi membuatnya sempat menahan diri. Dengan sekuat tenaganya, anak itu telah menyerang lagi dengan kakinya mengenai perut Wikan. Serangan itu demikian kerasnya, sementara Wikan masih belum sempat memperbaiki keseimbangannya, sehingga Wikan telah terjatuh lagi di atas pasir tepian. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu sama sekali memang tidak mau memberinya kesempatan. Demikian Wikan berusaha untuk bangkit, maka anak itu pun segera menyerangnya. Bahkan beberapa kali, sehingga Wikan benar-benar tidak sempat untuk berdiri. “Curang! Kau curang!“ teriak Wikan. Suaranya bergetar tinggi. Untuk beberapa saat Wikan itu masih tetap berbaring, karena ia memang tidak mendapat kesempatan untuk berdiri. Lawannya yang kecil itu seakan-akan menungguinya dan siap untuk menyerang setiap saat. Yang dicemaskan Pinang itu terjadi. Wasis yang berdiri di atas tanggul itu pun segera meloncat turun. Dengan kasar ia membentak-bentak, “Kau curang anak iblis! Sebelum ia berdiri, kau tidak boleh menyerang.” “Aku sudah menunggu ia berdiri,” jawab lawan Wikan itu. “Tetapi ia belum sempat berdiri tegak,” geram Wasis. “Suruh ia berdiri,” jawab anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu, “aku menunggunya.” Tetapi Glagah Putih sudah mendekatinya. Sambil memegangi pergelangan tangan anak itu, maka ia berkata, “Sudahlah. Kau masih harus menyelesaikan pekerjaanmu, menggiring ikan itu masuk ke dalam air.” “Aku tidak akan lari,” jawab anak itu, “jika ia masih ingin berkelahi, aku akan berkelahi.” “Biar mereka menyelesaikan perkelahian itu,“ sahut Wasis, “tetapi anak itu pantas mendapat hukuman lebih dahulu karena kecurangannya.” “Hukuman?” bertanya Glagah Putih. “Ya. Ia sudah berbuat curang,” jawab Wasis. “Sudahlah. Biarlah anak ini aku ajak pergi. Perkelahian tidak menguntungkan anak-anak itu. Mungkin seketika mereka tidak merasa sakit. Tetapi besok, bangun tidur, seluruh tubuh mereka akan terasa sakit-sakitan.” “Tidak peduli,” jawab Wasis, “serahkan anak itu. Ia harus dihukum.” “Jangan. Biarlah aku membawanya pergi,” jawab Glagah Putih. “Berikan kepadaku, atau kau yang akan mendapat hukuman itu!“ bentak Wasis. “Siapa yang akan menghukum aku?” bertanya Glagah Putih. “Aku,” jawab Wasis. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Wasis itu masih lebih muda dari Glagah Putih. Tetapi tubuhnya memang nampak kekar dan kuat. Meskipun demikian, Glagah Putih merasa sangat segan bertengkar dengan anak itu. Apalagi ia tamu di rumah Pinang. Karena itu, maka Glagah Putih tidak melayaninya. Bahkan digandengnya anak yang tinggal bersamanya itu untuk menjauh. Anak itu memang meronta. Katanya, “Biar aku selesaikan perkelahian ini.“ “Sudahlah,” jawab Glagah Putih, “kita tinggalkan mereka.“ “Tetapi anak itu tidak boleh mengambil ikan di pliridan.” “Ya. Ia tidak akan mengambilnya,” jawab Glagah Putih. Anak yang gemuk itu sudah berdiri. Tetapi ia mulai mengaduh kesakitan. Seluruh tubuhnya mulai terasa sakit. Tulang-tulangnya, kulit dagingnya. Bibirnya yang pecah, matanya yang mulai membengkak, sedangkan telinganya menjadi seolah-olah mengiang-ngiang. “Ia menyakiti aku Kakang,“ Wikan mulai merengek. Karena itu, maka Wasis itu pun berkata lantang, “Serahkan anak itu kepadaku! Ia harus dihukum!” “Sudahlah. Seharusnya kita melerai anak-anak yang berkelahi. Jangan justru kita hanyut dalam perkelahian itu,” jawab Glagah Putih. Tetapi Wasis yang menjadi sangat marah karena kekalahan Wikan itu tidak menghiraukannya. Apalagi ketika Wikan mulai merengek, “Tangkap anak itu Kakang. Aku belum membalasnya.” “Cengeng!“ teriak anak yang pergelangan tangannya masih tetap dipegang oleh Glagah Putih itu. Sambil menarik tangannya, Glagah Putih berkata, “Diam kau.” Namun Wasis melangkah mendekati Glagah Putih sambil berkata lantang, “Serahkan anak itu!” “Aku sedang berusaha melerai perkelahian itu. Adalah tidak pantas jika kita berkelahi karena sebab yang tidak jelas. Atau katakan, karena persoalan ikan di pliridan.” “Aku tidak peduli!” jawab Wasis dengan lantang. Pinang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia justru berharap agar Glagah Putih membuat Wasis juga menjadi jera. Menurut pendengarannya, Glagah Putih adalah seorang anak muda yang berilmu sangat tinggi. Namum dalam pada itu Glagah Putih berkata, “Ki Sanak. Kita sudah terlalu besar untuk berkelahi. Apalagi aku. Aku agaknya lebih besar dan lebih tua dari kau. Jika kita berkelahi, maka orang-orang yang mungkin melihat akan mencela aku. Jika aku menang, tentu sudah sewajarnya karena aku lebih besar. Tetapi jika aku kalah, maka aku akan dicemoohkan orang karena aku kalah dari seorang yang lebih muda dari aku.” “Aku tidak peduli. Meskipun lebih muda aku tidak takut.” “Aku percaya kalau kau tidak takut. Tetapi tidak pantas jika kita berkelahi.” Wasis tidak menghiraukannya. Sambil melangkah maju, Wasis berusaha untuk menggapai anak yang masih tetap dipegangi oleh Glagah Putih. Tetapi anak itu segera memutar dirinya ke belakang Glagah Putih. Tetapi Wasis berusaha untuk mengejarnya sambil berkata, “Serahkan anak itu, atau kita berkelahi.” Tetapi Glagah Putih tidak menyerahkan anak itu. Bahkan ia selalu membayangi usaha Wasis untuk menangkapnya. Karena itu Wasis menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ia menyerang Glagah Putih. Tangannya teranyun dengan derasnya memukul dada Glagah Putih yang terbuka. Pinang terkejut. Namun kemudian wajahnya berkerut. Ia melihat Glagah Putih sama sekali tidak bergerak. Ia masih saja tetap berdiri tegak sambil memegangi anak yang tersembunyi di balik tubuhnya itu. Sebenarnyalah Glagah Putih memang tidak bergerak. Ia tidak mengelak dan tidak menangkis. Dibiarkannya Wasis menyerangnya, sementara Glagah Putih hanya meningkatkan saja daya tahan tubuhnya sehingga pukulan Wasis itu tidak menyakitinya. Wasis terkejut melihat akibat dari serangannya. Selama ini ia merasa sebagai seorang anak muda yang disegani oleh kawan-kawannya. Tetapi anak muda yang berdiri di hadapannya itu sama sekali tidak bergetar oleh serangannya. Dengan sekuat tenaganya Wasis telah mengulangi serangannya. Demikian kerasnya. Namun ternyata Glagah Putih masih saja berdiri tegak di tempatnya. Wasis yang marah itu masih mengulangi dua tiga kali. Tetapi serangannya itu sekan-akan sama sekali tidak terasa. Bahkan tangannya sendiri-lah yang mulai merasa sakit. Ketika Wasis kemudian berhenti, maka Glagah Putih pun berkata, “Jika kau sudah puas, ajak adikmu pulang. Ingat, jangan mengganggu anak-anak Tanak Perdikan ini. Seharusnya mereka menjadi kawan bermain, bukan lawan berkelahi. Ingat pula, menurut kesepakatan orang-orang Tanah Perdikan ini, ikan yang berada di pliridan menjadi hak mereka yang membuat dan menutup pliridan itu, sehingga orang lain tidak boleh mengambilnya.” Wajah Wasis menjadi sangat tegang. Tetapi ia tidak melihat ancang-ancang Glagah Putih untuk membalasnya. Anak muda itu bahkan kemudian melangkah mundur sambil berkata, “Selamat malam. Aku harap kau mendengar kata kataku.” Wasis tidak menjawab. Tetapi jantungnya terasa berdetak semakin cepat. Ia tidak mengerti, kenapa anak muda itu sama sekali tidak tergetar oleh serangan-serangannya. Glagah Putih seakan-akan tidak menghiraukan lagi Wasis yang mematung. Ia juga tidak menghiraukan lagi Wikan yang kebingungan. Digandengnya anak yang tinggal bersamanya itu melangkah pergi. Tetapi Wikan itu masih berteriak, “He, anak cengeng!” Anak itu tidak menjawab. Iapun kemudian melangkah di sebelah Glagah Putih menuju ke pliridannya sendiri. Dalam pada itu, Wasis berdiri tegak dengan dada yang bergejolak. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Anak muda itu, yang sedikit lebih besar dan lebih tua daripadanya, seakan-akan memiliki perisai di dadanya, sehingga ia sama sekali tidak goyah oleh pukulan-pukulannya. Di luar sadarnya, Wasis itu berpaling kepada Pinang dan bertanya, “Siapakah anak muda itu Pinang?” “Namanya Glagah Putih,” jawab Pinang. Lalu katanya, “Anak muda itu-lah yang memimpin pengawal Tanah Perdikan ini, di samping Kakang Prastawa, kemenakan Ki Gede.” Wajah Wasis menjadi semakin tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi ia salah seorang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan ini?” “Ya,” jawab Pinang. “Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku sebelumnya?” bertanya Wasis. “Bukankah dengan demikian, maka kau akan menghentikan kenakalan Wikan? Selama ini seolah-olah Wikan telah berbuat apa saja menurut kemauannya sendiri, tanpa menghiraukan tatanan kehidupan anak-anak di padukuhan induk ini. Jika ia menghadapi perlawanan, maka kau selalu membantunya. Bahkan kau tidak segan-segan membantu adikmu, sehingga terasa sangat mengganggu anak-anak yang sedang bermain. Kau dan Wikan juga tidak pernah mendengarkan jika aku mencoba mencegahmu. Nah, adalah kebetulan bahwa kau bertemu dengan Glagah Putih di sini. Tetapi kau masih beruntung, bahwa Glagah Putih tidak berbuat apa-apa atasmu. Jika tanganmu terasa sakit, itu karena kau menyakiti dirimu sendiri.” “Jika ia salah seorang pemimpin pengawal, apakah ia dapat menangkap aku?” bertanya Wasis. “Jika ia menghendaki, ia tentu dapat melakukannya. Tetapi rasa-rasanya Glagah Putih tidak akan berbuat demikian. Jika ia mau, ia dapat mengatasimu langsung malam ini. Meskipun ia berhak dan bahkan mampu melakukannya, tetapi ia tidak melakukannya.” Wasis termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata kepada adiknya, “Kita pulang. Kau tidak boleh mengambil ikan di dalam pliridan, apalagi yang sudah tertutup.” “Tetapi…” Wikan masih akan membantah. “Jika kau tidak mau mendengar kata-kataku, kali ini aku sendiri yang akan memukulimu,” jawab Wasis. Wikan memang menjadi takut. Karena itu, maka ia tidak membantah lagi ketika Wasis mendorongnya meninggalkan tepian. Sejenak Pinang termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata kepada kedua orang anak yang memiliki pliridan itu, “Aku akan pulang.” Kedua orang anak itu tidak menjawab. Tetapi ia memandangi saja Pinang yang kemudian melangkah naik ke tanggul dan berjalan di sebelah Wasis. Beberapa saat kemudian ketiga orang itu pun telah hilang di dalam kegelapan. Sementara itu, sambil berjalan Wasis masih bertanya, “Kenapa Glagah Putih yang merupakan salah seorang pemimpin pengawal itu berkeliaran di sungai malam-malam begini?” “Glagah Putih menyertai anak yang tinggal bersamanya di rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu,” jawab Pinang. “Apakah anak itu takut turun sendiri?” bertanya Wasis pula. Pinang menggeleng. Katanya, “Tidak. Biasanya anak itu turun sendiri. Adalah kebetulan bahwa malam ini ia turun bersama Glagah Putih.” Wasis tidak bertanya lagi. Namun ia menyesal bahwa ia sudah terlibat dalam perselisihan dengan salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Wasis semakin menyesali sikapnya, karena anak muda yang bernama Glagah Putih itu tenyata memiliki kelebihan di atas anak muda kebanyakan. “Seandainya ia membalas,“ berkata Wasis di dalam hatinya. Wasis memang membayangkan seandainya Glagah Putih itu membalasnya, maka nasibnya tentu menjadi sangat buruk. Tetapi ternyata Glagah Putih itu tidak membalas. Sementara itu Glagah Putih masih sibuk membantu anak yang tinggal bersamanya di rumah Agung Sedayu itu menggiring ikan yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Apalagi karena malam sudah menjadi terlalu jauh, mereka tidak akan membuka pliridannya untuk yang kedua, karena hasilnya tentu tidak akan memadai. Dalam pada itu, anak itu masih saja bergeremang sambil menggiring ikan, “Seharusnya kau biarkan aku berkelahi.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kakaknya tentu akan turut campur.” “Kau cegah kakaknya turut campur. Aku akan menyelesaikan adiknya.” “Sudahlah. Jangan terlalu bergairah untuk berkelahi,“ berkata Glagah Putih. “Aku mempertahankan diri,” jawab anak itu. “Karena itu, aku biarkan kau berkelahi sampai kau mendapatkan satu isyarat bahwa kau menang. Bukankah itu sudah cukup?” “Tetapi kau tidak menunjukkan bahwa kau menang melawan kakaknya,“ berkata anak itu. “Ah, itu tidak perlu bagiku. Aku justru menghindari perkelahian itu. Bukankah lebih baik begitu daripada harus berkelahi malam-malam di tepian? Pakaianku akan menjadi kotor, dan bahkan mungkin aku akan tercebur kedalam air lengkap dengan celana, kain, baju dan bahkan ikat kepalaku.” Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia sudah selesai menggiring ikan, sehingga ikan yang terperangkap di dalam pliridan itu sudah masuk ke dalam icir. Dengan demikian, maka Glagah Putih telah mengambil icir yang dipasangnya dan dibawanya ke tepian berpasir. Ketika icir itu dibuka, ternyata mereka mendapat cukup banyak ikan dan udang sungai. Nampaknya ikan itu dapat mengurangi kekesalan hati anak itu. Karena itu, ketika ia berjalan pulang, ia sudah tidak bersungut-sungut lagi. Meskipun demikian, anak yang pulang sambil menjinjing kepis berisi ikan itu masih juga bertanya, “Kenapa kau sama sekali tidak membalas ketika Wasis itu memukulmu?” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Tidak ada gunanya.” “Apakah kau tidak merasa sakit?” bertanya anak itu pula. “Tentu saja sakit. Tetapi perasaan sakit itu masih berada pada batas yang dapat diatasi,” jawab Glagah Putih pula. Anak itu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian justru berjalan semakin cepat. Glagah Putih yang berjalan sambil membawa icir yang basah mengikutinya saja di belakang. Namun menjelang fajar anak itu tidak akan turun lagi ke sungai, karena ia memang tidak membuka lagi pliridannya. Karena Wikan yang gemuk itu, maka ia telah kehilangan waktu dan kehilangan kesempatan menutup pliridannya untuk kedua kalinya di malam itu. Di sisa malam itu, Glagah Putih masih sempat beristirahat setelah membersihkan dirinya di pakiwan. Seperti biasanya pagi-pagi Glagah Putih sudah menimba air mengisi jambangan, sedangkan anak yang semalam berkelahi itu sibuk membersihkan ikannya. Sementara itu, Ki Jayaraga yang benar-benar telah pulih kembali, sedang sibuk menyapu halaman depan. Sementara Wacana yang sudah merasa menjadi bertambah baik, telah mencoba pula untuk berbuat sesuatu. Meskipun dengan perlahan, Wacana ikut membersihkan halaman samping rumah Agung Sedayu itu. “Jangan memaksa diri, Ngger,“ berkata Ki Jayaraga yang kemudian mendekatinya. Wacana tersenyum. Katanya, “Aku sudah sehat Ki Jayaraga. Tenagaku sudah pulih kembali.” “Tetapi Angger masih harus berhati-hati. Jangan terlalu letih,“ berkata Ki Jayaraga. Wacana mengangguk sambil menjawab, “Baik Ki Jayaraga.“ Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Tetapi Wacana memang sudah menjadi semakin baik. Dalam pada itu, setelah selesai mengisi jambangan, Glagah Putih pun telah pergi ke dapur. Rara Wulan yang sibuk membantu Sekar Mirah menyiapkan minuman panas, tiba-tiba saja telah bertanya, “Kapan kita pergi ke Kleringan?“ Glagah Putih itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Bukankah kita sudah sepakat bahwa setelah tiga hari, sebagaimana kita bicarakan dengan Ki Jayaraga waktu itu?” “Bukankah hari ini sudah hari ketiga?” bertanya Rara Wulan. “Tetapi kita bersepakat untuk pergi setelah hari ketiga,” jawab Glagah Putih. Sementara itu sambil menyurukkan kayu bakar lebih dalam di perapian, Sekar Mirah berkata, “Bukankah kita tidak perlu terlalu tergesa-gesa Rara?” “Tetapi rasa-rasanya aku ingin segera bertemu dengan Kanthi. Aku membayangkan gadis itu sepi sendiri di dalam biliknya. Tidak ada orang yang menyapanya. Sementara itu ia tidak lagi berani keluar halaman rumahnya,” desis Rara Wulan. “Tentu tidak, Rara. Ayah, ibunya dan saudara perempuannya itu mengasihinya,” jawab Sekar Mirah. “Ketika Kanthi dalam bahaya, mereka memang melindunginya. Tetapi setelah semuanya itu berlalu, maka sikap keluarganya akan berbeda,“ berkata Rara Wulan pula. “Menurut pendapatku, tidak Rara,“ sahut Glagah Putih, “keluarganya akan membantunya bangkit kembali.” Rara Wulan mengangguk kecil. Namun kemudian katanya, “Besok kita benar-benar pergi ke Kleringan.” “Aku akan mengingatkan Ki Jayaraga,” jawab Glagah Putih kemudian. Rara Wulan mengangguk pula. Namun kemudian Rara Wulan itu pun terdiam. Tangannya-lah yang kemudian sibuk menyiapkan mangkuk-mangkuk tempat minuman. Seperti yang dikatakan, maka Glagah Putih pun kemudian telah menemui Ki Jayaraga, yang duduk di tangga pendapa bersama Wacana. Sambil mengusap keringat di keningnya dengan lengan bajunya, maka iapun berkata, “Pagi-pagi Rara Wulan sudah mengingatkan, besok kita pergi ke Kleringan.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Baiklah. Besok kita pergi ke Kleringan.” Namun Wacana itu dengan ragu-ragu berkata, “Bagaimana jika aku ikut bersama kalian?” Ki Jayaraga-lah yang menjawab, ”Jangan besok Ngger. Seperti yang sudah aku katakan, Angger masih perlu beristirahat.” “Bukankah Kleringan tidak terlalu jauh?” bertanya Wacana. “Sebaiknya lain kali saja-lah Wacana. Mungkin kau memang ingin berjalan-jalan keluar halaman karena kau sudah menjadi jenuh melihat dinding yang kusam itu. Tetapi pada kesempatan lain kita akan keluar untuk menyegarkan pikiran,“ sahut Glagah Putih. Wacana memang tidak dapat memaksa. Sebenarnyalah bahwa tenaganya memang belum pulih seutuhnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang telah mendorongnya untuk ikut pergi ke Kademangan Kleringan. Meskipun demikian, Wacana masih berusaha untuk mengerti alasan Ki Jayaraga dan Glagah Putih, kenapa mereka menahan agar Wacana tidak usah pergi ke Kleringan sebelum keadaannya benar-benar menjadi baik. Ketika kemudian langit mulai memantulkan cahaya matahari yang terbit dari balik cakrawala, maka mereka pun bergantian pergi ke pakiwan. Setelah berbenah diri, maka mereka pun duduk di ruang dalam untuk minum-minuman hangat yang dihidangkan oleh Rara Wulan. Sementara itu Agung Sedayu sudah bersiap untuk pergi ke barak Pasukan Khusus. Namun sebelum Agung Sedayu berangkat, Prastawa telah datang untuk menemuinya dan menemui pula Ki Jayaraga. “Maaf Ki Jayaraga, agaknya masih terlalu pagi untuk mengganggu Ki Jayaraga dan barangkali juga Ki Lurah Agung Sedayu, yang sudah bersiap untuk berangkat ke barak,“ berkata Prastawa setelah ia duduk di ruang dalam pula. “Apakah ada hal yang sangat penting, Ngger ?” bertanya Ki Jayaraga. “Tidak terlalu penting, Ki jayaraga. Justru aku yang mementingkan diri sendiri. Aku sengaja datang pagi-pagi sebelum Ki Lurah Agung Sedayu berangkat.” Ki Jayarata mengangguk-angguk. Tetapi ia menunggu saja Prastawa menyampaikan persoalannya. “Ki Jayaraga dan Ki Lurah Agung Sedayu. Aku datang diutus oleh Paman Argapati. Atas persetujuan Paman Argapati dan Ayah, Ki Jayaraga dan Ki Lurah Agung Sedayu berdua diminta untuk bersedia sekali lagi menjadi wakil Ayah dan Paman Argapati, untuk menyampaikan lamaran.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Jadi maksudnya kami harus pergi melamar seorang gadis bagi Angger Prastawa, begitu ?” Prastawa mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Jayaraga.” “Kapan kami harus pergi melamar? Tentunya suasananya akan sangat berbeda dengan saat kami menjadi utusan pergi ke Kademangan Kleringan.” “Agaknya memang demikian,” jawab Prastawa. Lalu katanya kemudian, “Ayah dan Paman Argapati serta Kakang Swandaru semalam sepakat untuk pergi melamar sore nanti.” “Nanti? Hari ini, maksudmu?” bertanya Agung Sedayu. “Ya, Ki Lurah,” jawab Prastawa. Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil bertanya, “Begitu cepat? Apakah kau sudah membicarakannya dengan gadis itu sebelumnya ?” “Ya,” jawab Prastawa, “bahkan aku sudah menyampaikan kepada kedua orang tuanya, bahwa Ayah akan mengirimkan utusan untuk dengan resmi melamar gadis itu,” jawab Prastawa. “Apakah kau sudah menyampaikan kepada mereka bahwa utusan itu akan datang hari ini?” bertanya Agung Sedayu. “Nanti aku akan menemuinya,” jawab Prastawa. Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Ki Jayaraga berkata, “Baiklah. Jika Ki Gede dan Ki Argajaya sudah menetapkan bahwa utusan itu akan pergi sore nanti, aku tidak mempunyai keberatan apapun. Mungkin Angger Agung Sedayu juga tidak berkeberatan.” “Tentu,” jawab Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian bertanya, “Siapa saja yang akan berangkat?“ “Ki Jayaraga, Ki Lurah Agung Sedayu berdua, dan Kakang Swandaru berdua,” jawab Prastawa. “Baiklah,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “aku akan pulang lebih awal. Kami akan pergi ke rumah Ki Gede. Agaknya kita akan berangkat bersama-sama dari sana.” “Terima kasih Ki Lurah,“ berkata Prastawa kemudian. “Aku akan menyampaikannya kepada Paman Argapati dan Kakang Swandaru berdua.” Demikianlah, maka Prastawa pun segera minta diri setelah beberapa kali ia mengucapkan terima kasih kepada Ki Jayaraga dan kepada Agung Sedayu. Sepeninggal Prastawa, Agung Sedayu pun segera berangkat menuju ke barak Pasukan Khusus. Seperti yang dijanjikan kepada Prastawa, ia berniat untuk pulang lebih awal. Dalam pada itu, ketika Glagah Putih berada di halaman belakang, Rara Wulan pun mendekatinya sambil berdesis, “Sore nanti keluarga Prastawa akan pergi melamar.” “Ya. Ki Jayaraga dan Kakang Agung Sedayu diminta untuk ikut pergi bersama Kakang Swandaru,” jawab Glagah Putih. “Persoalannya dengan gadis Kleringan itu sudah selesai bagi Prastawa,” desis Rara Wulan. “Ya. Baginya memang sudah tidak ada persoalan lagi,” jawab Glagah Putih. Namun Rara Wulan itu berkata, “Tetapi persoalan yang menyangkut Kanthi itu, masih tetap menggelisahkan gadis itu.” “Persoalan yang disandang Kanthi dan Prastawa memang berbeda,” jawab Glagah Putih. “Aku mengerti. Tetapi aku hanya sekedar mengatakan keadaan yang mereka sandang masing-masing sekarang ini.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun Rara Wulan itu pun berkata, “Kita besok akan tetap berangkat, dengan atau tidak dengan Ki Jayaraga.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Ki Jayaraga sudah mengatakan, bahwa besok Ki Jayaraga siap untuk pergi ke Kademangan Kleringan.” “Tetapi mungkin ia berubah. Siapapun tentu akan lebih senang pergi melamar seorang gadis daripada pergi menjumpai seorang perempuan yang sedang terjerat oleh malapetaka. Apalagi persoalan yang sebenarnya dengan gadis yang akan dilamar itu sudah jelas, sehingga tidak akan ada hambatan lagi.” “Tetapi bukankah waktunya tidak bersamaan? Sore nanti Ki Jayaraga akan pergi melamar. Memang sebaiknya ada orang yang dituakan dalam sekelompok utusan itu. Nah, baru besok Ki Jayaraga akan pergi bersama kita ke Kademangan Kleringan.” Rara Wulan mengangguk kecil. Katanya, “Dua suasana yang tentu akan sangat berbeda.” Glagah Putih hanya mengangguk kecil pula. Hari itu Rara Wulan memang nampak gelisah. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri. Gadis itu justru banyak menyibukkan diri dengan kerja. Ketika matahari kemudian hampir menggapai puncak langit, maka Rara Wulan pun telah berada di dalam sanggar, sedangkan Glagah Putih telah pergi ke banjar untuk bertemu dengan para pemimpin pengawal. Seperti yang dijanjikan, maka Agung Sedayu telah kembali dari barak lebih awal dari biasanya. Menjelang sore hari, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah serta Ki Jayaraga telah bersiap. Mereka akan pergi ke rumah Ki Gede lebih dahulu, sebelum bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi memenuhi permintaan Ki Argajaya dan Ki Gede untuk pergi melamar seorang gadis yang akan menjadi istri Prastawa. Berbeda dengan saat mereka pergi ke Kademangan Kleringan, maka wajah-wajah mereka sore itu nampak cerah. Prastawa yang juga berada di rumah Ki Gede nampak tersenyum-senyum. Dua orang pengawal yang ada di rumah Ki Gede selalu mengganggunya. Tetapi Prastawa justru nampak semakin ceria. Ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi Barat, maka Ki Gede dan Ki Argajaya pun telah mempersilahkan Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri untuk berangkat. “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Jayaraga. Menurut Prastawa, agaknya tidak akan ada hambatan lagi. Kedua orang tua gadis itu sudah menyatakan persetujuannya. Mereka pun sudah diberitahu oleh Prastawa bahwa utusan keluarga Prastawa akan datang sore ini,“ berkata Ki Gede. Demikianlah, sejenak kemudian sekelompok kecil utusan Ki Argajaya pun telah berangkat dari rumah Ki Gede. Dalam pada itu, Glagah Putih yang sudah berada di rumahnya, duduk di serambi. Sinar matahari yang menjadi semakin lemah masih nampak menembus dedaunan di halaman. Di dapur, Rara Wulan menjadi sibuk karena Sekar Mirah tidak ada. Tetapi karena ia sudah terbiasa melakukannya sehari-hari bersama Sekar Mirah, maka tangannya pun sudah menjadi trampil. Ketika ia sudah selesai menuang minuman hangat, maka Rara Wulan pun telah menghidangkannya kepada Wacana yang duduk di pringgitan seorang diri. Dibiarkannya angan-angannya menerawang jauh melampaui cakrawala. “Minumlah,” desis Rara Wulan, “selagi masih hangat.” “Terima kasih,“ sahut Wacana. Namun kemudian iapun bertanya, “Kapan kalian akan pergi ke Kademangan Kleringan?” “Besok,” jawab Rara Wulan, “jika yang lain berhalangan apapun sebabnya, aku akan pergi sendiri.” Wacana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jika benar Rara Wulan pergi sendiri, meskipun ia sudah pulih sekalipun, ia tentu tidak akan pantas untuk menawarkan dirinya menyertai gadis itu. Ketika kemudian Rara Wulan meninggalkannya, kembali Wacana duduk merenung seorang diri. Sementara itu, anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu yang melihat Glagah Putih duduk sendiri telah mendekatinya. Sambil duduk di sebelahnya ia berkata, “Seharusnya kau mengajar aku ilmu bela diri.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia berkata, “Bagus. Kau sudah dapat menyebutnya dengan ilmu bela diri. Bukan cara berkelahi.” “Ya. Aku mulai mengerti bedanya,” jawab anak itu. Glagah Putih tersenyum sambil menepuk bahunya. Katanya, ”Aku akan mengajarimu ilmu bela diri. Tetapi sudah tentu tidak setiap hari.” Anak itu mengangguk. Katanya, “Kapanpun, asal aku dapat sekedar melindungi diriku sendiri serta kawan-kawanku yang memerlukan perlindungan itu.“ “Baik. Kita akan melakukannya malam hari setiap dua hari sekali. Sudah tentu jika aku tidak sedang bertugas.” “Lalu bagaimana dengan pliridan itu?” bertanya anak itu. “Pada hari-hari kau berlatih, maka kau akan menutup sekali saja. Di dini hari. Atau bahkan tidak sama sekali.” Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika perlu, biarlah pliridan itu ditutup sekali saja, atau jika terlalu letih, tidak sama sekali.” “Nah, jika kau memang benar-benar ingin berlatih ilmu bela diri, maka kau tidak boleh cepat merasa jemu atau cepat merasa mampu. Kau harus berlatih dan belajar dengan telaten dan tekun. Bersungguh-sungguh dan dilandasi dengan niat yang baik.” Anak itu mengangguk-angguk. Dengan sungguh-sungguh ia menjawab, “Aku akan belajar dengan tekun dan telaten.” “Bagus. Tetapi ada yang lebih penting. Dilandasi dengan niat yang baik,“ berkata Glagah Putih. “Ya. Aku akan melandasinya dengan niat baik,” jawab anak itu. Glagah Putih memang merasakan sesuatu yang agak lain pada anak itu. Mungkin karena umurnya yang semakin bertambah. Sementara itu, peristiwa yang terjadi semalam telah menghentakkannya ke dalam satu kesadaran tentang dirinya yang umurnya semakin bertambah itu. Yang mendorongnya untuk menanggapi kehidupan dengan lebih bersungguh-sungguh pula. Karena itulah, maka Glagah Putih pun menjadi bersungguh-sungguh pula. Meskipun yang terlintas di hatinya adalah sekedar memberikan bekal kepada anak itu untuk dapat melindungi dirinya sendiri, karena Glagah Putih mengerti bahwa anak itu sulit untuk mengendalikan diri jika rasa keadilannya tersinggung. Namun Glagah Putih pun menyadari, bahwa selain mengajarinya ilmu bela diri, iapun harus sedikit demi sedikit mengarahkan sikap anak itu agar benar-benar berniat baik dengan dasar ilmu bela diri itu. Dalam pada itu, Glagah Putih pun kemudian berkata, “Kita akan mulai malam nanti. Bersiaplah.” “Apa yang harus aku persiapkan?” bertanya anak itu. “Ketetapan hati,” jawab Glagah Putih, “karena jika kau belajar ilmu bela diri padaku, kau harus menurut segala petunjukku, terutama dalam hubungannya dengan ilmu bela diri. Tetapi sebelumnya kau harus tahu bahwa ilmuku masih terbatas sekali, sehingga apa yang akan aku berikan kepadamu, tidak lebih dari dasar-dasarnya saja.” “Seperti yang sudah kau ajarkan selama ini?” bertanya anak itu. “Tentu lebih dari itu. Tetapi jangan bermimpi bahwa kau akan menjadi seorang yang berilmu tinggi.” Anak itu mengangguk-angguk. Katanya sambil memandang ke kejauhan, “Aku tidak menginginkan terlalu banyak. Tetapi aku ingin tidak ada lagi orang yang merendahkan martabat anak-anak Tanah Perdikan ini.” Glagah Putih tersenyum sambil menepuk bahu anak itu pula, “Bagus. Aku setuju. Tentu saja dalam batas-batas kewajaran.” Tetapi anak itu mengerutkan dahinya. Dengan nada ragu ia bertanya. “Apakah batas kewajaran itu dapat diurai dengan jelas, sehingga aku dapat melihat batas itu?” “Tidak. Tetapi kendali nuranimu akan memberikan isyarat kepadamu.” Anak itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana aku dapat mengetahuinya?” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sekarang kau masih belum mampu menangkap sepenuhnya suatu nuranimu. Tetapi pada suatu saat, kau akan dapat melakukannya tanpa ada orang lain yang menunjukkannya.” Anak itu mengangguk-angguk, meskipun yang dikatakan oleh Glagah Putih itu masih belum cukup jelas baginya. Dalam pada itu, langit pun terasa menjadi semakin teduh. Anak itu pun kemudian bangkit dan melangkah menggapai sapu lidi yang bersandar di sudut. Sejenak kemudian anak itu pun telah mulai menyapu halaman, sementara Glagah Putih pergi ke pakiwan untuk mengisi jambangan sekaligus mengisi gentong yang ada di dapur. Wacana yang duduk sendiri di pringgitan itu pun telah bangkit pula. Iapun tidak mau duduk berdiam diri. Karena itu, iapun telah ikut pula menyapu halaman samping setelah menyingkirkan mangkuk minumannya ke ruang dalam. Sementara itu, Ki Jayaraga yang menemui kedua orang tua Anggreni yang didampingi pula tiga orang tetangganya yang dituakan, telah menyampaikan lamaran Ki Argajaya atas Anggreni yang akan diperistri oleh anaknya, Prastawa. Segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Meskipun demikian, seorang yang dituakan yang mewakili kedua orang tua Anggreni, meskipun kedua orang tuanya juga hadir, telah menjawab lamaran yang disampaikan oleh Ki Jayaraga atas nama Ki Argajaya, “Kami dengan ucapan terima kasih telah menerima lamaran Ki Argajaya yang disampaikan oleh Ki Jayaraga. Namun karena yang akan menjalani adalah Angger Anggreni, maka biarlah ayah dan ibunya membicarakannya dengan gadis itu. Kami mohon waktu sepekan. Selanjutnya kami akan datang menghadap Ki Argajaya.” Jawaban itu adalah jawaban yang seakan-akan sudah kebiasaan bagi keluarga yang menerima lamaran, justru yang biasanya akan menerima lamaran itu. Karena itu, maka Ki Jayaraga sama sekali tidak berkeberatan untuk menunggu sepekan lagi. Demikianlah, setelah mendapat hidangan minuman dan makanan, maka utusan Ki Argajaya itu pun segera mohon diri. Berlima mereka langsung pergi ke rumah Ki Gede, karena Ki Argajaya memang akan menunggu di rumah Ki Gede sampai utusan itu datang kembali. Suasana di rumah Ki Gede itu pun menjadi cerah. Sambil memberikan laporan tentang tugasnya, sekali-kali Ki Jayaraga sempat mengganggu Prastawa. Suara tertawa pun setiap kali terdengar dari sela-sela bibir mereka. Namun kemudian Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah minta diri meninggalkan suasana yang ceria itu. Mereka minta diri untuk kembali setelah mereka makan malam bersama. Pada malam harinya, ketika mereka sudah berada di rumah Agung Sedayu, sekali-sekali mereka masih membicarakan hubungan antara Prastawa dan Anggreni yang nampaknya akan menjadi lancar. Sementara itu Sekar Mirah pun menganggap bahwa Anggreni memang pantas untuk menjadi istri Prastawa. Namun ketika kemudian Sekar Mirah berada di dapur untuk membuat minuman hangat, Rara Wulan mendekatinya sambil bertanya, “Apakah Anggreni cantik, Mbokayu?” “Ya,” jawab Sekar Mirah, “gadis itu memang cantik.” “Siapa yang lebih cantik, Anggreni atau Kanthi?” bertanya Rara Wulan pula. Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun Sekar Mirah pun menyadari bahwa perhatian Rara Wulan masih terikat kepada Kanthi. Karena itu, maka iapun menjawab, “Keduanya sama-sama cantik. Aku hanya sempat melihat Anggreni sepintas saat ia menghidangkan minuman. Namun nampaknya wajah gadis itu cukup cerah.” “Tentu,” jawab Rara Wulan, “wajah Anggreni tentu nampak cerah karena ia sedang menerima lamaran dari seseorang yang memang diharapkannya. Tetapi Kanthi tidak akan pernah mengalami masa-masa seperti itu.” “Kenapa?” bertanya Sekar Mirah. “Bukankah kita mengetahui keadaannya? Jika saja Kanthi tidak mengalami bencana itu, wajahnya tentu juga akan cerah. Iapun akan nampak sebagai seorang gadis yang cantik dan gembira. Tetapi keadaan telah menyingkirkannya dari kemungkinan itu.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar bahwa Rara Wulan sedang dibayangi oleh keadaan Kanthi yang muram. Dalam keadaan demikian, jika ia menyatakan pendapatnya yang berbeda, maka Rara Wulan tentu akan menjadi sangat kecewa. Justru karena Sekar Mirah terdiam, maka Rara Wulan mulai menyadari sikapnya. Ia mulai merasa bahwa ia lelah terdorong oleh perasaannya, sehingga Sekar Mirah merasa lebih baik untuk diam saja. Karena itu, maka iapun kemudian berdiri di belakang Sekar Mirah yang baru menuang minuman di dalam mangkuk, sambil berdesis, “Mbokayu. Aku mohon maaf.” Sekar Mirah pun kemudian berpaling. Dipandanginya wajah Rara Wulan yang menunduk. Dengan lembut ia bertanya, “Kenapa?” “Aku telah menyinggung perasaan Mbokayu,” desis Rara Wulan. Sekar Mirah tersenyum. Ditepuknya pundak Rara Wulan sambil berkata lembut, “Tidak Rara. Aku sama sekali tidak merasa tersinggung. Aku justru melihat warna hatimu yang welas asih. Meskipun Kanthi bukan sanak-kadangmu, tetapi kau merasa betapa tidak seimbangnya suasana hati yang meliputi dua orang gadis yang namanya sama-sama dihubungkan dengan Prastawa.” Rara Wulan mengangguk. Tetapi suaranya tidak dapat melewati kerongkongannya yang terasa menjadi serak. “Sudahlah,“ berkata Sekar Mirah, “sekarang hidangkan mangkuk-mangkuk minuman hangat itu, untuk menyegarkan mereka yang duduk di ruang dalam itu sebelum mereka pergi ke pembaringan.” Rara Wulan mengangguk pula. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Bukankah kau besok akan pergi ke Kademangan Kleringan?” “Ya, Mbokayu,” jawab Rara Wulan. “Baiklah. Setelah menghidangkan minuman itu, pergilah beristirahat,“ berkata Sekar Mirah kemudian. Rara Wulan mengangguk sambil mengangkat mangkuk-mangkuk minuman. Setelah menghidangkan minuman itu, Rara Wulan memang segera pergi ke pembaringanya. Namun gadis itu memang tidak segera dapat tidur lelap. Di ruang dalam, Sekar Mirah yang kemudian ikut duduk berbincang, minta agar mereka tidak lagi berbicara tentang Prastawa dan Anggreni. “Kenapa?” bertanya Agung Sedayu. “Rara Wulan masih saja dibayangi oleh getirnya perasaan Kanthi. Sehingga keceriaan Anggreni bagi Rara Wulan menjadi terasa tidak adil,“ sahut Sekar Mirah. “Tetapi ia harus dapat memilahkan persoalannya,“ berkata Ki Jayaraga. “Aku akan mengatakannya besok sebelum ia berangkat ke Kademangan Kleringan. Anggreni memang tidak harus ikut hanyut dalam persoalan yang telah menjerat Kanthi. Kesalahan Anggreni, justru di luar sadar dan kehendaknya sendiri, adalah bahwa Praslawa telah memilihnya meskipun ia tetap bersikap baik terhadap Kanthi,“ berkata Sekar Mirah kemudian. Namun kemudian ia berdesah pula, “Tetapi jika hal itu dianggap sebagai kesalahan.” “Bukan satu kesalahan,“ berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “tetapi baiklah. Kita tidak akan membicarakannya lebih jauh.” Sekar Mirah menarik nafas panjang, ia sendiri-lah yang minta untuk tidak berbicara tentang Anggreni. Demikianlah, sambil meneguk minuman hangat, mereka mulai berbicara tentang beberapa hal yang lain. Tentang kehidupan di Tanah Perdikan yang telah menjadi wajar kembali. Namun juga tentang mendung yang mengalir dihembus angin utara. Hubungan yang buram antara Mataram dan Pati. Agung Sedayu yang juga seorang pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh itu pun berkata, “Isyarat untuk bersiaga sepenuhnya bagi Pasukan Khusus masih berlaku. Usaha untuk merintis jalan yang lebih lunak dari peperangan masih terus dilakukan. Namun nampaknya hasilnya tidak seperti diharapkan.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Orang-orang yang tidak bertanggung jawab nampaknya berusaha untuk membakar hati Kanjeng Adipati di Pati. Orang-orang berilmu tinggi yang ada di sekitar Kanjeng Adipati nampaknya menjadi silau oleh kekuatan yang dapat mereka himpun. Bahkan diantaranya terdapat orang-orang yang merasa berhak untuk mendahului langkah Kanjeng Adipati, sebagaimana Ki Manuhara dan Resi Belahan.” “Tetapi Panembahan Senapati yang merasa lebih tua masih berusaha untuk mencari jalan yang lebih baik. Meskipun demikian, Panembahan Senapati memang tidak dapat menghindari kesiapan untuk perang,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Demikianlah untuk beberapa saat mereka masih berbincang. Namun kemudian Agung Sedayu itu pun berkata, “Sudahlah, Ki Jayaraga. Hari telah larut. Besok Ki Jayaraga akan pergi ke Kleringan bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku memang sudah berjanji bahwa besok aku akan pergi ke Kademangan Kleringan bersama Angger Rara Wulan dan Glagah Putih.” Dalam pada itu, Glagah Putih sendiri ternyata masih berada di belakang kandang. Glagah Putih masih sibuk mengajari anak yang tinggal di rumah itu dasar-dasar ilmu bela diri. Glagah Putih menjanjikan untuk belajar di sanggar, jika ia melihat kemajuan dan kesungguhan anak itu. Tetapi beberapa saat kemudian Glagah Putih pun mengakhirinya sambil berkata, “Malam ini aku kira sudah cukup. Lusa kita akan melanjutkan lagi.” Anak itu menjadi heran. Dipandanginya Glagah Putih sambil bertanya, “Hanya begini?” Glagah Putih memandang anak itu dengan tajamnya. Katanya, “Bukankah kita sudah cukup lama berlatih?” “Bukankah kita baru saja mulai?” jawab anak itu. “Jangan memaksa diri. Itu justru kurang baik. Kita harus belajar sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya kau dapat menguasai dasar ilmu bela diri itu dengan baik.“ “Tetapi berapa puluh tahun aku akan dapat menguasai dasar ilmu itu, jika kita hanya melakukannya sekejap demi sekejap seperti ini.” Dahi Glagah Putih berkerut. Ia menjadi jengkel juga kepada anak itu. Karena itu, maka pada langkah awal Glagah Putih akan membuatnya jera. Ia harus menyadari kedudukannya, sehingga untuk selanjutnya, anak itu tidak boleh bersikap demikian. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Baiklah. Jika kau berniat untuk meneruskan latihan awal ini. Tetapi dengan janji, bahwa kau tidak boleh berhenti setengah-setengah.” “Itu tentu lebih baik,” jawab anak itu. Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah mengajak anak itu ke sanggar. Bagi latihan awal, maka latihan yang lama memang lebih baik dilakukan tidak di udara terbuka. Demikian mereka berada di dalam sanggar, maka Glagah Putih pun berkata, “Kita akan berlatih untuk waktu yang lama. Bukankah begitu? Nah, persiapkan dirimu baik-baik.” “Aku sudah bersiap sejak semula,” jawab anak itu. “Pada latihan awal ini, kau harus menirukan apa yang aku lakukan. Ingat, apa saja yang aku lakukan.” Anak itu mengangguk. Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah mulai dengan gerak-gerak yang paling mendasar, seperti yang telah dilakukan di belakang kandang itu. Kemudian Glagah Putih telah melakukan unsur-unsur gerak berikutnya. Diulanginya beberapa kali, sementara anak itu telah menirukannya. Sambil melakukan gerak-gerak yang mula-mula perlahan-lahan, Glagah Putih menjelaskan arti dan maksud dari gerakan-gerakan itu. Dengan sungguh-sungguh anak itu menirukan dan mencoba memahami penjelasan Glagah Putih, untuk apa dan kenapa gerakan-gerakan itu dilakukan. Namun semakin lama Glagah Putih pun bergerak semakin cepat. Diulanginya gerakan-gerakan itu beberapa kali, sehingga anak itu benar-benar mampu melakukannya dengan baik. Tetapi ketika malam menjadi semakin larut, muka nafas anak itu mulai terengah-engah. Meskipun ia masih tetap bergerak dengan tangkas dan irama yang setiap kali menjadi semakin cepat sebagimana dilakukan oleh Glagah Putih, namun tenaga anak itu telah menjadi semakin susut Glagah Putih melihat keadaan itu, tetapi ia berpura-pura tidak mengetahuinya. Glagah Putih masih saja melakukan gerakan-gerakan yang keras dan cepat, sambil memberikan beberapa petunjuk tentang gerakan-gerakan yang dilakukan. Anak itu masih berusaha memaksa dirinya. Tetapi keseimbangannya mulai guncang. Setiap kali ia menjadi terhuyung-huyung dan bahkan hampir terjatuh karenanya. Glagah Putih masih saja pura-pura tidak mengetahuinya. Sementara Glagah Putih sendiri masih saja segar dan tegar. Ketika Glagah Putih kemudian melakukan loncatan kecil dalam unsur-unsur gerak dasar yang baru, maka anak itu tidak lagi mampu melakukannya. Keringatnya bagaikan telah terperas hingga kering, sementara wajahnya menjadi pucat, dan nafasnya tersengal-sengal. Bahkan perutnya terasa menjadi mual, sehingga rasa-rasanya akan muntah. Ketika anak itu kemudian bersandar pada dinding sanggar, maka Glagah Putih pun bertanya, “He, kenapa kau berhenti? Marilah kita berlatih terus.” Nafas anak itu rasa-rasanya akan menjadi putus. Dengan kata-kata yang sendat ia berkata, “Aku sudah tidak kuat lagi.” Glagah Putih kemudian berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Jika kita berlatih dalam sekejap kau sudah kelelahan, berapa puluh tahun kau akan dapat menguasai dasar ilmu bela diri itu?” Wajah anak yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat. Meskipun bibirnya bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun Glagah Putih pun menjadi kasihan melihat keadaannya. Karena itu, maka dibimbingnya anak itu ke sebuah lincak bambu. “Duduklah,“ berkata Glagah Putih. Anak itu pun kemudian menjatuhkan dirinya di atas lincak bambu itu. Wajahnya masih saja nampak pucat, sementara tubuhnya masih basah oleh keringatnya. “Duduk sajalah di situ,“ berkata Glagah Putih. Ia masih ingin sekaligus meyakinkan anak itu, apa sebenarnya ilmu bela diri yang harus dipelajarinya itu. Karena itu maka katanya pula, “Lihatlah. Apa yang harus kau pelajari jika kau ingin menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Ingat, baru dasar-dasarnya saja. Jika kau kemudian merambah ke ilmu kanuragan yang lebih rumit, maka kau harus menjadi lebih bersungguh-sungguh dan mengerti dimana kau sedang berdiri. Jika kau memanjat lereng pegunungan, maka kau harus memanjat setapak demi setapak dengan susah payah. Kau harus mengatur ketahanan dan kemampuan tubuhmu, sehingga kau tidak dapat memaksa dirimu untuk menggapai puncaknya dengan satu loncatan, betapapun panjangnya.” Meskipun anak itu tidak menjawab, tetapi ia menyadari kesalahannya, sehingga Glagah Putih telah langsung menunjuk kelemahannya. Namun dalam pada itu, perhatiannya mulai tertarik pada unsur-unsur gerak yang dipertunjukkan oleh Glagah Putih. Mula-mula Glagah Putih mulai dari unsur yang tadi dipelajarinya di belakang kandang. Kemudian unsur-unsur berikutnya dan berikutnya. Semakin lama menjadi semakin rumit, dan gerak Glagah Putih pun menjadi semakin cepat. Bahkan kemudian Glagah Putih pun mulai merambah pada unsur-unsur gerak yang bersentuhan dengan alat-alat yang ada di sanggar itu. Glagah Putih mulai berloncatan di atas palang-palang bambu dan tonggak-tonggak batang kelapa. Anak itu memang sudah tahu bahwa Glagah Putih adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi. Tetapi ketika ia menyaksikan Glagah Putih menunjukkan unsur-unsur gerak yang disebutkan sebagai dasar ilmu bela diri, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Tetapi Glagah Putih tidak terlalu lama bermain-main di sanggar itu. Beberapa saat kemudian, setelah menurut perhitungannya anak itu menyadari seberapa beratnya ia harus menjalani laku untuk menguasai dasar-dasar ilmu bela diri, maka Glagah Putih pun kemudian berhenti. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak nampak menjadi letih. Meskipun pakaian Glagah Putih juga menjadi basah oleh keringat, namun tenaganya masih tetap segar sebagaimana saat ia mulai berlatih di belakang kandang. Ketika Glagah Puutih kemudian duduk di sebelahnya, nafasnya pun tidak terdenggar terengah-engah. Apalagi menjadi tersengal-sengal. Nafasnya masih saja berjalan lancar dan teratur. “Nah,“ berkata Glagah Putih, “kau sudah melihat, apa yang harus kau pelajari untuk menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Kau tentu dapat membayangkan jalan yang panjang yang harus kau lalui. Karena itu, jika kau tergesa-gesa dan ingin berlari kencang saat kau berangkat, maka kau justru akan jatuh tersungkur di tengah jalan. Kau akan kelelahan dan sama sekali tidak akan sempat mencapai tujuan.” Anak itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja menunduk. Anak itu tidak berani menatap wajah Glagah Putih. Jika di saat-saat sebelumnya ia menganggap Glagah Putih itu seperti kawannya bermain dan bahkan sekali-sekali ia berani menegur dan bahkan mencelanya, tiba-tiba ia merasa menjadi sangat kecil dan tidak berarti apa-apa. “Sudahlah,“ berkata Glagah Putih, “kita akan beristirahat. Besok aku harus pergi ke Kademangan Kleringan. Sekarang kau pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Kemudian kau pergi tidur.” Anak itu mengangguk. Tetapi ia masih belum berani menatap wajah Glagah Putih. Glagah Putih tersenyum. Ia memang harus menunjukkan wibawanya jika ia akan mengajari anak itu dasar-dasar ilmu bela diri. Anak itu pun kemudian memang pergi ke pakiwan. Nafasnya sudah menjadi teratur kembali. Saat-saat dengan tegang ia menyaksikan Glagah Putih memainkan unsur-unsur gerak dasar, anak itu memang melupakan keadaan dirinya sendiri. Meskipun kemudian anak itu merasa sangat kecil di hadapan Glagah Putih, tetapi keinginannya untuk dengan sungguh-sungguh mempelajari dasar-dasar ilmu bela diri justru menjadi semakin menyala di dalam hatinya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Glagah Putih. Namun untuk selanjutnya, ia tidak akan berani lagi berkata kasar sebagaimana sering diucapkannya sebelumnya karena ia menganggap Glagah Putih itu sebagai kawannya bermain saja. Dalam pada itu, setelah Glagah Putih membersihkan dirinya pula di pakiwan, iapun harus segera beristirahat. Besok pagi-pagi, Rara Wulan tentu sudah ribut menagih janjinya untuk pergi ke Kademangan Kleringan. Sebenarnyalah, ketika pagi-pagi Glagah Putih bangun dan mengisi jambangan pakiwan, Rara Wulan ternyata sudah lebih dahulu mandi. Sambil berdiri di tepi plataran sumur, ia berkata, “Lebih baik kita berangkat pagi. Udara tentu masih segar dan panas matahari belum menggatalkan kulit.” “Tetapi tentu tidak terlalu pagi Rara,” jawab Glagah Putih, “biarlah Kakang Agung Sedayu berangkat ke baraknya lebih dahulu. Baru kemudian kita berangkat.“ “Kenapa harus menunggu?” bertanya Rara Wulan. “Aku merasa segan terhadap mbokayu Sekar Mirah. Ia tentu sedang sibuk melayani Kakang Agung Sedayu. Sementara itu, kita tidak terlalu terikat oleh waktu. Jika kita berangkat terlalu pagi, maka Mbokayu Sekar Mirah akan menjadi sangat sibuk,” jawab Glagah Putih. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya ia dapat mengerti. Karena itu maka iapun kemudian mengangguk kecil. Tetapi Rara Wulan itu pun masih berkata. “Baiklah. Tetapi begitu Kakang Agung Sedayu berangkat, kita pun akan segera berangkat.” Glagah Putih pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kita akan segera berangkat setelah Kakang Agung Sedayu berangkat.” Ketika kemudian Rara Wulan meninggalkan Glagah Putih yang masih menimba air, Ki Jayaraga pun mendekatinya. Sambil tersenyum Ki Jayaraga bertanya, “Apakah Rara Wulan mendesakmu untuk berangkat pagi-pagi?” “Ya,” jawab Glagah Putih, “tetapi aku minta kita berangkat setelah Kakang Agung Sedayu lebih dahulu berangkat.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku pun sudah bersiap pagi-pagi. Aku sudah mengira bahwa Rara Wulan akan mendesakmu untuk berangkat sebelum matahari terbit. Aku sudah bangun pagi-pagi sekali, menyapu halaman bersama Wacana, mandi dan kemudian bersiap-siap.” “Ki Jayaraga sudah mandi?” bertanya Glagah Putih. Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Iapun justru ganti bertanya, “Apakah aku masih nampak kotor dan kantuk?” “Tidak, tidak,” jawab Glagah Putih dengan serta-merta. “Atau karena aku sudah tua, sehingga mandi atau tidak mandi sama saja? Jika demikian, agaknya lebih baik aku tidak mandi saja,“ berkata Ki Jayaraga. Namun kemudian iapun tertawa, sehingga Glagah Putih pun tertawa pula. “Bukan begitu Ki Jayaraga,” jawab Glagah Putih, “Ki Jayaraga selalu nampak bersih dan rapi. Sebelum atau sesudah mandi. Sanggul kadal menek itu memang sudah nampak halus dan licin.” Ki Jayaraga tertawa semakin panjang. Namun kemudian katanya, “Cepatlah mandi. Begitu Angger Agung Sedayu berangkat, maka Rara Wulan tentu akan menjadi ribut.” Ki Jayaraga pun kemudian meninggalkan Glagah Putih yang segera mandi pula. Demikianlah, setelah makan pagi maka Agung Sedayu pun segera bersiap untuk berangkat ke barak Pasukan Khusus. Ia masih memberikan beberapa pesan kepada Glagah Putih jika kemudian ia akan pergi ke Kademangan Kleringan bersama Ki Jayaraga dan Rara Wulan. Kepada Rara Wulan pun Agung Sedayu pun berpesan pula, “Hati-hati Rara. Jangan mudah terpancing oleh keadaan apapun juga.” Rara Wulan mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baik Kakang. Aku akan berhati- hati.” Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah berpacu meninggalkan rumahnya menuju ke barak Pasukan Khusus. Seperti yang diduga oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih, demikian Agung Sedayu berangkat, maka Rara Wulan pun segera bertanya kepada Glagah Putih, “Kapan kita berangkat?” Glagah Putih memang tidak mempunyai alasan untuk menunda keberangkatan mereka. Karena itu, iapun berkata, “Baiklah. Kita pun segera berangkat.” Setelah Glagah Putih memberitahu Ki Jayaraga, maka mereka bertiga pun segera bersiap-siap untuk berangkat. Seperti Agung Sedayu, maka Sekar Mirah pun telah berpesan kepada Rara Wulan agar ia berhati-hati dan selalu berusaha mengekang diri. Sesaat kemudian, bertiga mereka telah berangkat menuju ke Kademangan Kleringan. Memang tidak ada hambatan di perjalanan. Demikian pula ketika mereka memasuki Kademangan Kleringan di seberang bukit. Mereka sama sekali tidak mengalami gangguan apapun juga. Sementara itu kehidupan di Kademangan Kleringan ternyata wajar-wajar saja. “Kanthi memang bukan orang penting,“ berkata Rara Wulan tiba-tiba. “Kenapa?” bertanya Glagah Putih dengan heran. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan dahi yang berkerut ia memandangi orang-orang yang bekerja di sawah. Orang-orang yang pergi dan pulang dari pasar. Beberapa orang bepergian untuk satu keperluan. Glagah Putih masih menunggu jawab Rara Wulan sambil berjalan di sebelahnya. Sementara itu Ki Jayaraga meski pun berjalan di depan, tetapi iapun berusaha untuk mendengar apa yang dikatakan oleh Rara Wulan. Baru beberapa saat kemudian Rara Wulan berkata, “Kanthi memang tidak perlu mendapat perhatian khusus orang-orang Kademangan Kleringan. Biar saja Kanthi menyelesaikan kesulitannya sendiri. Tidak seorang pun yang mempedulikannya. Mereka merasa lebih baik untuk menyelesaikan tugas mereka masing-masing, karena memperhatikan nasib Kanthi tidak akan memberikan keuntungan apa-apa bagi mereka.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Glagah Putih pun menjawab, “Rara. Aku kira apa yang terjadi adalah wajar sekali. Tidak semua orang Kademangan Kleringan mengetahui apa yang terjadi atas diri Kanthi. Sementara itu, putaran peristiwa di Kademangan Kleringan memang tidak boleh berhenti hanya karena persoalan yang menimpa Kanthi. Betapapun orang-orang Kleringan mengetahui persoalan yang menjerat Kanthi, namun ada keterbatasan mereka untuk melibatkan diri mereka.” “Mereka sudah terjebak ked alam ketidak-pedulian dengan keadaan di sekitar mereka. Hidup dan kehidupan hanya terjadi di seputar diri sendiri,“ berkata Rara Wulan. “Tidak Rara. Tetapi dalam persoalan yang terjadi atas Kanthi, justru keluarga Kanthi sendiri-lah yang membatasinya, agar tidak banyak diketahui orang. Bukankah begitu? Bukankah semakin banyak orang yang mengetahuinya, maka arang yang tercoreng di kening itu akan semakin banyak dilihat orang?“ sahut Glagah Putih. Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab. Demikianlah, maka mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan yang mereka tuju. Ketika mereka memasuki padukuhan, maka jantung Rara Wulan menjadi semakin berdebar-debar. Sekilas Rara Wulan justru membayangkan wajah seorang gadis yang bernama Anggreni, yang cerah ceria menerima lamaran Prastawa. Sementara di sisi lain, ia melihat seorang gadis yang menelungkup dan menangis terisak-isak. Kanthi telah mengalami kegagalan ganda. “Kenapa hal itu telah dilakukannya, betapapun ia dicengkam oleh perasaan kecewa?“ berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Jantung Rara Wulan menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melewati tikungan dan memasuki jalan yang langsung melewati depan regol halaman rumah kanthi. Langkah Rara Wulan itu pun menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya Rara Wulan ingin meloncat dan segera sampai ke rumah gadis yang sedang mengalami tekanan batin oleh kelalaiannya sendiri itu. Ketika ketiganya sampai di depan regol halaman rumah Ki Suracala itu, mereka termangu-mangu sejenak. Regol itu tertutup, tetapi tidak terlalu rapat. Karena itu, ketika Ki Jayaraga menyentuhnya, maka pintu itu pun terdorong sejengkal. Karena itu, Ki Jayaraga pun telah mendorong pintu itu, sehingga pintu itu pun terbuka. Ketiga orang yang berdiri di pintu regol itu terkejut. Mereka melihat beberapa orang berada di pendapa. Nampaknya mereka memang sedang gelisah. Satu dua orang nampak sibuk hilir mudik di pringgitan. “Apa yang terjadi?” desis Rara Wulan. Karena itu, maka Rara Wulan pun menjadi tidak sabar lagi menunggu. Iapun segera melangkah ke tangga pendapa. Glagah Putih dan Ki Jayaraga pun segera mengikutinya pula. Ternyata beberapa orang yang ada di pendapa itu belum mengenal Rara Wulan, Glagah Putih dan Ki Jayaraga. Karena dua orang yang menyongsong mereka telah memperhatikan Rara Wulan, Glagah Putih dan Ki Jayaraga dengan ragu-ragu. “Apakah Kanthi ada di rumah?” pertanyaan itulah yang mula-mula terlontar dari mulut Rara Wulan. “Siapakah kalian Ki Sanak?” bertanya salah seorang dari orang-orang yang menyongsongnya. Ki Jayaraga-lah yang kemudian menjawab, “Kami datang untuk menengok keselamatan keluarga Ki Suracala. Kami adalah sahabatnya yang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.” “O,“ orang itu mengangguk, “marilah, silahkan duduk. Biarlah kami beritahukan kepada Ki Suracala. Ia sudah menjadi tenang kembali.” “Apa yang terjadi?” bertanya Ki Jayaraga. “Nanti saja. Biarlah Ki Suracala sendiri yang menjelaskan,” jawab orang itu. Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun orang yang menyongsongnya itu pun kemudian telah mempersilahkan ketiga orang tamu itu untuk naik dan duduk di pendapa. Namun demikian mereka duduk di pendapa, terasa suasana yang tegang meliputi orang-orang yang sudah berada lebih dahulu di pendapa itu. Namun tidak seorang pun yang menyapa mereka, dan apalagi menceritakan apa yang terjadi di rumah itu. Dengan demikian maka Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk termangu-mangu saja di pendapa. Mereka tidak berbicara dan berbuat apapun selain menunggu Ki Suracala. Rara Wulan hampir tidak sabar menunggu. Tetapi setiap kali ia bergeser, maka Glagah Putih selalu menggamitnya untuk menahan agar Rara Wulan tidak beranjak dari tempatnya. Baru beberapa saat kemudian, ketika Rara Wulan hampir kehabisan kesabaran, Ki Suracala pun keluar dari ruang dalam, dibimbing oleh seorang laki-laki yang sebaya umurnya. “Apa yang telah terjadi?” desis Rara Wulan. “Kita akan mendapat keterangan dari Ki Suracala Ngger,” desis Ki Jayaraga. Ketika kemudian Ki Suracala melihat Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah, maka iapun segera mendekati mereka dan duduk bersama mereka. “Apa yang terjadi, Ki Suracala?” Rara Wulan tidak sabar lagi. Ki Suracala mengusap matanya yang basah. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menenangkan hatinya dan mengatur pernafasannya. Ketika ia kemudian memandang Rara Wulan, maka Rara Wulan pun bertanya sekali lagi, “Apa yang terjadi, Ki Suracala?” Suara Ki Suracala yang serak bagaikan tertahan di kerongkongan, “Kanthi Ngger.” “Kenapa dengan Kanthi?” bertanya Rara Wulan dengan serta merta. Wajahnya menjadi merah. “Ia berada di biliknya,” desis Ki Suracala. Rara Wulan tidak menunggu lebih lama lagi. Gadis itu pun segera bangkit dan berlari ke ruang dalam. Rara Wulan sudah mengetahui letak bilik Kanthi. Karena itu, maka iapun segera berlari menuju ke pintu bilik itu. Demikian ia menyingkap tirai pintu bilik itu, maka dilihatnya Kanthi berbaring di pembaringannya. Tiga orang perempuan termasuk ibu dan kakak perempuannya menungguinya. Seorang lagi adalah seorang yang sudah lebih tua dari ibu Kanthi itu sendiri. Sejenak Rara Wulan berdiri di pintu. Namun kemudian iapun telah melangkah masuk. Ketika ibu Kanthi berpaling, maka Rara Wulan itu pun berdesis, “Apakah Kanthi sakit?” Ibu Kanthi itu memandang Rara Wulan dengan mata yang basah. Isaknya tiba-tiba telah timbul kembali, meskipun ia berusaha untuk menahannya. Kanthi yang terbaring lemah itu tiba-tiba menggerakkan kepalanya. Ketika ia memandang Rara Wulan, maka Rara Wulan pun sedang memandanginya. Tiba-tiba saja Kanthi itu menjerit. Semua orang yang ada di dalam bilik itu terkejut. Namun yang terjadi cepat sekali, ketika kemudian Kanthi yang lemah itu bangkit dan meloncat memeluk Rara Wulan. Rara Wulan pun memeluknya pula. Apalagi ketika Kanthi kemudian menangis sejadi-jadinya. “Kanthi. Kanthi. Apa yang terjadi?” bertanya Rara Wulan, “Apakah ada orang yang mengganggumu lagi? Atau Ki Suratapa atau Ki Wreksadana?” Sambil menangis Kanthi menggeleng. “Jadi, apa yang telah terjadi?” desak Rara Wulan. Kanthi tidak menyahut. Tetapi tangisnya justru semakin menjadi-jadi. Betapapun keras hati Rara Wulan, namun iapun seorang perempuan. Karena itu, betapapun ia bertahan, namun air matanya pun akhirnya mengalir juga di pipinya. Ketiga orang perempuan yang berada di bilik itu pun telah mendekat pula. Ibunya yang sudah mulai menangis itu pun telah menjadi terisak. “Tenanglah Kanthi, tenanglah,“ berkata Rara Wulan sambil berusaha menenangkan Kanthi. Tangis Kanthi memang mulai mereda. Rara Wulan pun kemudian membimbing Kanthi untuk duduk di pembaringannya. “Kenapa kau menangis? Apakah ada seseorang yang menyakitimu atau mengancammu, atau tindak kekerasan lain?” bertanya Rara Wulan. Kanthi menggeleng. Sehingga Rara Wulan pun bertanya mendesak, “Jadi kenapa kau menangis? Apakah kau sakit?” Kanthi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk lemah. Rara Wulan pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Jika demikian, berbaringlah. Apakah kau sudah mendapat obatnya?” Kanthi tidak menyahut. Rara Wulan pun kemudian berkata pula. “Sudahlah. Berbaringlah. Kau harus banyak beristirahat.” “Kau jangan pergi,” desis Kanthi. “Tidak, aku tidak akan pergi,” jawab Rara Wulan. Kanthi ternyata mau membaringkan dirinya. Tetapi tangannya tetap berpegangan tangan Rara Wulan. Dalam pada itu, di pendapa, Ki Suracala yang masih terengah-engah itu berkata hampir berbisik kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Kanthi telah kehilangan akal. Ia telah mencoba membunuh diri.” Betapa Ki Jayaraga dan Glagah Putih terkejut sehingga mereka bergeser setapak mendekati Ki Suracala. Dengan kening yang berkerut Ki Jayaraga itu pun bertanya, “Apakah ada tekanan-tekanan lagi atas gadis itu, sehingga ia mengambil keputusan untuk membunuh diri?” Ki Suracala menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Jayaraga. Tetapi penyesalan itulah yang semakin lama semakin menekan perasaannya, sehingga anak itu telah mengambil keputusan yang salah.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam. Tetapi ia hanya bergumam saja di dalam hatinya, “Sekali Kanthi melakukan kesalahan, jika ia tidak mampu bangkit lagi, maka ia akan melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya. Sehingga dengan demikian maka kesalahan-kesalahan itu justru akan bersusun.” Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga bertanya, “Apakah masih saja ada orang yang menyudutkannya dalam kesalahannya?” “Sepengetahuanku tidak,” jawab Ki Suracala, “kakaknya yang pernah marah-marah kepadanya, justru sebelum terjadi peristiwa yang menggetarkan di rumah ini, telah berusaha untuk membantunya menemukan kembali jalan ke masa depannya. Bahkan kakak perempuannya telah menyatakan kesediaannya untuk memungut anak Kanthi nanti jika anak itu lahir, dan mengakunya sebagai anaknya sendiri. Demikian pula ibunya dan orang-orang yang berhubungan dengan Kanthi, telah berusaha untuk membangkitkan lagi kemauannya untuk tetap hidup. Namun Kanthi masih juga memilih jalan sesat. Untunglah bahwa niatnya itu dapat diketahui, sehingga dapat digagalkan. Tetapi ia sudah sempat tergantung pada blandar di biliknya, ketika kakak perempuannya itu masuk dan langsung berteriak-teriak minta tolong.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Keributan itu-lah agaknya yang telah memanggil beberapa orang tetangga Ki Suracala sehingga mereka datang ke rumah itu. Dalam pada itu, ditunggui oleh Rara Wulan, Kanthi menjadi sedikit tenang. Kelelahan, kebingungan dan perasaan yang bercampur baur membuatnya menjadi sangat letih. Demikian ia merasakan ketenangan itu, maka Kanthi itu sempat tertidur, meskipun masih saja nampak gelisah. Baru ketika Kanthi tidur, ibu Kanthi itu memberitahukan kepada Rara Wulan apa yang terjadi. Rara Wulan pun menjadi sangat terkejut pula. Tetapi ketika ia hampir menjerit, maka iapun segera teringat, bahwa Kanthi sedang tertidur. Karena itu, ditahannya gejolak perasaannya yang mengguncang dada. Namun demikian, wajah Rara Wulan itu nampak menjadi pucat. Keringatnya mengalir bagaikan diperas, sehingga pakaiannya menjadi basah kuyup. “Kenapa hal itu dilakukannya?” bertanya Rara Wulan dengan menahan isaknya yang menyesakkan dadanya. Perempuan itu telah menjawab sebagaimana jawaban yang diberikan oleh Ki Suracala kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih di pendapa. Rara Wulan mengangguk kecil. Dengan susah payah ia menenangkan jantungnya yang terasa berdegup semakin keras. Bagaimanapun juga Kanthi masih tetap selamat, sehingga masih banyak kemungkinan yang dapat ditunjukkan kepadanya, agar Kanthi dapat bangkit kembali untuk menatap masa depannya. Untuk beberapa lama, Rara Wulan duduk dan berbincang dengan ketiga orang perempuan yang menunggui Kanthi, yang meskipun tertidur, tetapi terasa betapa kegelisahan masih tetap mencengkam jantungnya. Namun sejenak kemudian, Kanthi itu terbangun. Ia nampak terkejut dan gelisah. Namun Rara Wulan segera duduk di bibir pembaringannya sambil mengusap dahinya, “Tenanglah Kanthi. Aku masih di sini.” Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Rara Wulan yang pernah bertempur untuk melindunginya, benar-benar membuat perasaannya menjadi tenang. Gadis itu seakan-akan masih saja tetap melindunginya dari segala macam ancaman, dan bahkan dari dirinya sendiri. Rara Wulan yang sudah mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya atas Kanthi itu. berusaha untuk dapat membuat gadis itu mulai menyadari bahwa ia tidak boleh kalah dan menyerah. Kanthi harus tetap tegar dan berpengharapan. Tetapi Rara Wulan masih saja tidak berani menunjuk apa yang sebenarnya telah terjadi atas Kanthi. Sehingga apa yang dikatakannya dengan hati-hati tidak langsung ke sasaran. Rara Wulan berusaha untuk sangat berhati-hati berbicara dengan Kanthi yang hatinya sedang terluka parah. “Kau harus selalu berdoa Kanthi,“ berkata Rara Wulan, “jika hatimu menatap dengan mantap, maka Yang Maha Agung akan mendengarkan doamu. Kau akan segera sembuh. Baik sakit yang kau derita pada sisi kewadaganmu, maupun sakit yang kau derita pada sisi kejiwaanmu. Yang Maha Agung tidak akan mengecewakan justru jika kau tetap berpengharapan.” Kanthi mengangguk kecil. Sementara Rara Wulan berkata, “Sekarang kau harus benar-benar meletakkan segala beban perasaanmu. Serahkan semua persoalanmu kepada Yang Maha Agung. Kau harus memohon dan memohon petunjuk dengan lambaran kepercayaan yang bulat.” Kanthi mengangguk lagi. Sementara ibunya berdesis lirih, “Kau dengar itu Genduk?” Kanthi mengangguk lagi. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Wajah Kanthi yang pucat serta matanya yang lembab membayangkan betapa hatinya terkoyak-koyak. Ketika Rara Wulan beringsut, dengan cepat Kanthi menangkap tangannya sambil berkata dengan nada tinggi, “Jangan tinggalkan aku. Aku takut.” “Tidak Kanthi. Aku tidak akan pergi,” jawab Rara Wulan. Namun sebenarnyalah bahwa Rara Wulan berpikir bahwa tentu sulit baginya nanti untuk meninggalkan rumah itu, jika sikap Kanthi tidak berubah. Sementara itu, di pendapa Ki Suracala masih bercerita tentang anak perempuannya itu. Dari hari ke hari, ia menjadi semakin murung. Ia merasa tidak akan dapat menyembunyikan cela yang melekat di tubuhnya, sehingga akhirnya Kanthi telah kehilangan akal. Ki Jayaraga mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya dengan nada berat, “Ki Suracala memang harus bersabar, tabah dan pasrah kepada Yang Maha Agung. Dengan kesabaran dan ketabahan, serta doa yang tidak berkeputusan, maka beban yang disandang oleh Kanthi akan terasa menjadi lebih ringan.” Ki Suracala mengangguk-angguk. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku mohon Ki Jayaraga dan Angger Glagah Putih ikut berdoa pula agar Kanthi mendapat pikiran yang terang.” “Tentu,” jawab Ki Jayaraga, “kami di Tanah Perdikan, bukan saja aku dan angger Glagah Putih tetapi juga yang lain, selalu berdoa agar Kanthi dapat segera bangkit kembali menyongsong masa depannya.” “Terima Kasih,“ gumam Ki Suracala. Namun kemudian suaranya seakan-akan tertelan kembali, “Tetapi bagaimana dengan anak yang akan lahir itu?” “Ada seribu jalan yang dapat tiba-tiba saja terbentang di hadapan Kanthi, jika Yang Maha Agung menghendaki,” jawab Ki Jayaraga. Ki Suracala mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang selalu memohon tanpa berkeputusan. Di malam hari, lewat tengah malam, aku selalu turun ke halaman, memandang bintang-bintang di langit. Kemudian memohon dan memohon. Mohon ampun dan mohon petunjuk.” “Yang Maha Agung akan mendengarkan permohonan Ki Suracala,” desis Ki Jayaraga. Ki Suracala pun terdiam sejenak. Namun kemudian seperti orang tersadar dari mimpinya, iapun mempersilahkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih untuk bergeser, duduk di antara beberapa orang tetangga Ki Suracala yang berdatangan ketika mereka mendengar keributan di rumah itu. Kepada tetangga-tetangganya Ki Suracala memperkenalkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih sebagai tamu-tamunya dari Tanah Perdikan Menoreh. “Mereka adalah sebagian dari keluarga Ki Argajaya, yang telah menyelamatkan aku dan keluargaku beberapa waktu yang lalu,“ berkata Ki Suracala. Tetangga-tetangga Ki Suracala itu mengangguk hormat. Mereka mengerti bahwa beberapa waktu yang lalu telah terjadi peristiwa berdarah di rumah itu, sehingga ada di antara mereka yang melaporkan kepada Ki Demang, sehingga Ki Demang telah datang ke rumah itu bersama beberapa orang bebahu kademangan dan padukuhan itu. Demikianlah, beberapa saat lamanya mereka duduk di pendapa. Namun kemudian tetangga-tetangga Ki Suracala itu satu demi satu telah minta diri, ketika mereka tahu bahwa keadaan telah menjadi tenang. Hanya beberapa orang perempuan saja-lah yang masih tinggal. Sebagian duduk di ruang dalam dan sebagian lagi ada di dapur, membantu menyiapkan minuman dan makanan, karena Nyi Suracala dan keluarganya tidak sempat memikirkannya. Di pendapa, Ki Jayaraga dan Glagah Putih duduk beberapa lama dengan Ki Suracala. Minuman dan makanan yang dihidangkan telah mereka minum dan mereka makan beberapa potong. Sementara itu, Rara Wulan masih saja berada di ruang dalam. Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan tidak dapat beringsut dari pembaringan Kanthi. Setiap kali Kanthi justru memegangi tangannya dengan erat, seakan-akan tidak akan pernah dilepaskan lagi. Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan sendiri mulai menjadi gelisah. Ia sadar bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putih menunggunya di pendapa. Sementara itu ia tidak dapat meninggalkan Kanthi sama sekali. Ketika Rara Wulan mengatakan bahwa ia akan menemui Ki Jayaraga dan Glagah Putih sebentar saja di pendapa, Kanthi sama sekali tidak mau melepaskannya. “Sebentar saja Ngger,“ berkata ibunya, “Angger Rara Wulan akan berbicara sebentar saja dengan Angger Glagah Putih yang menunggunya di pendapa.” “Tidak. Tidak,“ Kanthi memegang tangan Rara Wulan semakin erat. “Sudahlah Bibi,” desis Rara Wulan kemudian, “biarlah aku di sini untuk beberapa saat.” “Tidak hanya untuk beberapa saat. Kau tidak boleh pergi,“ sahut Kanthi. Sambil menarik nafas panjang. Katanya, “Baik, baik, Kanthi. Aku akan menungguimu di sini.“ Dalam pada itu, Nyi Suracala-lah yang kemudian pergi ke pendapa menemui Ki Jayaraga dan Glagah Putih. “Kanthi sama sekali tidak mau melepaskan Rara Wulan,“ berkata Nyi Suracala. Ki Jayaraga dan Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Namun sebenarnyalah mereka menjadi gelisah. Jika Rara Wulan tidak dapat meninggalkan Kanthi, apakah mereka pun harus tinggal di Kademangan Kleringan sampai jiwa Kanthi menjadi tenang? Agaknya Ki Suracala dapat membaca perasaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih, karena itu ia-lah yang bertanya kepada Nyi Suracala, “Jika demikian, apakah berarti Angger Rara Wulan harus tetap berada di dalam biliknya?” “Setiap Angger Rara Wulan beringsut, Kanthi selalu memegangi tangannya erat-erat. Ia hanya mengatakan bahwa Angger Rara Wulan tidak boleh meninggalkannya,” jawab Nyi Suracala. “Sampai kapan Angger Rara Wulan harus menungguinya?” bertanya Ki Suracala. “Sudahlah,” potong Ki Jayaraga, “kita akan menunggu, nanti perasaan Kanthi akan menjadi tenang. Agaknya Rara Wulan dianggapnya dapat memberikan perlindungan bagi Kanthi dari tekanan-tekanan atas perasaannya, bahkan yang datang dari dirinya sendiri, karena Rara Wulan memang pernah menyelamatkannya pada saat-saat yang sangat gawat itu.” Ki Suracala pun mengangguk-angguk. Namun katanya kepada Nyi Suracala, “Dengan perlahan-lahan usahakanlah Nyi, agar Angger Rara Wulan nanti dapat keluar dari bilik Kanthi. Tetapi alangkah terima kasih kita jika Angger Rara Wulan bersedia bermalam barang semalam di sini.” Nyi Suracala tidak menjawab. Tetapi di luar sadarnya ia memandang Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Namun baik Ki Jayaraga maupun Glagah Putih tidak memberikan tanggapan apapun juga. Sebenarnyalah bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih belum tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan, jika benar Rara Wulan tidak dapat meninggalkan bilik Kanthi itu. Meskipun demikian, Nyi Suracala masih juga berkata, “Tetapi baiklah kami usahakan agar Angger Rara Wulan dapat meninggalkan Kanthi nanti pada saatnya. Mudah-mudahan Kanthi menjadi semakin tenang sehingga ia tidak lagi memegangi tangan Angger Rara Wulan tanpa mau melepaskannya sama sekali.” Dengan demikian, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putih harus menunggu. Mereka tidak segera dapat mengajak Rara Wulan pulang. Karena itu, setelah makan siang Ki Suracala telah mempersilahkan keduanya beristirahat. Bagi mereka disediakan sebuah bilik di gandok kanan. Tetapi Ki Jayaraga dan Glagah Putih kemudian hanya duduk-duduk saja di serambi gandok sambil memandangi halaman rumah Ki Suracala, yang nampak sejuk oleh pepohonan yang tumbuh di halaman depan. Bahkan terdapat pula beberapa jenis tanaman pajangan. Pohon soka, ceplok piring, dan di sudut pendapa terdapat rumpun-rumpun kembang melati yang sedang berbunga. Sementara itu, di dalam biliknya Kanthi tetap tidak mau melepaskan tangan Rara Wulan. Ketika ibu dan kakaknya berusaha untuk menenangkannya dan menjelaskan kepadanya bahwa Rara Wulan harus kembali ke Tanah Perdikan. Kanthi tidak mau mendengarkannya lagi. “Kanthi,“ berkata ibunya, “tentu saja Angger Rara Wulan tidak dapat tinggal di sini terus. Ia harus pulang ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika tidak, maka keluarganya tentu akan menjadi cemas dan gelisah. Apalagi beberapa waktu yang lalu, telah terjadi perselisihan di sini.” “Apapun sebabnya, Rara Wulan tidak boleh pergi,” jawab Kanthi. “Rara Wulan sendiri mungkin dapat mengerti keadaanmu, Kanthi. Tetapi keluarganya di Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya ibunya. “Tidak. Tidak,“ Kanthi mulai menangis. “Besok aku datang lagi kemari Kanthi,” desis Rara Wulan. “Tidak Rara. Jika kau harus pulang ke Tanah Perdikan Menoreh, aku akan ikut. Aku akan bersedia untuk menjadi pembantu di rumahmu. Aku bersedia mencuci pakaian, mengambil air, masak dan semua kerja apapun.” Rara Wulan terkejut. Tetapi sebelum ia menyahut, maka Kanthi sudah mendahuluinya, “Jika kau tidak membiarkan aku ikut, maka kau tidak boleh pergi. Jika kau memaksa, maka aku akan memilih mati daripada selalu disiksa oleh kegelisahan dan perasaan berdosa.“ Rara Wulan memang menjadi bingung. Ia tidak segera dapat mengambil keputusan. Kedua kemungkinan itu akan sama-sama beratnya. Ia tentu tidak dapat tinggal di rumah Kanthi untuk satu dua hari sekalipun. Apalagi jika hal itu diketahui oleh orang-orang yang mendendam. Iapun tidak mungkin minta Glagah Putih menemaninya di Kademangan Kleringan. Tentu akan dapat menimbulkan prasangka buruk, justru karena ia mempunyai hubungan khusus dengan Glagah Putih, Sementara itu, Kanthi masih saja tetap berpegangan pada tangan Rara Wulan. Untuk beberapa saat, Rara Wulan memang tidak memberikan jawaban. Ia masih saja duduk di pembaringan Kanthi. Bahkan makan siang pun dilakukannya di dalam bilik Kanthi, karena dengan demikian serba sedikit Kanthi juga mau makan. Namun akhirnya Rara Wulan mendapat akal agar ia dapat berbicara dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Kepada Kanthi, Rara Wulan itu pun berkata, “Kanthi, aku minta agar kau memberi kesempatan kepadaku untuk pergi ke pakiwan.” “Tidak,” jawab Kanthi. “Tentu sulit bagiku untuk menahan diri tidak pergi ke pakiwan. Kau tahu, aku sudah lama berada di sini. Karena itu, aku hanya minta waktu sedikit saja. Aku tidak akan pergi. Aku tahu bahwa aku tidak boleh melakukannya dengan mengelabuimu. Akibatnya tentu akan aku sesali untuk waktu yang sangat lama.” Sebelum Kanthi menjawab, ibunya berkata, “Kanthi, kau jangan menyiksa Rara Wulan. Setiap orang tentu memerlukan waktu untuk pergi ke pakiwan. Kau dapat saja merasa tenang karena kau mendapat perlindungan. Tetapi ketenanganmu itu akan dapat membuat Angger Rara Wulan gelisah.” Kanthi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi jangan terlalu lama, Rara. Dan kau harus kembali ke bilik ini. Sudah aku katakan, bahwa jika kau tidak bersedia tinggal di sini, biarlah aku ikut kau ke rumahmu, dimanapun kau tinggal. Aku bersedia untuk menjadi pembantu di rumahmu. Mencuci, menyapu halaman, menimba air dan apa saja.” “Aku akan kembali Kanthi. Aku berjanji,” jawab Rara Wulan. Demikianlah, maka akhirnya Rara Wulan dapat keluar dari bilik itu. Ia memang benar-benar pergi ke pakiwan. Tetapi kemudian Rara Wulan telah mencari dan menemui Ki Jayaraga dan Glagah Putih, untuk memberitahukan permintaan Kanthi. Apakah Rara Wulan tinggal di rumah itu, atau Kanthi ikut bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh. “Pilihan yang sulit,“ berkata Glagah Putih, “jika kau tinggal di sini Rara, kau tentu dalam keadaan bahaya. Mungkin orang-orang yang mendendam itu masih juga mendendammu, jika mereka tahu kau ada di sini.” “Jadi, apakah kau harus menemaninya Glagah Putih?“ berkata Ki Jayaraga. Glagah Putih termangu-mangu. Namun Rara Wulan berkata, “Sebaiknya tidak, Ki Jayaraga. Bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang tidak mengetahui dengan pasti apa yang terjadi di sini, akan dapat menimbulkan rerasan yang kurang baik.” “Ya,“ Ki Jayaraga mengangguk-angguk, “aku mengerti. Orang-orang yang tidak senang akan membuat cerita yang bermacam-macam tentang kalian berdua. Tetapi untuk membawanya ke Tanah Perdikan Menoreh, ada Prastawa. Jika Kanthi masih sempat melihat Prastawa, maka hatinya yang terluka itu akan terasa pedih kembali.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Ya. Satu persoalan yang perlu mendapat perhatian, Rara.” “Tetapi kita harus memilih. Aku tinggal di sini atau Kanthi ikut bersama kita,“ berkata Rara Wulan, “di luar dua kemungkinan itu, Kanthi sudah mengatakan bahwa ia memilih mati.” Ki Jayaraga dan Glagah Putih justru merenung. Dua pilihan yang mempunyai keberatannya masing-masing. Namun akhirnya Glagah Putih berkata, “Biarlah Kanthi ikut bersama Rara Wulan ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan dapat berbicara dengan Prastawa. Kita memerlukan pengertiannya untuk tidak datang ke rumah kita, atau bahkan jika mungkin mengambil jalan lain, jangan lewat di depan rumah kita.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Meskipun ragu-ragu, tetapi ia berkata, “Bagaimana jika Rara berterus terang kepada Kanthi?” “Aku tidak sampai hati, Ki Jayaraga,” jawab Rara Wulan. Ki Jayaraga itu pun mengangguk-angguk. “Jika demikian, biarlah kita mengajaknya pulang. Tetapi tentu setelah senja, agar tidak banyak orang yang melihat dan menyapanya. Meskipun kehamilannya masih belum nampak bagi mereka yang tidak sangat memperhatikan, tetapi jika kebetulan satu dua orang yang pernah mendengar persoalan Prastawa mengetahui kehadirannya di Tanah Perdikan, maka akan dapat menimbulkan persoalan baru.” “Aku kira di Tanah Perdikan Menoreh belum ada seorangpun yang mendengarnya,“ sahut Rara Wulan. “Tidak Rara. Menurut Prastawa, justru Anggreni dan keluarganya sudah mengetahui,” desis Ki Jayaraga. “Jadi keluarga Anggreni sudah tahu?“ Rara Wulan terkejut, “Betapa gadis itu merasa semakin menang.” “Tidak,“ Ki Jayaraga menggeleng, “Anggreni bukan jenis yang demikian. Ia dapat mengerti perasaan Kanthi. Ia dapat mengerti perasaan seorang gadis lain yang sakit karena angan-angannya yang lepas. Juga tentang Prastawa. Untunglah bahwa gadis itu tidak mengalami kesulitan yang parah seperti Kanthi. Ia segera dapat bangkit kembali dan berusaha melupakannya.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Tetapi dengan demikian penilaiannya terhadap Anggreni yang belum pernah dikenalnya itu menjadi agak berubah. Dalam pada itu, sebelum pembicaraan itu tuntas, maka seorang perempuan berlari-lari mencari Rara Wulan. Dengan gelisah ia berkata, “Kanthi mencarimu, Ngger. Kanthi mulai menangis dan gelisah lagi.” “Baik. Baik,” jawab Rara Wulan, “aku akan segera datang.” Rara Wulan yang tergesa-gesa pergi untuk menemui Kanthi masih sempat bertanya kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih, “Jadi kita condong membawa Kanthi ke Tanah Perdikan, daripada aku harus tinggal di sini?” “Ya,” jawab Ki Jayaraga, “untuk sementara.“ Rara Wulan pun segera berlari ke bilik Kanthi. “Kenapa lama sekali?” bertanya Kanthi yang langsung berpegangan tangan Rara Wulan. “Kau akan meninggalkan aku?” “Tidak. Aku baru ke pakiwan dan berbicara sedikit dengan Ki Jayaraga dan Kakang Glagah Putih,” jawab Rara Wulan. “Apakah mereka tidak mengijinkan kau tinggal di sini atau aku ikut ke rumahmu?” bertanya Kanthi. “Mereka sama sekali tidak berkeberatan Kanthi,” jawab Rara Wulan. Dan bahkan Rara Wulan itu pun kemudian sekaligus berkata kepada ibu Kanthi, “Nyi Suracala, biarlah Kanthi bersamaku untuk sementara di rumahku. Mudah-mudahan ia menemukan cahaya di hatinya, sehingga hatinya menjadi terang kembali.” Nyi Suracala termangu-mangu sejenak. Namun Kanthi berkata, “Biarlah aku menyingkir dari rumah ini, Ibu. Bagi Ibu aku adalah anak yang durhaka.” “Tidak. Tidak Kanthi. Apapun yang terjadi atas dirimu, kau tetap anakku. Aku dan ayahmu tidak akan dapat mencuci tangan dan apalagi mengibaskan kau karena kau telah tergelincir.” Dalam pada itu, maka kakak perempuannyapun berkata, “Kanthi, Ayah, Ibu, aku dan seluruh keluarga ini justru berusaha membantumu. Bukan berarti kami menganggap kau tidak bersalah. Tetapi setelah kau sendiri mengakuinya bersalah, maka harus diketemukan jalan menuju ke masa depanmu.” Kanti tercenung. Tetapi ia tidak menjawdb. Meskipun demikian ia masih tetap berpegang tangan Rara Wulan. Sementara itu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah dipersilahkan lagi duduk di pendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan telah dihidangkan. Pada kesempatan itu, Ki Jayaraga juga menyampaikan keinginan Kanthi dan sekaligus untuk mohon pertimbangannya. “Jika itu yang diinginkan Kanthi, aku tidak dapat menahannya. Namun masih juga tergantung Angger Rara Wulan, apakah ia bersedia membawa Kanthi,” desis Ki Suracala dengan nada rendah. “Rara Wulan sudah menyatakan tidak berkeberatan, jika ayah dan ibu Kanthi mengijinkan,” jawab Ki Jayaraga. Ki Suracala hanya dapat mengangguk-angguk. Nalarnya seakan-akan menjadi pepat menghadapi persoalan anak perempuannya itu. Tetapi seperti juga Nyi Suracala, Ki Suracala sama sekali tidak ingin melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Apapun yang terjadi atas anaknya, maka hubungan darah itu tidak akan pernah dapat diputuskan dengan cara apapun juga. Dalam pembicaraan selanjutnya antara Kanthi, orang tua Kanthi, serta para tamu dari Tanah Perdikan Menoreh itu, diputuskan bahwa Kanthi akan ikut bersama Rara Wulan ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka pun sepakat untuk meninggalkan rumah Ki Suracala itu setelah lewat senja, agar tidak banyak orang yang melihatnya. Demikianlah, ketika gelap malam mulai membayang, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mohon diri. Bersama mereka telah pergi pula Kanthi. Nyi Suracala sempat memeluk anaknya sambil menahan tangisnya yang menyesakkan dadanya. “Kau tidak boleh terlalu lama pergi Kanthi,“ berkata ibunya di sela isaknya. Kanthi tidak segera menjawab. Dipandanginya lampu minyak yang sudah menyala di pendapa rumahnya. Kemudian bayangan pepohonan yang mulai menjadi kehitaman. Rumah, halaman dan pepohonan itu adalah bagian dari hidup Kanthi sehari-hari. Namun ia tidak dapat tinggal lebih lama di rumah yang serasa seakan-akan selalu menyiksanya itu. Kanthi memang juga menitikkan air mata ketika ia minta diri. Tetapi Kanthi merasa lebih baik pergi dari kenangan yang pahit itu. Bahkan jika tidak ada tujuannya pun, ia merasa lebih baik pergi kemanapun juga. Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah meninggalkan rumah Ki Suracala. Sementara itu gelap mulai menyelimuti perbukitan. Kanthi yang tidak pernah pergi kemanapun itu merasa betapa jantungnya berdegup keras. Rumah, halaman, pohon soka dan ceplok piring di halaman, harus ditinggalkannya. Kanthi mengerutkan keningnya kelfika ia teringat akan kucing putihnya. Kucing yang banyak menemaninya di saat-saat hatinya gelisah, dan bahkan akhirnya menjadi pepat dan gelap. Kanthi-lah yang setiap pagi, siang dan sore memberi makan kucing itu. Tetapi hatinya telah bulat untuk meninggalkan segala-galanya yang ada di dalam rumah itu, termasuk kenangan pahitnya. Kanthi yang tidak terbiasa berjalan dalam gelap itu telah dibimbing oleh Rara Wulan. Rara Wulan sendiri telah melatih penglihatan dan pendengarannya dengan baik. Iapun telah membiasakan diri untuk berjalan di dalam gelap dan bahkan bertempur di kegelapan. Sehingga karena itu, maka berjalan di dalam gelap itu Rara Wulan sama sekali tidak mengalami kesulitan, sebagaimana ia berjalan di siang hari. Meskipun Kanthi mengalami kesulitan di perjalanan, tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Ia sudah bertekad untuk meninggalkan rumah dan seisinya. Apapun yang akan dialami di perjalanan dan bahkan di tempat yang dituju, Kanthi tidak mau memikirkannya. Jalan-jalan di Kademangan Kleringan sudah sepi. Sementara gardu-gardu masih belum terisi. Meskipun demikian, di beberapa gardu telah dipasangi lampu minyak, sementara di regol-regol padukuhan oncor pun telah menyala. Namun keempat orang itu tidak dapat berjalan cepat. Rara Wulan yang membimbing Kanthi berusaha untuk mengikuti saja kemampuan langkah Kanthi, yang apalagi sedang mengandung muda. Meskipun Rara Wulan belum mengalami, tetapi ia sudah mengetahui bahwa dalam keadaan mengandung muda, seseorang harus sangat berhati-hati. Beberapa saat kemudian, terasa jalan mulai menanjak. Mereka akan melintasi punggung pegunungan yang jarang didiami orang. Pepohonan menjadi semakin rapat, dan bahkan mereka akan melintasi hutan pegunungan. Meskipun tidak terlalu lebat, tetapi hutan itu masih juga dihuni oleh binatang buas. Namun Ki Jayaraga, Glagah Putih, bahkan Rara Wulan mengetahui bahwa jarang sekali seseorang mengalami gangguan binatang buas. Hanya binatang buas yang sudah terlalu tua sehingga tidak mampu lagi memburu kijang saja-lah yang merupakan bahaya bagi seseorang. Namun Rara Wulan yang berjalan di muka sambil membimbing Kanthi termangu-mangu melihat oncor yang menyala di sudut sebuah padukuhan. Ia melihat bayangan beberapa orang yang berkumpul di dekat oncor itu. Bahkan kemudian Rara Wulan mulai mendengar suara tertawa dan bahkan suara ribut di antara mereka. Kanthi yang kemudian juga melihat mereka ternyata menjadi ketakutan. Dengan eratnya ia berpegangan Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu berdesis, “Jangan takut Kanthi. Mereka tidak apa-apa. Mereka tentu anak-anak muda yang sedang bersiap-siap untuk meronda. Bahkan di antara mereka terdapat anak-anak muda yang tidak sedang bertugas, namun mereka ikut berkumpul di sudut padukuhan.” “Rara, itu padukuhan Cerma,” desis Kanthi. “O,” Rara Wulan memang belum mengetahui nama padukuhan itu. “Aku takut,” desis Kanthi. “Kenapa?” bertanya Rara Wulan. “Aku lupa mengatakannya, bahwa padukuhan itu banyak dihindari oleh gadis-gadis,” jawab Kanthi. Namun kemudian katanya, “Meskipun aku bukan gadis lagi, tetapi aku takut. Apakah kita dapat kembali dan memilih jalan lain?” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun agaknya orang-orang yang berkumpul di dekat oncor itu sudah melihat mereka. Karena itu, Rara Wulan berkata, “Mereka sudah melihat kita. Tidak ada gunanya kita memilih jalan lain. Jika mereka memang ingin mengganggu, maka mereka tentu akan mengejar kita. Karena itu sebaiknya kita berjalan terus. Mungkin mereka sama sekali tidak berniat buruk. Hanya prasangka kita saja-lah yang justru telah membayangi kita.” “Tidak Rara. Anak-anak padukuhan Cerma memang sering mengganggu gadis-gadis, bahkan perempuan-perempuan yang telah berkeluarga pula. Semua orang Kleringan mengetahui hal itu,” desis Kanthi yang justru telah berhenti. Ki Jayaraga dan Glagah Putih yang berjalan di belakang telah berhenti pula. Namun seperti Rara Wulan, Glagah Putih berdesis, “Tidak apa-apa Kanthi. Kita akan menyapa mereka dengan baik. Mereka tentu dapat membedakan, apakah seseorang dapat diganggu atau tidak.” Mereka tidak dapat berbicara lebih lanjut. Bahkan Kanthi justru telah bergeser, berdiri di belakang Rara Wulan sambil berpegangan kedua lengannya, “Aku takut.” Ternyata seperti yang diduga oleh Rara Wulan, anak-anak muda yang duduk di sebelah oncor itu telah melihat keempat orang yang sedang dalam perjalanan menuju ke seberang bukit. Ketika keempat orang itu berhenti, maka seorang anak muda telah berkata lantang, “He, kenapa kalian berhenti? Apakah kalian mengira bahwa kami sekelompok penyamun yang menghadang perjalanan kalian?” Rara Wulan-lah yang berdesis, “Nah, kau dengar itu? Mereka agaknya justru telah tersinggung karena kita berhenti di sini.” Kanthi masih saja termangu-mangu. Namun suara yang lain berkata, “Apakah kami harus menjemput kalian dan kemudian mengantar kalian sampai ke bukit?” Rara Wulan pun berdesis pula, “Marilah, jangan takut.” Kanthi masih saja ragu-ragu. Namun Ki Jayaraga pun berkata pula, “Marilah. Kita berjalan terus.” Keempat orang itu kembali melangkah melanjutkan perjalanan. Kanthi berjalan di belakang Rara Wulan sambil berpegangan erat-erat. Namun Rara Wulan seperti berjalan saja tanpa ragu-ragu sama sekali. Namun sebenarnyalah Rara Wulan memang menjadi curiga. Ia justru condong untuk mempercayai kata-kata Kanthi. Ketika keempat orang itu semakin mendekat, maka orang-orang yang berkerumun di sekita oncor itu sama sekali tidak mau menyibak. Dalam pada itu, Glagah Putih yang kemudian berjalan di depan berdesis, “Maaf Ki Sanak. Kami akan lewat.” Orang-orang yang berkerumun di sekitar obor itu semuanya berpaling ke arah Glagah Putih. Mereka semua adalah anak-anak muda sebaya dengan Glagah Putih itu. Di sebelah mereka berserakan bumbung-bumbung kecil yang berbau tuak. Mulut-mulut anak-anak muda itu pun berbau tuak pula. Seorang di antara mereka melangkah mendekati Glagah Putih. Namun ia berhenti beberapa langkah daripadanya. Dari keseimbangannya yang gontai nampak bahwa anak muda itu sedikit mabuk oleh tuak. Sambil memandang Glagah Putih dengan tajamnya anak muda itu bertanya, “He, kau akan membawa perempuan-perempuan itu ke mana?” “Mereka adalah saudara-saudaraku,” jawab Glarah Putih, “aku sedang dalarn perjalanan pulang.” Anak muda itu tertawa. Katanya, “Jangan berbohong. Perempuan itu tentu kau ambil dari rumah Nyi Sunthi. He, akan kau bawa ke mana mereka itu?” “Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian, “aku bukan orang kademangan ini. Aku tidak mengenal Nyi Sunthi. Kedua perempuan ini adalah adikku yang akan aku ajak pulang. Kami baru saja berkunjung ke rumah saudaraku pula.” Beberapa orang anak muda itu justru tertawa serentak. Seorang di antara mereka berkata, “Kebetulan sekali jika perempuan-perempuan itu tidak kau ambil dari rumah Nyi Sunthi. Tinggalkan mereka di sini. Kami memerlukan keduanya. Jika kau masih mempunyai adik perempuan lagi, ambillah dan bawa pula kemari. Dua atau tiga atau empat. Kami semua di sini berjumlah sebelas orang.” Kanthi berpegangan Rara Wulan semakin erat. Tubuhnya menggigil dan keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Ada penyesalan tumbuh di hatinya. Jika ia tidak pergi dari rumahnya, maka ia tidak akan bertemu dengan anak-anak muda yang sedang mabuk itu. Anak-anak muda yang akan dapat semakin menghancurkan hidup dan masa depannya. Tetapi nampaknya Rara Wulan sama sekali tidak menjadi ketakutan. Ia masih saja berdiri dengan tegar memandang anak-anak muda itu dengan wajah tengadah. Yang kemudian menjawab adalah Glagah Putih, “Ki Sanak. Jangan merendahkan martabat saudara-saudaraku. Itu akan dapat berakibat kurang baik.” “Persetan kau,” geram seorang anak muda yang sejak semula duduk berdiam diri. Seorang anak muda yang bertubuh tinggi besar. Wajahnya nampak keras seperti batu padas. Namun dari mulutnya juga menghambur bau tuak, “Pergi kau anak iblis. Bawa orang tua itu. Apakah ia ayahmu?” “Ya,” jawab Glagah Putih, “kami memang sekeluarga.” “Nah, sebelum kami kehilangan kesabaran, maka pergilah. Tinggal kedua perempuan itu di sini. Nanti lewat tengah malam, ambil keduanya. Aku akan membiarkan mereka pergi.” Kanthi menjadi semakin ketakutan. Tetapi Rara Wulan menjadi sangat marah. Apalagi ketika anak muda yang bertubuh raksasa itu mendekatinya sambil berkata, “Bawa oncor itu kemari.” Seorang anak muda telah mengambil oncor dan membawanya mendekati Rara Wulan dan Kanthi yang berpegangan erat-erat. “Aku ingin melihat wajah mereka dengan jelas,“ berkata anak muda yang bertubuh raksasa itu. Namun Kanthi berusaha menyembunyikan wajahnya di belakang kepala Rara Wulan. Ia merasa bahwa di antara anak-anak muda itu tentu sudah ada yang mengenalnya, dan bahkan mungkin mengetahui apa yang telah terjadi atasnya. Jika demikian, maka persoalannya mungkin akan menjadi semakin rumit baginya. Anak-anak muda itu tentu menganggapnya sebagai perempuan yang tidak berharga dan dapat diperlakukan apa saja. Namun anak muda yang membawa oncor itu terhenti ketika Glagah Putih melangkah dan berdiri selangkah di hadapannya. “Jangan ganggu adik-adikku,“ berkata Glagah Putih. “Gila kau,“ anak muda yang bertubuh raksasa itu mengumpat, “apakah kau ingin mengalami nasib paling buruk?” Tetapi Glagah Putih tidak bergeser. Katanya, “Setiap orang berhak membela diri dari serangan orang lain. Apakah serangan itu dalam ujud kewadagan kami atau serangan yang menyakiti hati kami.” “He, kau mau apa kelinci kecil? Kau tentu dapat menghitung jumlah kami. Sebelas orang, kami dapat membunuhmu di sini sekarang juga bersama ayahmu. Baru kemudian besok pagi kami bunuh kedua perempuan itu. Atau jika tidak, kami simpan perempuan-perempuan itu barang tiga atau lima hari. Baru kemudian kami lemparkan ke dalam jurang.” “Penghinaan itu sudah cukup,“ berkata Glagah Putih, “pergilah. Beri kami jalan.” Anak muda yang bertubuh raksalsa itu tidak menghiraukan kata-kata Glagah Putih. Iapun kemudian menyambar oncor di tangan kawannya dan melangkah mendekati Rara Wulan dan Kanthi yang ketakutan. Tetapi sekali lagi Glagah Putih menghalangi langkahnya. Dengan marah anak muda bertubuh raksasa itu mendorong Glagah Putih ke samping. Namun anak muda itu terkejut. Ia sendiri justru terdorong selangkah dan hampir saja jatuh terguling. Sementara itu Glagah Putih masih berdiri tegak di tempatnya. Anak muda bertubuh raksasa itu kemudian berdiri termangu-mangu sambil memandang Glagah Putih, yang tegak dengan kedua kakinya yang bagaikan menghunjam sampai ke pusat bumi. Anak muda bertubuh raksasa itu agaknya tidak mau melihat kenyataan yang baru saja terjadi. Ia menganggapnya sebagai satu kebetulan, atau bahkan sesuatu yang tidak pernah terjadi. Beberapa orang kawannya pun sempat mengerutkan dahi mereka. Tetapi di bawah pengaruh tuak yang mengeruhkan otak mereka, maka mereka pun tidak mau tahu kenyataan itu. Bahkan mereka yang masih belum dicengkam oleh pengaruh tuak pun menganggap bahwa yang terjadi itu adalah satu kebetulan, bahkan satu kecelakaan kecil. Karena itu, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu kemudian menggeram sambil berkata, “Iblis kecil. Sekali lagi aku peringatkan, jangan membantah. Aku tidak mau mendengar seseorang menentang kehendakku. Karena itu, minggirlah. Ajak setan tua itu pergi. Nanti setelah lewat tengah malam, atau besok pagi-pagi, datanglah kemari. Kedua perempuan itu sudah menunggumu di sini.” Glagah Putih yang sudah kehabisan kesabaran itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja tangannya telah melayang menampar mulut anak muda itu. Tamparan yang cukup keras, sehingga bibir anak muda itu terasa menjadi pedih. Darah yang merah telah mengalir dari bibirnya yang pecah. Anak muda itu menyeringai. Bukan saja menahan sakit, tetapi juga karena kemarahan yang membakar ubun-ubunnya. Karena itu, maka tanpa berbicara lagi tiba-tiba saja anak itu menyerang Glagah Putih. Dengan derasnya tangannya terayun mengarah ke kening Glagah Putih. Glagah Putih sama sekali tidak menghindar. Tetapi ia menangkis serangan itu dengan tangannya pula. Ketika benturan terjadi, maka tulang anak muda bertubuh raksasa itu terasa seakan-akan menjadi retak. Kemudian, belum lagi ia sempat mengatasi perasaan sakit, maka tangan Glagah Putih telah memukul perutnya. Meskipun Glagah Putih tidak menghentakkan seluruh tenaganya, namun pukulan itu membuat perutnya menjadi sangat sakit dan mual. Anak muda bertubuh raksasa itu terbungkuk sejenak. Namun kemudian lutut Glagah Putih menghantam dahinya, sehingga anak muda itu terdorong dengan derasnya beberapa langkah surut, dan terbanting jatuh terlentang di tanah. Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya, sehingga tidak seorangpun di antara anak-anak muda itu yang sempat membantu. Baru kemudian anak-anak muda itu menyadari, apa yang telah terjadi di hadapan hidung mereka. Dengan susah payah anak muda bertubiuh raksasa itu berusaha bangkit. Ketika seorang kawannya berusaha membantunya, maka tangannya segera dikibaskannya sambil menggeram, “Lepaskan. Aku tidak apa-apa. Aku dapat bangkit sendiri.” Kawannya memang segera melepaskannya. Tetapi anak muda itu justru hampir terjatuh lagi. Namun kemudian ia mampu untuk berdiri di atas kedua kakinya meskipun masih goyah. Perasaan sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Bibirnya yang pecah, tangannya yang terasa retak, perutnya yang mual dan nafasnya yang menjadi sesak. Tetapi juga dahinya yang membentur lutut lawannya itu. Dengan wajah yang merah padam anak muda itu melangkah maju. Kemudian dengan lantang ia berkata, “Tangkap mereka. Kita akan menunjukkan kepada kedua laki-laki itu, apa yang akan kita lakukan terhadap perempuan-perempuan mereka.” Perintah itu memang tidak perlu diulangi. Anak-anak muda itu benar-benar merasa terhina oleh perlakuan Glagah Putih terhadap kawannya yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, beberapa orang anak muda segera berloncatan maju menghadapi Glagah Putih. Seorang di antara anak-anak muda itu telah memungut oncor yang terlempar, namun yang masih tetap menyala. Ia berniat mempergunakan oncor itu sebagai senjata. Karena itu, demikian anak muda bertubuh raksasa itu memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerang, anak muda yang membawa oncor telah menjulurkan apinya ke arah tubuh Glagah Putih. Tetapi ia terkejut sekali ketika tanpa diketahui apa yang telah terjadi, oncor itu telah berpindah di tangan Glagah Putih. Bahkan Glagah Putih-lah yang kemudian menjulurkan oncor itu ke arah beberapa orang anak muda yang siap menyerangnya. Tetapi tidak semua anak muda itu menyerang Glagah Putih. Dua orang di antaranya berusaha untuk menangkap Ki Jayaraga yang berdiri saja mematung. Ketika keduanya mendekati Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Anak-anak muda. Bukankah aku tidak melibatkan diri sama sekali? Kenapa kalian juga akan menyerang aku?” “Aku ingin menangkapmu kakek tua. Kemudian mengikatmu, agar kau sempat menyaksikan apa yang akan terjadi kemudian.” Ki Jayaraga tidak menjawab. Namun demikian kedua anak muda itu mendekat dan berusaha menangkapnya, maka keduanya telah terlempar dan terbanting jatuh. Karena keduanya sama sekali tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi, maka keduanya telah berteriak karena terkejut dan kesakitan. Tetapi dengan cepat keduanya pun bangkit berdiri, meskipun punggung mereka masih terasa nyeri. Dalam pada itu, Glagah Putih masih berkelahi melawan beberapa orang anak muda yang kemudian mengepungnya. Tetapi tidak seorangpun yang segera berani mendekatinya, karena Glagah Putih memegang oncor yang masih menyala. Tetapi karena itu, maka beberapa orang anak muda justru mempunyai perhitungan lain. Termasuk anak muda yang bertubuh raksasa itu. Anak muda yang bertubuh raksasa itu justru tidak lagi berusaha untuk menyerang Glagah Putih bersama beberapa orang kawannya. Selain tulang-tulangnya dan bahkan bibirnya dan dahinya masih terasa sakit, maka iapurr memperhitungkan, jika ia menguasai kedua orang perempuan itu, maka mereka akan dengan mudah dapat menghentikan perlawanan kedua orang laki-laki yang menyertai kedua orang perempuan itu, dan yang mengaku keluarganya. Kanthi yang ketakutan menjadi semakin ketakutan. Namun Rara Wulan itu pun berkata, “Kanthi, jangan berpegangan aku. Minggirlah, biar aku mencegah mereka menyentuhmu.” Kanthi sudah mengetahui bahwa Rara Wulan memiliki kemampuan untuk berkelahi. Tetapi saat itu lawannya tidak hanya seorang. “Minggirlah Kanthi. Jangan berpegangan lagi. Tenanglah,“ berkata Rara Wulan. Tetapi Kanthi tidak segera melepaskannya. Karena itu, Rara Wulan itu berkata lagi, “Jika kau tidak melepaskan aku, maka aku tidak akan sempat melawan mereka.” Meskipun dengan ketakutan, akhirnya Kanthi melepaskan Rara Wulan. Tiga orang anak muda telah mendekatinya, termasuk anak muda yang bertubuh raksasa itu. Namun ketiganya terkejut ketika Rara Wulan menyingsingkan kain panjangnya. Ketika ketiganya sedang termangu-mangu, maka Rara Wulanpun telah bersiap untuk melawan mereka. Tetapi seorang di antara anak-anak muda itu justru bertanya, “He, apa yang sedang kau lakukan?” “Nah, sekarang apa yang kau maui?” bertanya Rara Wulan. Ketika anak muda itu menjadi terheran-heran. Mereka tidak terbiasa melihat pakaian yang dikenakan di bawah kain panjang Rara Wulan. Sementara itu Rara Wulan berkata, “Ayo, apa yang kalian inginkan dari aku?” Laki-laki yang bertubuh raksasa itu-lah yang kemudian menjawab, “Aku inginkan kau. Menyerahlah.” Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya ketika anak muda yang bertubuh raksasa itu mendekatinya. “Anak muda yang mengaku kakakmu itu akan mati. Orang tua itu pun akan mati pula. Tetapi jika kalian berdua menuruti keinginan kami, maka keduanya akan selamat.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi yang terdengar adalah anak muda yang bertubuh raksasa itu berteriak kesakitan, “Iblis betina. Kau akan menyesal dengan tingkah lakumu.” Rara Wulan tidak menjawab. Dipandanginya anak muda yang mengusap bibirnya. Bibirnya yang pecah itu masih terasa pedih. Namun ternyata Rara Wulan tetap menamparnya sekali lagi, sehingga darah yang mulai berhenti mengalir itu telah mengembun lagi. Kepada kedua kawannya, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu memberi isyarat untuk menangkap Rara Wulan. Karena itu, bertiga mereka maju bersama-sama. Tetapi Rara Wulan tidak membiarkan dirinya ditangkap. Dengan cepat iapun meloncat menyerang. Mula-mula kakinya menyambar seorang anak muda yang kekurus-kurusan, yang menjulurkan tangannya untuk menangkap Rara Wulan. Demikian kaki itu menyambar dada, maka anak muda itu pun telah terlempar dan jatuh terlentang. Demikian ia berusaha untuk bangkit, maka kawannya yang seorang lagi telah mengaduh kesakitan. Tangan Rara Wulan melayang menampar keningnya, sehingga matanya menjadi berkunang-kunang. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka tangan Rara Wulan yang lain telah menghantam lambungnya. Sementara itu, anak muda yang bertubuh raksasa itu-lah yang kemudian menyerangnya. Ia tidak lagi menahan dirinya. Kakinya terjulur ke arah perut Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan cukup tangkas. Ditebaskannya kaki lawannya ke samping. Demikian anak muda bertubuh raksasa itu terputar oleh kakinya sendiri yang terdorong menyamping, maka Rara Wulan pun melenting dengan satu putaran. Kakinya melayang mendatar menghantam dadanya. Anak muda yang bertubuh raksasa itu berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya agar ia tidak jatuh terlentang. Sementara itu, sebelas orang anak muda itu pun telah bergerak seluruhnya. Yang terjatuh telah berusaha bangkit. Yang kesakitan berusaha menyembunyikan perasaan sakitnya. “Kepung mereka!“ teriak anak muda yang bertubuh raksasa, yang agaknya mempunyai pengaruh terbesar di antara kawan-kawannya. Sebelas anak muda itu pun segera membuat lingkaran untuk mengepung mereka. Beberapa orang terpaksa berdiri di atas tanggul di seberang parit di pinggir jalan itu. Anak muda yang bertubuh raksasa itu pun kemudian menggeram, “Kami akan bersungguh-sungguh. Tidak seorangpun dari kalian yang akan dapat lolos. Kami akan memperlakukan kalian lebih buruk dari yang kami inginkan semula. Tetapi itu adalah akibat dari kesombongan kalian sendiri.“ Glagah Putih masih berdiri membawa oncor di tangannya. Rara Wulan bersiap di sisi yang lain, membelakangi Kanthi yang gemetar. Sedangkan Ki Jayaraga termangu-mangu memandangi anak-anak muda yang sedang marah itu. Ketika anak-anak itu mulai bergeser mendekat sehingga kepungan mereka menjadi menyempit, Ki Jayaraga masih sempat berkata, “Anak-Anak Muda. Sebaiknya kalian berpikir sekali lagi sebelum mengambil langkah berikutnya. Bertanyalah kepada diri kalian sendiri, apakah sebenarnya yang sedang kalian lakukan ini? Apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai tatanan hidup di padukuhan kalian? Atau hal ini kalian lakukan tanpa menghiraukan paugeran yang berlaku? Atau dengan tindakan seperti ini kalian merasa menjadi laki-laki jantan yang berani menentang nilai-nilai yang berlaku di dalam pergaulan sesama?” Pertanyaan itu memang sempat singgah di benak anak-anak muda itu. Ada di antara mereka yang memang bertanya kepada diri sendiri, apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan itu. Bahkan jika mendapat kesempatan, mereka masing-masing akan dapat menilai, apakah yang mereka lakukan itu baik atau buruk. Tetapi dalam kelompok yang terhitung besar itu, mereka seakan-akan telah kehilangan pribadi mereka masing-masing. Mereka dikendalikan oleh sikap kebersamaan yang gelap. Yang kemudian menjawab adalah anak muda yang bertubuh raksasa, “Aku tidak peduli apakah yang kau katakan. Aku juga tidak peduli anggapan orang lain. Tetapi kami tidak mau dihinakan dengan cara apapun juga.” “Apakah kami telah menghinakan kalian?” bertanya Ki Jayaraga, “Bukankah kami tidak berbuat apa-apa?” “Iblis tua,” geram anak muda bertubuh raksasa itu, “kalian telah menghina kami karena kalian tidak mau tunduk kepada kami. Kalian berani menentang keinginan kami. Selanjutnya kalian telah mencoba untuk melawan kami dengan kekerasan.” “Tetapi apakah jawab kalian? Siapakah yang memaksa kami untuk berbuat demikian?” bertanya Ki Jayaraga. “Aku tidak peduli. Tetapi kalian harus mendapat hukuman yang paling berat yang pernah kami berikan kepada orang-orang yang bersalah terhadap kami.” “Apakah kalian berhak memberikan hukuman?” bertanya Glagah Putih. “Kenapa tidak? Jika kami kuasa melakukannya, maka adalah hak kami untuk melakukannya,” jawab anak muda yang bertubuh raksasa itu. “Itukah landasan jalan pikiranmu? Siapa yang kuat, ia dapat memperlakukan apa saja terhadap yang lemah?” bertanya Glagah Putih pula. “Ya,” jawab anak muda itu. “Bagus,” desis Glagah Putih, “aku akan melakukan menurut jalan pikiranmu.” “Apa yang akan kau lakukan?” bertanya anak muda bertubuh raksasa itu. “Menghukum kalian, karena di antara kelompokku dan kelompokmu, kelompokku-lah yang terkuat,” jawab Glagah Putih. Wajah anak muda itu menjadi merah. Karena itu, maka iapun segera meneriakkan perintah, “Tangkap semuanya! Aku tidak berkeberatan kalian terpaksa membuat mereka tidak berdaya sama sekali. Bukankah kita berhak menghukum mereka?” Sebelas orang itu bergerak bersama-sama. Namun demikian mereka melangkah, maka mereka terkejut. Glagah Putih justru telah memadamkan oncor itu dengan menyurukkannya ke tanah. Malam pun menjadi gelap. Sesaat mereka tidak melihat sesuatu. Kanthi menjerit. Namun Rara Wulan segera mendekapnya sambil berdesis, “Aku di sini. Tidak apa-apa.” Dalam waktu yang singkat, Glagah Putih, Ki Jayaraga dan kemudian Rara Wulan segera dapat menyesuaikan diri. Penglihatan mereka yang terlatih tidak banyak mengalami kesulitan meskipun malam menjadi gelap. Kepada Kanthi, Rara Wulan berkata, “Kau berdiri saja di situ Kanthi. Jangan bergeser kemana-mana. Kami bertiga melindungimu.” “Jangan takut. Mereka tidak berbahaya bagi kita,” Glagah Putih juga berdesis. Kanthi mengangguk. Tetapi tubuhnya masih gemetar. Sejenak kemudian, maka Glagah Putih mulai berloncatan. Demikian pula Rara Wulan, dan bahkan juga Ki Jayaraga. Perkelahian pun segera terjadi. Anak-anak muda itu berkelahi sambil berteriak-teriak. Tetapi gelap malam memang terasa mengganggu bagi mereka, karena ketajaman penglihatan mereka tidak dapat menyamai ketajaman penglihatan Glagah Putih, Rara Wulan dan apalagi Ki Jayaraga. Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung terlalu lama. Setiap kali terdengar seorang berteriak kesakitan. Kemudian yang lain memekik tinggi. Tetapi kemudian mengumpat-umpat kasar. Ternyata keributan itu telah didengar oleh orang-orang padukuhan itu. Orang yang mendengar teriakan-teriakan dan pekik tinggi mula-mula berusaha untuk tidak menghiraukan. Mungkin anak-anak muda yang sering berkumpul di sudut padukuhan itu sedang bergurau. Tetapi kemudian karena teriakan-teriakan itu semakin keras, mereka mengira bahwa anak-anak itu telah mencegat orang dan memperlakukannya tidak sewajarnya, sebagaimana sering mereka lakukan tanpa dapat dihalangi. Namun kemudian orang itu tidak tahan lagi. Ia bangkit, dan dengan hati-hati pergi keluar meskipun istrinya melarangnya. “Kau tidak akan dapat menghalangi kemauan anak-anak itu,“ berkata istrinya. Tetapi laki-laki itu tetap saja keluar sambil berkata, “Aku akan mengajak beberapa orang untuk melihat apa yang terjadi.” Sebenarnyalah bahwa beberapa orang yang tidak dapat menahan hati telah pergi ke sudut desa. Peristiwa yang sering terjadi di padukuhan mereka telah membuat nama padukuhan mereka semakin lama menjadi semakin buruk. Dalam keadaan yang semakin memuncak, orang-orang tua mereka perlu untuk mencampuri persoalan anak-anak muda itu, karena mereka yakin bahwa yang sering mengganggu orang-orang lewat tidak setiap anak muda di padukuhan itu. Dalam pada itu, beberapa orang dan bahkan juga beberapa orang anak muda telah bergerak ke sudut padukuhan. Dua orang di antara mereka telah memanggil Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Mereka terpanggil untuk melindungi nama padukuhan mereka, setelah untuk waktu yang cukup lama dicaci orang. Beberapa saat kemudian, orang-orang itu telah sampai ke sudut padukuhan. Mereka tertegun melihat apa yang terjadi. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan berdiri tegak, sementara beberapa orang anak muda duduk di tanah di hadapan mereka sambil menunduk. Melihat beberapa orang datang, maka Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Rara Wulan telah bersiap pula. Sementara Kanthi telah berpegangan Rara Wulan lagi dengan eratnya. Beberapa saat orang-orang yang datang itu berdiri termangu-mangu. Seorang yang tertua di antara mereka pun melangkah maju dengan ragu-ragu. Kemudian orang itu pun bertanya, “Apa yang telah terjadi di sini?” Glagah Putih yang curiga bahwa orang-orang itu datang untuk membantu anak-anak muda yang telah mereka tundukkan itu menjawab, “Ki Sanak, bertanyalah kepada mereka. Aku harap mereka tidak berbohong.” Orang tertua di antara mereka itu termangu-mangu. Namun kemudian orang-orang itu menyibak ketika Ki Bekel dan Ki Jagabaya datang. “Ki Bekel,” desis seseorang. Dari geremang orang-orang padukuhan itu, Glagah Putih mengetahui bahwa yang datang itu adalah Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Ketika Ki Bekel bertanya, maka Glagah Putih telah mengulangi jawabannya, ”Bertanyalah kepada mereka.” Ki Bekel mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia memang bertanya, “Apa yang telah terjadi?” Anak-anak muda itu tidak segera menjawab. Sehingga Ki Bekel telah mengulanginya lagi, “Apa yang telah terjadi, he?” Anak-anak muda itu masih berdiam diri. Sehingga Ki Bekel mulai menjadi jengkel, “He, apa yang terjadi?” Karena anak-anak muda itu masih berdiam diri sambil duduk menunduk, maka Ki Bekel telah melangkah mendekati anak muda yang bertubuh raksasa itu sambil berkata, “Nah, kau lagi. Apa yang terjadi?” Ki Bekel telah mencengkam tengkuk orang itu dan mengguncangnya, “Apa yang terjadi? He, apakah kau mulai menjadi bisu?“ Anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak dapat ingkar lagi. Meskipun demikian ia mencoba untuk mengurangi beban kesalahannya, “Ki Bekel. Kami hanya menanyakan keempat orang yang berjalan malam hari lewat padukuhan ini, dari mana dan ke mana. Tetapi terjadi salah paham.” Ki Bekel tiba-tiba mengangkat wajah anak muda ini sambil bertanya, “Kau mabuk lagi?” Anak itu tidak menjawab. Tetapi ketika Ki Bekel melepaskan tangannya dan mendorong dahi anak itu sehingga wajah anak itu menengadah, ia berkata, “Kau mabuk lagi. Dan kau tentu berbohong. Di antara keempat orang lewat itu terdapat dua orang perempuan. Nah, apa yang terjadi?” Anak muda itu menunduk saja. Sehingga Ki Bekel pun kemudian menghadap ke arah Glagah Putih sambil bertanya, “Apa yang terjadi? Katakan, agar segera jelas bagiku.” Sebelum Glagah Putih menjawab, Ki Jayaraga-lah yang mendahuluinya, karena ia masih saja cemas bahwa jawaban Glagah Putih tidak memuaskan Ki Bekel, sehingga akan benar-benar dapat terjadi salah paham. “Ki Bekel,“ berkata Ki Jayaraga, “sebenarnyalah bahwa kami berempat akan pulang ke Tanah Perdikan Menoreh lewat jalan ini. Tetapi anak-anak muda itu mengganggu kami. Mereka agaknya sebagian sedang mabuk tuak. Mereka merendahkan martabat perempuan, bukan saja yang berjalan bersama kami. Karena itu, kami terpaksa membela diri dan memaksa mereka untuk menghentikan perlawanan mereka.” Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Berempat mereka telah mengalahkan sebelas orang anak muda yang termasuk disegani di padukuhan itu. Tetapi karena Ki Jayaraga menyebut dirinya akan menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Bekel itu pun bertanya, “Apakah Ki Sanak termasuk keluarga dari Tanah Perdikan Menoreh?” “Ya Ki Bekel. Anak muda ini adalah Glagah Putih, saudara sepupu Agung Sedayu.” “Saudara sepupu Ki Lurah Agung Sedayu?“ ulang Ki Bekel. “Ki Bekel mengenal Agung Sedayu?” bertanya Ki Jayaraga. Ki Bekel itu memandang Ki Jayaraga dengan bimbang. Namun kemudian iapun menjawab, “Secara pribadi aku memang belum mengenal, Ki Sanak. Tetapi aku tahu bahwa Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, adalah seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain.” “Ya. Ia memang pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Ki Jayaraga. “Jika demikian, kami harus mohon maaf jika terjadi salah paham di padukuhan ini,“ berkata Ki Bekel. “Sama sekali bukan salah paham Ki Bekel,“ berkata Glagah Putih. “Maksud Angger?” bertanya Ki Bekel. “Kami memang tidak salah paham. Kami tahu pasti bahwa anak-anak muda ini ingin mengganggu kedua orang adik kami. Mereka minta kami meninggalkan adik perempuan kami di sini dan mengambil besok pagi. Jika kami tidak mau memenuhi perintahnya, mereka akan memperlakukan kami dengan cara yang sangat buruk. Ki Jayaraga diancam akan diikat untuk menyesali keberaniannya menentang perintah anak-anak muda ini. Nah, jika karena itu kami mempertahankan kehormatan dan harga diri kami, apakah itu salah paham?” “O,“ wajah Ki Bekel menjadi merah. Tiba-tiba saja ia menarik rambut anak muda yang bertubuh raksasa itu sehingga wajahnya menengadah, “Katakan, apakah itu sekedar salah paham? He?” Ketika Ki Bekel menghentakkan rambat anak muda itu, maka anak muda itu menyeringai kesakitan. Sementara Ki Jagabaya berdiri di sebelahnya sambil menggeram, ”Jawab. Apakah itu salah paham?” “Tidak, Bukan salah paham,” jawab anak muda itu. “Berapa kali aku memperingatkanmu, tetapi kau masih saja melakukannya. Setiap kali aku bertindak lebih keras, maka kau, kawan-kawanmu dan bahkan orang yang tidak tahu menahu selalu menyalahkan aku. Mereka selalu menganggap bahwa aku telah berbuat sewenang-wenang. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Lihat, Angger sepupu Ki Lurah Agung Sedayu itu juga masih muda. Semuda kalian semuanya. Tetapi aku tidak yakin bahwa anak muda itu berbuat sebagaimana yang kau lakukan itu!” bentak Ki Jagabaya. Anak muda yang bertubuh raksasa yang mulutnya berbau tuak itu masih harus menengadahkan wajahnya karena Ki Bekel belum melepaskan rambutnya. Sementara itu, beberapa orang anak muda padukuhan itu pun mengerumuni anak-anak muda yang masih duduk bersila di atas tanah atas perintah Glagah Putih itu. Sementara itu Ki Jagabaya masih juga berkata lantang, “Lihat. Anak-anak muda yang berkerumun itu adalah kawan-kawanmu. Mereka juga sebaya dengan kalian. Tetapi mereka tidak berbuat sebagaimana kalian. Dengar baik-baik. Padukuhan ini pada hari-hari terakhir sudah dijauhi orang. Di padukuhan ini terkenal ada sekelompok anak-anak muda bengal yang sering bermabuk-mabukan dan mengganggu orang. Nah, malam ini kalian telah terbentur pada satu kenyataan lain dari yang pernah terjadi. Untung saja bahwa Angger sepupu Ki Lurah Agung Sedayu ini tidak meremukkan kalian semuanya.” Tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, “Aku memang sudah berpikir untuk melakukannya Ki Bekel. Aku akan membuat mereka menjadi cacat agar mereka tidak lagi dapat mengganggu orang.” Ki Jagabaya mengerutkan dahinya. Bagaimanapun juga ancaman itu membuatnya berdebar-debar. Tetapi Glagah Putih berkata selanjutnya, “Tetapi tidak kali ini. Jika sekali lagi aku melihat peristiwa seperti ini, maka aku tidak akan ragu-ragu lagi. Jika Ki Bekel dan Ki Jagabaya tidak bertindak lebih tegas terhadap mereka, biarlah kami yang melakukannya. Tetapi sudah tentu tidak semestinya kami berbuat demikian, karena kami justru orang dari luar kademangan ini.” “Baik Ngger,“ sahut Ki Bekel, “kami akan berbuat lebih baik. Mereka harus menjadi jera.” “Mabuk dan kejahatan jaraknya hanya sejengkal Ki Bekel,“ berkata Glagah Putih, “sementara anak-anak muda yang lain bekerja keras untuk menyiapkan setidak-tidaknya masa depannya sendiri, anak-anak muda ini hanya sekedar bermabuk-mabukan dan mengganggu orang lain. Kenapa hal seperti ini terjadi atas anak-anak muda padukuhan Cerma ini?” “Kami akan mempelajarinya Ngger,” jawab Ki Bekel. “Terserahlah kepada Ki Bekel. Tetapi kenakalan anak-anak muda harus mendapat perhatian terbesar di antara tugas-tugas Ki Bekel yang lain. Tingkah lakunya tidak hanya merusak citra anak-anak muda itu sendiri, sementara yang melakukan itu hanya beberapa orang saja. Tetapi apa yang akan terjadi di masa mendatang, jika angkatan yang akan mewarisi jaman itu seperti mereka?“ “Ya, ya Ngger. Kami mengerti,” jawab Ki Bekel. Namun Ki Jayaraga pun kemudian berkata sareh, “Tetapi bagaimanapun juga mereka adalah anak-anak kita Ki Bekel. Kita tidak dapat mengibaskan tanggung jawab. Tetapi mereka tidak boleh menjadi anak yang manja, yang tidak mau tahu tatanan pergaulan dan tidak mau mempedulikan lingkungannya.” Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Alangkah sulitnya mencari keseimbangan. Tetapi itu harus dapat dipecahkan.” Ki Jayaraga kemudian menjawab, “Beban itu tidak dapat kita singkirkan dari pundak kita. Bahkan kadang-kadang orang tua akan dapat menjadi keranjang sampah kegagalan anak-anak muda menatap masa depannya. Seakan-akan kegagalan itu sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan orang tua. Tetapi memang terjadi bahwa sepasang orang tua tidak sempat memikirkan anak-anaknya karena berbagai macam sebab. Tetapi kegagalan itu dapat juga terjadi karena kesalahan anak-anak muda itu sendiri. Di rumah ia seorang anak muda bersikap baik. Tetapi ketika ia berada di sudut padukuhan berkumpul bersama-sama kawan-kawannya, maka kepribadiannya akan larut, tenggelam dalam sikap kepribadian bersama. Nah, jika yang terjadi seperti ini, maka kita semuanya hanya dapat menyesalinya.” Ki Bekel dan Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Bekel bertanya, “Kami, orang-orang tua di padukuhan ini, akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh Ki Sanak.” “Bukan hanya orang-orang tua. Ajak anak-anak muda berbicara. Anak-anak muda yang berjalan di sepanjang jalan yang lurus, namun juga anak-anak muda yang sering melakukan perbuatan seperti ini. Perbincangan di antara kedua sisi sifat anak muda itu mudah-mudahan akan berarti, di bawah pengawasan orang-orang tua.” “Baik, baik Ki Sanak,” jawab Ki Bekel, “kami akan berusaha. Sementara jika kami perlukan, kami akan dapat berhubungan dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih banyak dari kami. Baik dari Kademangan Kleringan maupun dari Tanah Perdikan Menoreh. Karena kami tahu, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat orang-orang yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi juga yang berwawasan luas dan berpengetahuan dalam.“ “Ki Gede tentu akan dengan senang hati menerimanya,” jawab Ki Jayaraga. Demikianlah, sejenak kemudian Ki Jayaraga pun telah minta diri. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan, yang sudah membenahi pakaiannya. Sementara Kanthi masih saja gemetar dan berdebar-debar. Beberapa saat kemudian, maka keempat orang itu telah meneruskan perjalanan. Dalam pembicaraan mereka sepanjang jalan, Rara Wulan dan Glagah Putih masih saja dibayangi oleh kemarahan mereka atas sikap anak-anak muda itu. Namun Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Banyak sebab kenapa mereka menjadi anak muda yang cacat. Bukan cacat tubuhnya, tetapi cacat jiwanya. Namun bukan berarti bahwa mereka tidak berguna sama sekali. Sifat dan watak mereka dapat berkembang, dan banyak di antara mereka yang menyadari kesalahan mereka di masa muda sehingga kemudian menjadi orang yang berarti bagi lingkungannya. Setidak-tidaknya bagi dirinya sendiri.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia mencoba untuk mengerti jalan pikiran Ki Jayaraga itu. Seterusnya mereka lebih banyak berdiam diri. Mereka harus memperhatikan jalan yang akan mereka injak. Lebih-lebih mereka berjalan di lereng pegunungan. Mereka memanjat naik sampai ke punggung, kemudian turun kembali di seberang. Kanthi memang mengalami kesulitan di perjalanan. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Ia sendiri-lah yang memutuskan untuk pergi mengikuti Rara Wulan. karena itu ia tidak dapat menyalahkan orang lain. Rara Wulan yang membimbing Kanthi cukup mengerti keadaannya. Dengan sabar ia berusaha menunjukkan bidang yang paling baik untuk meletakkan kakinya. Jika Kanthi nampak letih, maka Rara Wulan pun mengajaknya beristirahat. Sementara Ki Jayaraga dan Glagah Putih harus dengan sabar menunggunya. Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Sekar Mirah menjadi gelisah. Ketika senja turun, Sekar Mirah sudah beberapa kali berbicara dengan Agung Sedayu. Mereka memperhitungkan bahwa sebelum senja, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan tentu sudah kembali. “Apakah kita akan menyusulnya?” bertanya Agung Sedayu. “Apakah mungkin mereka akan bermalam?” Sekar Mirah justru bertanya. Agung Sedayu tidak segera menjawab. Sementara itu Sekar Mirah berkata pula, “Seharusnya mereka tidak bermalam. Untunglah bahwa mereka pergi bersama Ki Jayaraga.” “Ya. Sebaiknya mereka memang tidak bermalam. Entahlan, mungkin ada suatu yang memaksa mereka bermalam. Jika tidak demikian, maka Ki Jayaraga tentu tidak akan sependapat,“ berkata Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi di wajahnya nampak membayang kegelisahan. “Kita tunggu sampai esok pagi. Jika sampai esok pagi mereka tidak pulang, maka kita akan pergi ke Kleringan,” berkata Sekar Mirah. “Baiklah,” jawab Agung Sedayu, “besok pagi-pagi aku akan pergi ke barak sebentar. Aku akan segera kembali. Dan jika mereka belum pulang, maka kita akan pergi. Sebaiknya kita pergi berkuda saja.” “Tetapi bukankah Kakang tidak terlalu lama berada di barak?” bertanya Sekar Mirah. “Tidak. Aku hanya akan memberikan beberapa pesan saja. Aku akan segera kembali,” jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun ia masih saja merasa gelisah. Karena itu, malam itu Sekar Mirah tidak segera dapat tidur. Setiap kali ia masih saja berbicara tentang Rara Wulan yang belum pulang. “Ki Jayaraga ada di antara mereka,“ berkata Agung Sedayu, “kita dapat mempercayainya. Bukan saja karena kemampuannya yang sangat tinggi, tetapi penalarannya kebanyakan sejalan dengan penalaran kita.” Sekar Mirah memang selalu mengangguk. Ia dapat mengerti. Tetapi perasaannya-lah yang agak sulit dikendalikan oleh penalarannya, meskipun ia berusaha. Namun ketika malam menjadi larut, Sekar Mirah akhirnya tertidur juga. Yang ikut memikirkan kepergian Rara Wulan, Glagah Putih dan Ki Jayaraga adalah Wacana. Yang dipikirkan justru keadaan Kanthi. Jika Rara Wulan tidak segera kembali, apakah telah terjadi sesuatu di Kademangan Kleringan? “Apakah sesuatu terjadi lagi atas Kanthi ?“ pertanyaan itu selalu mengganggu Wacana. Ia tidak mencemaskan Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan, karena mereka berilmu tinggi. Tetapi justru keadaan Kanthi-lah yang dipikirkannya. Meskipun Wacana sama sekali belum mengenal Kanthi, bahkan melihat pun belum pernah, namun Wacana itu selalu membayangkan. Seorang gadis cantik yang menderita dan hampir kehilangan masa depannya. Kadang-kadang Wacana sempat membandingkan dengan dirinya sendiri. Wacana pernah merasakan betapa dahsyatnya goncangan perasaan yang hampir saja membuatnya gila. Wacana dapat mengerti bahwa dalam keadaan seperti itu, seseorang akan dapat terjerumus ke dalam satu keadaan di luar kendali nalar budinya. Ketika fajar membayang di langit, maka Agung Sedayu sudah sibuk mengisi jambangan di pakiwan. Karena Glagah Putih tidak ada di rumah, maka Agung Sedayu-lah yang harus melakukannya. Sementara itu Wacana menyapu halaman depan dan samping. Adapun halaman dan kebun belakang, anak yang tinggal dirumah itu-lah yang membersihkannya. Sedangkan di dapur Sekar Mirahpun sibuk sendiri pula. Demikian matahari terbit, maka Agung Sedayu-pun telah minum minuman hangat dan makan pagi. Baru sejenak kemudian iapun telah berangkat ke barak Pasukan Khusus. Sementara itu Sekar Mirah benar-benar menjadi gelisah. Karena itu ketika Agung Sedayu berangkat, sekali lagi ia bertanya, “Bukankah Kakang tidak terlalu lama?” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau telah dijangkiti penyakit Rara Wulan.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Aku memang gelisah Kakang.” “Baiklah. Aku tentu akan cepat kembali. Kita akan menyusul Rara Wulan ke Kademangan Kleringan.” Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah melarikan kudanya menuju ke barak. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu sendiri juga menjadi gelisah, karena Rara Wulan masih belum kembali. Sepeninggal Agung Sedayu, Wacana telah menyusul Sekar Mirah yang sedang sibuk di dapur. “Kenapa Rara Wulan bermalam?” bertanya Wacana. “Entahlah. Aku juga gelisah memikirkannya,” jawab Sekar Mirah. “Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu dengan mereka? Juga dengan Kanthi?” bertanya Wacana yang nampak menjadi sangat cemas pula. “Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu,“ sahut Sekar Mirah. Namun Wacana masih saja gelisah. Dari dapur, Wacana itu telah duduk di serambi gandok. Dipandanginya regol halaman seakan tanpa berkedip. Tetapi akhirnya Wacana menjadi letih. Karena itu, ia justru pergi ke kebun belakang untuk mengisi waktunya dengan melakukan salah satu kesenangannya. Wacana telah mencoba mencangkok beberapa jenis tanaman buah-buahan. Beberapa batang telah berhasil, dan dicobanya ditanam di kebun belakang rumah Agung Sedayu yang cukup longgar. Dengan teliti Wacana memelihara bibit-bibit hasil cangkokannya yang sudah ditanam. Disiraminya, disiangi, dan setiap kali didangirnya dan diberinya pupuk kandang. Dalam pada itu, Sekar Mirah yang sedang ada di dapur terkejut ketika ia mendengar seseorang memanggilnya. Suara seorang perempuan. Dan Sekar Mirah dengan cepat mengenal. Suara itu adalah suara Rara Wulan. Karena itu, maka Sekar Mirah pun segera berlari ke longkangan dan langsung masuk ke rumah bagian belakang. Di pintu ia justru hampir saja bertabrakan dengan Rara Wulan. Sekar Mirah yang gelisah semalam-malaman itu memeluk Rara Wulan sambil bertanya, “Bukankah kau tidak apa-apa?” “Tidak Mbokayu. Aku tidak apa-apa.” “Dimana Glagah Putih dan Ki Jayaraga?” bertanya Sekar Mirah setelah melepaskan Rara Wulan. “Mereka ada di pendapa, Mbokayu. Kita mempunyai seorang tamu.” Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Dengan kerut di kening Sekar Mirah bertanya, “Siapakah tamu kita?” “Marilah.“ Rara Wulan menarik tangan Sekar Mirah ke pendapa sambil berkata, “Mbokayu sudah mengenalnya.” Sekar Mirah tidak menolak, lapun kemudian pergi ke pendapa. Demikian mereka keluar dari pintu pringgitan, maka Sekar Mirah pun terkejut. Ia melihat Kanthi yang nampak sangat letih, duduk di pendapa bersama Ki Jayaraga. “Kanthi,” desis Sekar Mirah. Kanthi yang menunduk itu pun terkejut. Demikian ia mengangkat wajahnya, maka yang dilihatnya adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan berdiri di depan pintu pringgitan. Kanthi itu pun cepat bangkit, dan dengan sisa tenaganya yang letih berlari ke arah Sekar Mirah. Namun iapun kemudian segera berjongkok di hadapan Sekar Mirah sambil memegang kakinya, “Ampun. Aku memberanikan diri untuk mohon perlindungan di sini.” Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Diangkatnya Kanthi untuk berdiri sambil berkata lembut, “Bangkitlah.” Kanthi pun bangkit berdiri. Tetapi ia mulai menangis. “Jangan menangis Kanthi. Kau berada di rumah kami sekarang. Tidak ada lagi yang perlu dicemaskan.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi justru karena ia menahan tangisnya, maka iapun menjadi terisak. Sekar Mirah membimbingnya dan membawanya duduk kembali bersama Ki Jayaraga. “Dimana Glagah Putih?” bertanya Sekar Mirah. “Tadi ia di sini,” jawab Rara Wulan. Namun Ki Jayaraga menyahut, “Glagah Putih pergi ke belakang.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya kepada Rara Wulan, “Apa yang telah terjadi?” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kanthi menundukkan kepalanya sambil mengusap air matanya. “Angger Kanthi ingin mendapatkan suasana baru. Karena itu, ia ingin untuk sementara tinggal bersama Rara Wulan,” jawab Ki Jayaraga. “O,” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sambil mengusap rambut Kanthi yang kusut ia berkata, “Tentu kami tidak berkeberatan. Tinggallah di sini untuk sementara.” “Terima kasih,“ desis Kanthi, “bahwa masih ada tempat bagiku. Semula aku mengira bahwa dunia ini sudah tidak dapat menerima aku sama sekali.” “Tentu tidak, Kanthi. Masih banyak tempat bagimu. Baiklah. Kau dapat menenangkan hatimu di sini. Kau memang memerlukan satu suasana yang baru,“ berkata Sekar Mirah. Kanthi tidak menjawab. Tetapi isaknya justru terdengar semakin keras. Rara Wulan yang kemudian duduk di belakangnya, memegang kedua pundaknya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan menangis. Bukankah kau perlu beristirahat? Semalaman kau berjalan. Satu hal yang belum pernah kau lakukan sebelumnya.” Kanthi mengangguk-angguk. “Baiklah. Duduklah sebentar. Aku baru meletakkan periuk di atas perapian untuk menanak nasi.” “Sudahlah. Biar Mbokayu duduk di sini. Aku akan ke dapur,” berkata Rara Wulan. Tetapi sambil tersenyum Sekar Mirah berkata, “Duduklah. Temani Kanthi di sini. Kau tentu juga letih. Nanti, aku ingin kalian berdua bercerita tentang perjalanan kalian.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam, sementara Sekar Mirah bangkit berdiri. Tetapi Ki Jayaraga pun bangkit pula sambil berkata, ”Aku akan ke pakiwan dahulu.” Demikianlah, maka yang kemudian duduk di pendapa tinggal Rara Wulan menemani Kanthi. Sementara Sekar Mirah pergi ke dapur. Dijerangnya air untuk membuat minuman. Sementara Glagah Putih ternyata sudah berada di dapur. “He, kau sudah ada di sini?” bertanya Sekar Mirah. “Aku haus sekali Mbokayu,” jawab Glagah Putih. “Tamu kita tentu juga haus,” desis Sekar Mirah. “Ya. Tetapi aku cukup minum air dari kendi itu,“ jawab Glagah Putih. Sekar Mirah tertawa. Bahkan ia bertanya, “Apakah kita juga akan menyuguhi tamu kita itu dengan air kendi?” Glagah Putih tersenyum pula. Tetapi iapun kemudian duduk di sisi Sekar Mirah yang menyalakan api di perapian yang satu lagi untuk menjerang air, di sebelah perapian yang dipergunakannya untuk menanak nasi. “Mbokayu,” desis Glagah Putih, “apakah Kakang Agung Sedayu menunggu kedatangan kami?” “Seisi rumah ini menjadi gelisah. Kakangmu Agung Sedayu, aku, dan bahkan juga Wacana,” jawab Sekar Mirah. “Dimana Wacana sekarang?” “Ia berada di kebun sekarang,” jawab Sekar Mirah. “Sesuatu telah terjadi di Kleringan,” desis Glagah Putih, yang kemudian dengan singkat menceritakan apa yang telah terjadi atas Kanthi, yang kemudian berniat untuk ikut bersama Rara Wulan yang dianggapnya akan dapat melindunginya. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berdesis, “Jadi Kanthi itu sudah berniat untuk membunuh diri?” bersambung
KULONPROGO, Novel “Api di Bukit Menoreh” (ADBM) cerita silat terkenal bikinan anak bangsa, SH Mintardja, ini berlatar kerajaan Mataran Islam. Mintardja lebih dikenal sebagai penulis cerita silat dengan latar belakang kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa lampau. Produktivitas menulis Mintardja membuat dirinya disetarakan dengan
Tiada setitik pun awan di langit. Dan bulan telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya matari. Dengan cepat ia naik dari kaki langit, menguningi segala dan semua yang tersentuh cahayanya. Juga hutan, juga laut, juga hewan dan manusia. Langit jernih, bersih dan terang. Di atas bumi Jawa lain lagi keadaannya gelisah, resah, seakan-akan manusia tak membutuhkan ketenteraman lagi. 0o-dw-o0 1. Abad ke enambelas Masehi Bahkan juga laut Jawa di bawah bulan purnama sidhi itu gelisah. Ombak-ombak besar bergulung-gulung memanjang terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya yang bertebaran seperti serakan mutiara-semua-dikuningi oleh cahaya bulan. Angin meniup tenang. Ombak-ombak makin menggila. Sebuah kapal peronda pantai meluncur dengan kecepatan tinggi dalam cuaca angin damai itu. Badannya yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan meruncing, timbul-tenggelam di antara ombak-ombak purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan menggelembung membikin lunas menerjang serong gunung-gunung air itu-serong ke baratlaut. Barisan dayung pada dinding kapal berkayuh berirama seperti kaki-kaki pada ular naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan.
Koleksi Djaduk Djajakusuma: Gedung: Perpustakaan Nasional RI: Institusi: Perpustakaan Nasional RI: Kota: JAKARTA PUSAT: Provinsi: DKI JAKARTA: Kontak: Butuh ♦ 15 Juli 2010 “Senang atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya.” “Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya? Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?” geram orang bertubuh tinggi kekar itu. “Ki Argajaya hanya ingin menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud apa-apa. Anak-anak menunjukkan satu sikap jujur dan tidak dibuat-buat, sedang seorang perempuan menampakkan niatnya untuk bersikap baik, damai dan tanpa kekerasan.” “Itulah yang sangat licik,“ berkata orang yang lebih tua itu, “ia ingin berlindung di belakang isyaratnya itu untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan oleh anaknya. Untuk menghindari tanggung jawab, ia ingin dianggap jujur dan damai. Damai dalam keadaan seperti sekarang akan sama artinya dengan meletakkan tali di leher Kanthi. Setiap saat hal itu akan dapat menyeretnya dan membunuhnya.” Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Bagaimanapun juga aku hargai niat baik Ki Argajaya. Aku berterima kasih bahwa ia telah mengirimkan utusan pagi ini untuk memberitahukan sore nanti akan datang utusan resmi.” Orang yang bertubuh tinggi kekar itu berkata, “Ki Argajaya telah memanfaatkan kelemahan Kakang itu.” Ki Suracala memandang orang yang bertubuh tinggi kekar itu sambil berkata, “Suradipa. Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apakah yang kau katakan itu benar?” Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada keras, “Kakang tidak usah berkata seperti itu. Tidak akan ada gunanya sama sekali.” “Dan kau tidak perlu memperlakukan anak-anak ini dengan caramu itu,“ sahut Ki Suracala. Orang yang bertubuh tinggi kekar dan disebut Suradipa itu pun tiba-tiba membentak Glagah Putih, “Pergilah! Katakan kepada Argajaya. Jika ia mengirimkan orang kemari, sebaiknya mereka hanya membawa pesan satu kalimat. Jawaban dari pertanyaan, kapan pernikahan anaknya dan anak Kakang Suracala dilakukan. Itu saja. Jika mereka membawa cerita panjang lebar, maka semuanya itu tidak akan ada gunanya.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih bertanya kepada Ki Suracala, “Apakah Ki Suracala akan memberikan pesan bagi Ki Argajaya?” “Sampaikan salamku kepada Ki Argajaya dan keluarganya. Aku menunggu kehadiran utusannya sore nanti.” “Terima kasih, Ki Suracala,“ sahut Glagah Putih, yang kemudian berkata selanjutnya, “jika demikian, kami akan mohon diri. Kami akan menyampaikan pesan Ki Suracala kepada Paman Argajaya.” Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri dan meninggalkan pringgitan itu. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Seorang laki-laki yang berwajah garang, yang sehari sebelumnya melihat Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Sedang seorang yang lain adalah seorang laki-laki yang masih terhitung muda, serta seorang yang bertubuh pendek tetapi otot-ototnya nampak menjalari wajah kulitnya dari dahi sampai ke ujung jari-jari kakinya. Ternyata laki-laki yang berwajah garang itu masih mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka iapun telah menceritakannya kepada laki-laki yang masih terhitung muda itu. “Memang mencurigakan,“ berkata laki-laki muda itu, “tetapi perempuan itu cantik sekali. Menurut penghitunganku, lebih cantik dari kanthi.” Orang yang bertubuh pendek itu pun berkata, “Kau selalu mengatakan perempuan yang kau lihat lebih cantik dari perempuan yang sebelumnya pernah kau kenal. Kau juga mengatakan bahwa Kanthi lebih cantik dari istrimu ketika itu.” “Aku koyak mulutmu,” geram laki-laki muda itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi ia pantas dicurigai jika kemarin ia sudah lewat di depan regol halaman ini. Apalagi dengan pakaian keseharian. Tentu mereka mempunyai maksud tertentu.” “Lalu, apa yang akan kita lakukan?” bertanya orang yang berwajah garang. “Kita harus mengetahui, apa maksud kedatangannya kemarin,“ berkata laki-laki muda itu, “kita akan menemui mereka di bulak pategalan.” Kedua orang yang lain tidak menjawab. Demikian laki-laki muda itu bergerak, keduanya pun ikut pula bergerak. Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Mereka menelusuri jalan yang kemarin mereka lalui. Tetapi mereka tidak sempat sampai ke simpang tiga tempat mereka menunggu Kanthi sambil membeli dawet cendol. Demikian mereka keluar dari padukuhan, maka mereka telah berjalan di tepi sebuah bulak yang tidak terlalu luas. Sebuah jalan simpang berbelok ke kiri. Jalan itu agaknya juga menuju ke sungai, lewat pategalan yang agak luas yang sedang ditanami ketela pohon yang tumbuh di sela-sela pohon buah-buahan. Glagah Putih dan Rara Wulan mulai tertarik melihat tiga orang berdiri di mulut lorong. Nampaknya mereka memang sedang menunggu. Bahkan Glagah Putih pun kemudian berdesis, “Kau kenal salah seorang dari mereka?” “Ya,” jawab Rara Wulan, “orang yang kemarin berada di regol halaman ketika perempuan yang mencari Kanthi keluar dari halaman rumah Ki Suracala.” “Berhati-hatilah,“ berkata Glagah Putih, “nampaknya mereka bukan orang yang ramah.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Untung kita tidak mengikuti jalan pikiran Kakang Agung Sedayu.” “Tetapi Kakang Agung Sedayu dapat mengerti bahwa kita bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.” Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Namun ia tidak sempat menjawab, karena mereka menjadi semakin dekat dengan ketiga orang itu. Sebenarnyalah, ketika mereka lewat di depan mulut lorong itu, laki-laki muda salah seorang dari ketiga orang itu berkata dengan nada keras, “Berbeloklah. Jangan macam-macam, agar kami tidak menyakiti kalian.” “Berbelok kemana?” Rara Wulan-lah yang bertanya, “kami akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Aku tidak peduli kalian akan pergi ke mana. Tetapi berbeloklah. Kita akan berbicara di pategalan.” “Kami harus segera pulang, Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian. “Aku tidak mau mendengar jawab kalian. Aku perintahkan berbelok. Lakukan, atau kami akan melakukan kekerasan.” Glagah Putih yang sudah berdiri di sisi Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ketiga orang itu bersungguh-sungguh ingin memaksa mereka membelok mengikuti lorong itu. Glagah Putih sempat memperhatikan jalan yang dilaluinya. Beberapa orang lewat memperhatikan mereka. Agaknya mereka mengira bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan itu bertemu dengan kawan-kawannya, sehingga keduanya berhenti sejenak untuk berbincang-bincang. “Cepat,” geram orang yang masih terhitung muda itu. Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sejenak. Namun ternyata Rara Wulan-lah yang menjawab, “Baiklah. Kami akan berbelok. Tetapi kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, kami minta apa yang ingin kalian katakan, cepat katakan.” “Berbeloklah. Berbelok masuk ke dalam lorong. Jangan berbicara saja di situ.” Orang itu nampak tidak sabar lagi. Rara Wulan dan Glagah Putih memang tidak berbicara lagi. Keduanya pun kemudian berjalan memasuki lorong kecil menuju ke pategalan. Semakin dalam mereka memasuki lorong kecil itu, terasa bahwa lingkungannya menjadi semakin sepi. Lorong itu menjadi semakin sempìt dihimpit oleh pagar pategalan. Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka tahu bahwa ketiga orang itu tentu bermaksud tidak baik atas diri mereka berdua. Sebenarnyalah, ketika mereka menjadi semakin jauh dari jalan yang cukup ramai itu, orang yang masih terhitung muda itu dengan serta merta lelah menangkap lengan Rara Wulan dan menariknya lewat pintu pagar, masuk ke pategalan yang sedang ditanami ketela pohon di sela-sela pohon buah-buahan itu. “Jangan ribut,” geram orang itu. Rara Wulan terkejut. Ia memang tersentak ke dalam pategalan dan segera menyeruak di antara batang-batang ketela pohon yang berdaun rimbun. Tetapi Raia Wulan itu berusaha mengibaskan tangannya. Selangkah ia mundur sambil berkata lantang, “Apa artinya ini?” Orang yang masih terhitung muda itu memandangnya dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata kepada kedua orang kawannya, “Kendalikan anak muda itu. Aku akan menjinakkan gadis ini.” Wajah Rara Wulan menjadi merah. Namun orang itu berkata, “Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya kalian lakukan di sini berdua.” “Kami datang untuk menyampaikan pesan Paman Argajaya, bahkan sore nanti Paman akan mengirimkan utusannya untuk menemui Ki Suracala,” jawab Rara Wulan lantang. “Bohong,“ sahut orang itu, “jika demikian, kenapa kemarin kau juga datang kemari?” Tetapi ternyata Rara Wulan cukup tangkas untuk menjawab, “Kami belum pernah melihat rumah Ki Suracala. Karena itu kami harus mencari dan menemukannya lebih dahulu. Baru kemudian kami datng untuk menemuinya.” Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Aku tidak percaya. Jika demikian, kenapa kemarin kau memakai pakaian yang berbeda sama sekali dengan pakaian yang kau kenakan sekarang?” “Bukankah kemarin kami hanya sekedar mencari untuk mengetahui letak rumah Ki Suracala? Nah, sekarang kami akan datang menemuinya. Bukankah kami harus berpakaian lebih sopan?” “Kau tidak dapat membohongi aku. Kalian berdua tentu mempunyai maksud tertentu. Nah, sebelum kau mengatakannya, maka kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan tempat ini,“ berkata orang itu. “Aku tidak dapat mengatakan yang lain,” jawab Rara Wulan. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Ia berkata sebenarnya.” “Diam kau!” bentak orang itu, “Aku tidak bertanya kepadamu. Tetapi aku bertanya kepada gadis ini.” Glagah Putih hanya menarik nafas panjang, sementara itu dua orang yang lain bergeser mendekatinya dari kedua sisi. Orang yang masih muda itu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita berbicara di gubug itu.” “Tidak,“ sahut Rara Wulan. “Kau tidak dapat menolak,“ berkata orang itu. “Tidak ada lagi yang akan dibicarakan,” jawab Rara Wulan. “Masih banyak yang dapat kita bicarakan. Mungkin persoalan yang lain yang tidak menegangkan,“ berkata orang itu. “Tetapi siapakah sebenarnya kau? Apakah kau berkepentingan dengan persoalan yang sedang dibicarakan antara keluarga Paman Argajaya dan Ki Suracala?” “Tentu. Aku keluarga dekat Paman Suracala,” jawab orang itu. Wajah Rara Wulan berkerut. Orang itu menyebut Paman pada Ki Suracala. Karena itu, tiba-tiba saja Rara Wulan teringat kepada anak sepupu Ki Suracala. Bahkan hampir di luar sadarnya Rara Wulan bertanya, “Kau saudara misan Kanthi? Anak saudara sepupu Ki Suracala?” Wajah orang itu menjadi merah justru karena Rara Wulan menyebut nama Kanthi. Untuk beberapa saat orang itu justru terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Ya. Aku saudara misan Kanthi. Karena itu, aku berkepentingan dengan persoalan yang terjadi di rumah Paman Suracala.” Wajah Kara Wulan menegang. Demikian pula Glagah Putih. Ternyata mereka berhadapan dengan orang yang licik tetapi buas seperti seekor serigala. Pertemuan yang tidak terduga itu membuat jantung Rara Wulan bergejolak. Ia mulai membayangkan nasib Kanthi yang tidak menentu. Sebagai seorang gadis, maka Rara Wulan dapat membayangkan derita yang disandang oleh Kanthi, sementara Kanthi tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkannya. Selagi Rara Wulan merenung, maka orang itu telah memegang pergelangan tangan Rara Wulan sambil berkata, “Marilah, kita berbicara di gubug itu. Kita akan dapat berbincang tanpa ketegangan, serta tidak akan terganggu oleh siapapun juga.” Ternyata Rara Wulan tidak menolak. Ketika orang itu menarik tangannya, Rara Wulan mengikuti saja tanpa melawan. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tahu maksud Rara Wulan. Dan itulah yang dicemaskan oleh Agung Sedayu, justru Rara Wulan tidak berusaha menghindarinya. Tetapi Glagah Putih sendiri bahkan sependapat dengan Rara Wulan. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Bahkan iapun telah berjalan pula mengikuti Rara Wulan yang tangannya masih saja ditarik oleh orang itu. Sambil berjalan Rara Wulan sempat berkata, “Siapa namamu, Ki Sanak?” “O,” orang itu tergagap, “namaku Wiradadi. Kenapa?” “Tidak apa-apa,” jawab Rara Wulan, “aku hanya ingin tahu.” Wiradadi tidak berbicara lagi. Ia berjalan semakin cepat sambil menarik tangan Rara Wulan. Kesannya memang sangat tergesa-gesa, sehingga Rara Wulan harus berlari-lari kecil. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka memang terdapat sebuah gubug yang tidak terlalu kecil. Di bawah sebatang pohon belimbing lingir yang besar dan berbuah lebat. Di depan gubug itu terdapat tanah yang luang, seakan-akan merupakan halaman bagi gubug itu. “Marilah. Kita akan berbicara di dalam,“ berkata Wiradadi. Rara Wulan tidak menjawab. Ia berjalan saja di belakang Wiradadi, sementara orang itu masih memegang pergelangan tangannya. Di halaman yang sempit itu Wiradadi berhenti sejenak. Sambil berpaling ia berkata kepada kedua orang kawannya yang berjalan di sebelah-menyebelah Glagah Putih, “Biarlah anak itu menunggu aku diluar. Aku akan berbicara dengan gadis ini tanpa diganggu oleh siapapun juga.” Kedua orang itu dengan serta-merta telah memegangi lengan Glagah Putih sebelah-menyebelah pula. Orang yang berwajah garang itu berkata, “Berhenti. Kau tunggu di sini.” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia memang berhenti. Dipandanginya saja Rara Wulan yang masih saja dibimbing oleh Wiradadi menuju ke pintu gubug kecil itu. Namun ketika mereka sampai di halaman kecil di depan gubug itu, maka Rara Wulan tiba-tiba berhenti sambil mengibaskan tangannya. Demikian tiba-tiba sehingga pegangan Wiradadi pun telah terlepas. “Kenapa?“ berkata Wiradadi. “Kita dapat berbicara di sini,“ berkata Rara Wulan. “Tidak,” jawab Wiradadi, “kita berbicara di dalam.” “Sama saja,“ berkata Rara Wulan kemudian, “di sini pun kita dapat berbicara dengan tenang tanpa ketegangan. Nah, katakan, apa yang akan kau katakan.” “Tidak. Aku akan mengatakannya setelah kita duduk di dalam. Di dalam gubug itu ada sebuah amben bambu, yang di atasnya digelari pandan yang bersih,“ berkata Wiradadi. “Tidak banyak yang akan kita bicarakan. Bicaralah di sini,“ sahut Rara Wulan. “Tidak, Anak Manis. Marilah kita berbicara di dalam,“ berkata Wiradadi sambil menggapai pergelangan tangan Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan melangkah surut sambil berkata, “Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya akan berbicara di sini.” “Kau jangan keras kepala. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau hanya dapat melakukan perintahku.” “Aku dapat berteriak,“ berkata Rara Wulan. Tetapi Wiradadi tertawa. Katanya, “Kita ada di tengah-tengah pategalan. Seandainya kau berteriak sekeras guntur di langit, maka tidak akan ada yang mendengarnya.” “Jika demikian, tempat ini baik sekali bagiku. Jika kau nanti berteriak-teriak minta tolong, maka tidak akan ada orang yang mendengar dan datang menolongmu,“ berkata Rara Wulan. Dahi orang itu berkerut. Namun kemudian ia bertanya, “Apa yang kau katakan?” “Tempat ini merupakan tempat yang baik untuk menghukummu. Seandainya kau berteriak-teriak memanggil orang-orangmu, maka mereka tentu tidak akan mendengar,” jawab Rara Wulan. Orang itu menjadi semakin bingung. Sementara itu Rara Wulan berkata, “Wiradadi. Aku-lah yang akan menghukummu. Aku tahu apa yang akan kau lakukan atasku di gubug itu. Karena itu, maka kau harus dihukum. Juga tingkah lakumu yang tidak tahu diri.” Glagah Putih yang sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Rara Wulan justru mendahului, “Kami datang hanya untuk menyampaikan pesan Paman Argajaya. Itu saja. Karena itu, maka kami tidak mempunyai kepentingan yang lain di sini.” Wiradadi memang menjadi bingung. Justru karena itu, untuk sesaat ia terdiam. Sementara Wiradadi kebingungan, maka Glagah Putih pun berkata, “Karena itu, kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa di sini. Dengan demikian, maka biarkan kami pergi.” Ki Wiradadi memang seperti orang mimpi. Namun ia masih juga berkata, “Kalian tidak boleh pergi. Aku memerlukan gadis ini.” Lalu katanya kepada kedua pengikutnya, “Jaga anak itu.” Tetapi Wiradadi itu menjadi kebingungan lagi ketika Rara Wulan berkata sambil bertolak pinggang dan menunjuk ujung ibu jari kakinya, “Wiradadi. Berjongkok di hadapanku. Menyembah dan memohon ampun atas perlakuan gilamu terhadapku.” Wiradadi justru terdiam. Dipandanginya wajah Rara Wulan. Gadis itu memang cantik, tetapi Wiradadi jadi berpikir lain. Apakah mungkin gadis itu syarafnya agak terganggu? Sementara itu Rara Wulan berkata lagi. Lebih keras, “Cepat. Berjongkok di hadapanku dan mohon ampun. Jika pikiranku berubah, aku tidak akan memberimu ampun lagi.” Wiradadi tidak mau membiarkan dirinya kebingungan. Karena itu, maka iapun menggeram, “Gila. Jadi kau gadis yang begitu mudah kehilangan akal dan bahkan terganggu kesadaranmu?” “Aku tidak peduli. Lakukan perintahku sebelum kau menyesal,“ berkata Rara Wulan. “Persetan,” geram Wiradadi. Namun kemudian iapun berkata, “Aku tidak peduli bahwa kau gila. Tetapi kau gadis cantik. Mari, ikut aku. Masuk ke dalam gubug itu.” Namun Wiradadi terkejut. Ternyata Rara Wulan sudah menampar mulutnya. Wiradadi mengumpat kasar. Namun ia menjadi semakin bingung ketika ia melihat Rara Wulan yang marah itu menyingsingkan kainnya sambil bergeser mendekat. “Agaknya gadis ini benar-benar gadis gila,“ berkata Wiradadi di dalam hatinya. Namun Wiradadi itu kemudian menyadari jenis gadis yang dihadapinya ketika kemudian ia melihat pakaian khusus Rara Wulan yang dipakai di bawah pakaian luarnya. Wiradadi melangkah surut. Sementara Rara Wulan berkata, “Aku memang ingin mendapat kesempatan seperti ini Wiradadi. Aku datang sekedar melakukan tugas kami, diutus oleh Paman Argajaya. Namun ternyata bahwa kau bersikap seperti seekor srigala. Tingkah lakumu yang liar itu telah memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi atas Kanthi.” “Sudahlah,“ berkata Glagah Putih yang kedua lengannya masih dipegang oleh kedua orang pengikut Wiradadi, “kita tidak perlu memperpanjang persoalan ini.” Lalu katanya kepada Wiradadi, “Ki Sanak. Biarkan kami kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita anggap bahwa tidak ada persoalan di antara kita.” Tetapi Rara Wulan menyahut, “Ia sudah menghina aku. Aku tidak mau begitu saja berlalu tanpa memberikan hukuman kepadanya sesuai dengan kesalahannya.” “Gila. Kalian memang gila,” geram Wiradadi, “kau kira kami ini, apa he? Dengar, kalian akan menyesal karena kesombongan kalian. Apapun yang akan terjadi kemudian atas kalian, maka itu adalah akibat dari kesalahan kalian sendiri.” “Aku juga akan berkata seperti itu,“ jawab Rara Wulan, “apapun yang akan terjadi atasmu, itu adalah akibat dari kegilaanmu sendiri.” Kesabaran Wiradadi benar-benar sudah sampai ke batas. Perempuan cantik itu sudah keterlaluan. Bahkan ia sudah menampar pipinya pula. Karena itu, maka ia tidak mau lebih banyak berbicara lagi. Ia akan menundukkan gadis itu dan memperlakukannya menurut keinginannya. Maka iapun segera bersiap untuk menangkap gadis itu. Kepada kedua pengikutnya ia berkata, “Jaga anak muda itu. Aku akan menyelesaikan perempuan liar ini.” Kata-kata Wiradadi itu hampir tidak selesai diucapkan. Sekali lagi tangan Rara Wulan menampar mulut Wiradadi. Wiradadi tidak menunggu lagi. Iapun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Tetapi dengan tangkasnya Rara Wulan mengelak. Meskipun agak lama ia berbaring di pembaringan dan baru satu dua kali ia berlatih di sanggar setelah ia sembuh dari lukanya, namun ternyata bahwa Rara Wulan memang memiliki kelebihan dari Wiradadi. Meskipun Wiradadi agaknya juga memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi ketika Rara Wulan yang marah itu menyerang seperti badai yang berhembus dari arah lautan, maka Wiradadi itu pun segera terdesak. Rara Wulan tidak memberinya kesempatan. Ketika Wiradadi meloncat mundur menghindari serangan tangannya, maka dengan cepat Rara Wulan meloncat. Ia tidak menyerang dengan tangannya lagi. Tetapi kakinya pun terjulur lurus menghantam dada. Wiradadi terlempar beberapa langkah surut, sehingga punggungnya menghantam dinding gubug itu, sehingga dinding itu terkoyak. Ketika Wiradadi berusaha untuk bangkit, maka Rara Wulan telah berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Nah, sekarang lakukan perintahku. Berjongkok di hadapanku. Menyembah dan mohon maaf kepadaku.” Harga diri Wiradadi benar-benar tersinggung. Namun ketika ia akan meneriakkan perintah kepada kedua orang pengikutnya, ia melihat keduanya telah terbaring diam di sebelah-menyebelah anak muda itu. Pingsan tanpa diketahui sebabnya. Dengan sorot mata yang aneh Wiradadi memandang Glagah Putih yang berdiri diam. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya meskipun dua orang yang memegangi lengannya itu pingsan. Namun Wiradadi tidak mau dihinakan oleh Rara Wulan. Karena itu. maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Demikian ia berdiri tegak, maka tangannya telah menarik parangnya. “Anak-anak iblis. Kau apakan kedua orang kawanku itu?“ geram Wiradadi. Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Entahlah. Tiba-tiba saja mereka melepaskan lenganku dan jatuh pingsan.” “Ternyata kau memiliki ilmu iblis. Tetapi kau akan menyesal karena kalian berdua akan mati di pategalan ini.” “Jangan banyak bicara,” Rara Wulan, “berjongkoklah dan mohon ampun kepadaku.” Wiradadi tidak menjawab lagi. Tetapi parangnya pun segera berputar. Katanya, “Marilah, majulah bersama-sama. Aku akan memenggal kepala kalian dan menguburkan kalian di sini.” “Tetapi jika aku tidak pulang siang ini, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh akan mengetahui bahwa aku menemui bencana di Kleringan. Maka Ki Gede tidak akan mempunyai pilihan lain. Kau, orang tuamu, anak istrimu, pamanmu dan semua keluargamu akan dihancurkan oleh Ki Gede dengan pasukannya. Prastawa akan datang tidak sebagai seorang yang akan diadili di sini. Tetapi ia akan membawa pasukan segelar-sepapan. Kleringan akan menjadi karang abang, Kemana pun kau akan lari, maka kau akan diburu. Bahkan sampai ke liang semut sekalipun.” Wajah Wiradadi menjadi tegang. Namun Rara Wulan tidak ingin Wiradadi ketakutan serta melarikan diri. Ia ingin mencoba untuk berkelahi dan mengalahkannya. Menghukumnya, dan lebih dari itu mempermalukannya. Dendam Kanthi seakan-akan telah menjalar di hatinya pula. Karena itu, maka tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak, “Cepat! Berjongkok!” “Jangan berteriak,” Glagah Putih memperingatkan. “Tidak apa-apa. Srigala licik ini mengatakan bahwa seandainya aku berteriak sekeras guntur sekalipun, tidak akan ada orang yang mendengarnya,” jawab Rara Wulan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rara Wulan memang tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Karena itu. sulit baginya untuk mencegah perkelahian yang memang diinginkan oleh Rara Wulan. Wiradadi yang berkali-kali merasa tersinggung harga dirinya dan bahkan dengan sengaja dihinakan oleh Rara Wulan, juga tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka iapun mulai menyerang dengan garangnya. Parangnya berputaran dan terayun-ayun mengerikan. Beberapa kali Rara Wulan memang berloncatan surut. Namun tiba-tiba saja ia telah melepas selendang yang dipinjamnya dari Sekar Merah. Wiradadi semula tidak menghiraukan selendang itu, namun ketika selendang itu berputar semakin cepat dan terdengar suaranya berdesing disertai getar angin yang menerpa wajahnya, maka hatinya mulai tergetar. Tetapi ia tidak mempunyai banyak pilihan. Ujung selendang itu tiba-tiba telah mulai menyentuh kulitnya. Wiradadi meloncat surut. Kulitnya terasa pedih oleh sentuhan ujung selendang itu. Bahkan kemudian ternyata bahwa kulitnya menjadi merah kehitam-hitaman. Baru kemudian Wiradadi sadar, bahwa selendang itu memang sejenis senjata yang sangat berbahaya. Demikianlah, maka Wiradadi yang marah itu harus menjadi semakin berhati-hati. Sekali dua kali, ujung selendang itu telah menyengat kulitnya. Semakin lama terasa semakin sering. Wiradadi mulai menjadi semakin cemas. Sentuhan itu terasa semakin sakit dikulitnya. Bahkan kemudian sentuhan-sentuhan itu menjadi semakin sering dirasakannya. Tetapi Wiradadi tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Betapapun ia berusaha menyerang dengan ujung parangnya, tetapi usahanya selalu sia-sia saja. Rara Wulan itu baginya bagaikan bayangan yang tidak dapat disentuh sama sekali. Ketika ujung selendang Rara Wulan semakin sering menyakitinya, maka Wiradadi menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ujung selendang yang digantungi bandul timah-timah kecil itu menyambar keningnya, sehingga rasa-rasanya matanya menjadi berkunang-kunang. Wiradadi itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Keningnya bukan saja menjadi sakit. Tetapi rasa-rasanya tulang pelipisnya menjadi retak Tetapi sebelum Wiradadi sempat memperbaiki kedudukannya, maka bandul timah di ujung selendang itu telah menghantam punggungnya. Wiradadi-lah yang kemudian berteriak keras-keras karena kemarahan yang mencengkam jantungnya. Tetapi sebelum mulutnya terkatup rapat, maka ujung selendang Rara Wulan justru telah menghantam mulutnya. Terasa bibirnya menjadi pecah. Sebuah giginya tanggal, dan darah pun mulai mengalir dari mulutnya. Jantung Wiradadi terasa bagaikan membara. Namun ia memang tidak dapat berbuat banyak. Parangnya seakan-akan tidak berarti sama sekali. Selendang itu memang lebih panjang dari parang di tangannya, sehingga sebelum parangnya menggapai sasaran, ujung selendang itu telah mengenai tubuhnya lagi. Bahkan semakin lama semakin sering. Dengan demikian, perasaan sakit dan nyeri rasa-rasanya sudah menjalar di seluruh tubuhnya. Pada kulitnya terdapat noda-noda merah biru. Bahkan beberapa gores luka dan berdarah sebagaimana darah mengalir dari mulutnya. Akhirnya Ki Wiradadi itu menjadi tidak tahan lagi. Ia harus mengakui kenyataan, bahwa gadis itu tidak akan dapat dilawannya. Jika ia bertahan untuk bertempur terus, maka ia akan dapat menjadi pingsan seperti kedua orang pengikutnya itu. Karena itu, maka Ki Wiradadi itu pun dengan sisa tenaganya telah berusaha untuk melarikan diri. Namun demikian ia berusaha meloncat berlari meninggalkan arena, maka ujung selendang Rara Wulan telah terjulur menggapai kakinya, sehingga Wiradadi itu telah jatuh terjerembab. Wiradadi tidak sempat lagi melarikan diri. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia melihat sepasang kaki yang renggang di depan matanya. Kaki Rara Wulan. “Bangkit dan berjongkok,“ perintah Rara Wulan. Wiradadi menggeram. Namun ujung selendang Rara Wulan tiba-tiba saja telah menghantam punggungnya. Wiradadi mengaduh kesakitan. Namun yang didengarnya adalah suara Rara Wulan, “Berjongkok dan mohon ampun kepadaku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan Kanthi. Tetapi justru karena kau telah menghina aku. Dengan demikian aku mengerti, bahkan kau pun telah memperlakukan gadis-gadis lain sebagaimana akan kau lakukan atas aku.” “Tidak. Aku tidak pernah melakukannya sebelumnya,” jawab Wiradadi. “Tetapi sesudahnya?” bertanya Rara Wulan. “Aku berjanji untuk tidak melakukannya,” jawab Wiradadi. Namun Rara Wulan dengan cepat menyahut, “Omong kosong. Orang-orang seperti kau ini tidak akan dapat dipercaya.” “Sungguh, aku bersumpah,“ berkata Wiradadi. Tetapi Rara Wulan membentak, “Aku tidak memerlukan sumpahmu! Cepat berjongkok dan minta ampun kepadaku!” Tetapi Wiradadi yang masih mengingat harga dirinya tidak segera melakukannya. Namun Rara Wulan pun menjadi seperti orang yang telah kehilangan nalarnya. Sekali lagi selendangnya terayun dan menghantam punggung Wiradadi, sehingga terdengar Wiradadi itu mengaduh kesakitan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia memberi isyarat agar Rara Wulan meninggalkan Wiradadi yang kesakitan itu. Tetapi Rara Wulan justru menjawab lantang, “Tidak. Ia harus berjongkok dan mohon ampun. Jika tidak, maka ia akan mati di sini. Dua orang yang pingsan itu akan mati juga, sehingga tidak akan ada saksi, apa yang telah aku lakukan di sini.” Glagah Putih memang menjadi gelisah. Persoalannya tentu akan berkembang semakin buruk. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi sore nanti jika Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri datang ke rumah Ki Suracala. Sementara itu, Rara Wulan masih juga mengayunkan selendangnya ke punggung Wiradadi, sehingga orang itu mengaduh kesakitan. “Aku akan menghitung sampai lima. Jika kau masih juga tidak mau berjongkok dan mohon ampun kepadaku, maka aku akan melecutmu dengan selendangku ini sampai kau mati. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Jika perlu, maka Kakang Prastawa aku minta untuk mengerahkan pasukan menghancurkan semua isi Kademangan Kleringan. Apalagi jika Kademangan ini berusaha melindungi keluargamu.” Seperti yang dikatakan, maka Rara Wulan benar-benar mulai menghitung. Namun sampai kehitungan ketiga, maka Wiradadi pun telah memaksa dirinya untuk berjongkok di depan Rara Wulan sambil berkata, “Baik. Baik. Aku akan minta maaf kepadamu.” “Mohon ampun. Bukan minta maaf. Cepat lakukan, sebelum aku mencambukmu lagi.” “Aku mohon ampun,“ suara Wiradadi hampir tidak terdengar. “Aku tidak mendengar suaramu. Ulangi!” bentak Rara Wulan. Wiradadi terpaksa mengulanginya. Ternyata ia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis yang garang, dan lebih dari itu, ilmunya ternyata lebih tinggi dari ilmunya. Karena itu, maka Wiradadi pun terpaksa mengulangi dengan kata-kata yang lebih keras, “Aku mohon ampun.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah bergeser dan berkata, “Marilah, kita tinggalkan tikus-tikus cecurut itu.” Glagah Putih mengangguk. Namun ia berkata, “Benahi pakaianmu.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah masuk ke dalam gubug, meskipun ia tetap berhati-hati. Ketika ia memasuki pintu gubug itu ia berhenti sejenak, berpaling kepada Wiradadi sambil berkata, “Kau juga akan ikut masuk?” Wiradadi tidak berani menjawab. Tetapi ia mengumpat-umpat di dalam hati. Rara Wulan pun kemudian membenahi pakaiannya di dalam gubug itu. Hanya beberapa saat, ia-un segera keluar lagi. Dikenakannya selendangnya seperti semula, sebagaimana seorang perempuan mengenakan selendang. Kemudian tanpa mengatakan sepatah katapun, Rara Wulan melangkah meninggalkan pategalan itu, diikuti oleh Glagah Putih. Ketika mereka keluar dan mulut lorong, maka Glagah Putih berdesis, “Kau bersikap terlalu keras Rara.” “Kau dapat berkata begitu karena kau tidak mengalami penghinaan yang mendasar. Kau tahu apa yang akan dilakukannya atas diriku? Tidak ada ampun bagi siapapun yang demikian. Untung aku masih mampu mengendalikan diri dan tidak membunuhnya.” “Tetapi bukankah tidak terjadi apa-apa?” bertanya Glagah Putih. “Tetapi itu sudah terjadi di kepala orang itu. Itu satu kenyataan bagi angan-angannya. Dan karena itu sudah sepantasnya ia menerima hukuman, yang seharusnya jauh lebih berat dari yang aku lakukan,” jawab Rara Wulan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Kau dapat membayangkan apa yang akan terjadi sore nanti.” “Aku akan ikut. Jika aku harus mempertanggung-jawabkan perbuatanku, aku akan melakukannya,” jawab Rara Wulan. “Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru tentu tidak akan mengijinkan kau ikut sore nanti.” “Kenapa? Bukankah yang terjadi tadi harus dipertanggung-jawabkan? Bukankah aku akan dapat menjadi saksi atas sifat dan watak orang itu?“ sahut Rara Wulan. Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa perasaan Rara Wulan sudah menjadi gelap, sehingga sulit baginya untuk dapat berbicara dengan tenang. Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Kita akan mengambil jalan lain. Bukan jalan yang paling baik yang menuju ke Tanah Perdikan.” “Kenapa?” bertanya Rara Wulan. “Wiradadi dapat menjadi gila. Ia akan dapat mengerahkan banyak orang untuk memburu kita dan mencegat kita sebelum kita memasuki Tanah Perdikan. Karena itu, kita memilih jalan yang lain, sehingga jika ada sekelompok orang yang menyusul kita, mereka tidak akan segera menemukan kita, sehingga kita mencapai batas Tanah Perdikan. Di Tanah Perdikan, kita akan dapat berbuat lebih banyak.” “Apa salahnya jika sekelompok orang dungu itu menyusul kita?“ bertanya Rara Wulan “Bukankah lebih baik jika kita tidak bertemu dengan mereka, yang sudah dapat kita bayangkan akibatnya?” bertanya Glagah Putih dengan kata-kata yang berat menekan. Rara Wulan tidak menjawab. Namun ketika Glagah Putih mengajaknya berbelok melalui jalan kecil, mereka pun berbelok. Meskipun Glagah Putih belum pernah melalui jalan-jalan sempit di Kademangan Kleringan, namun dengan mengenali arah perjalanannya, maka Glagah Putih tidak mengalami kesulitan untuk sampai ke perbatasan Tanah Perdikan Menoreh di lereng pegunungan. Untunglah bahwa kawan perjalanannya bukan seorang gadis sebagaimana gadis kebanyakan. Ketika mereka melewati jalan berbatu padas dan bahkan kemudian mulai miring di kaki pegunungan, maka Rara Wulan tidak lagi menghiraukan pakaiannya. Ia telah menyingsingkan lagi kain panjangnya, sehingga pakaian khususnya-lah yang nampak dikenakannya. Namun ternyata bahwa Wiradadi tidak mengerahkan orang-orangnya untuk mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Tubuhnya terasa nyeri, sedangkan tulang punggungnya bagaikan menjadi retak. Dua orang pengikutnya yang pingsan itu pun mulai menjadi sadar kembali. Perlahan-lahan mereka mulai menemukan ingatannya, apa yang telah terjadi atas diri mereka. Namun mereka tetap tidak mengetahui, apa yang diperbuat oleh anak muda itu. Ketika mereka siap untuk memaksa anak muda itu agar tidak berbuat sesuatu, tiba-tiba saja mata mereka menjadi berkunang-kunang dan akhirnya semuanya menjadi gelap. Demikian kedua orang itu melihat Wiradadi yang kesakitan, maka mereka menjadi gugup. Orang yang bertubuh pendek itu bertanya dengan kata-kata yang terbata-bata, “Apa yang terjadi?” Mata Wiradadi menjadi merah oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya. Sambil menyeringai menahan sakit, Wiradadi yang masih merasa sakit untuk berdiri tegak itu berkata, “Ternyata kalian memang tikus cecurut seperti yang dikatakan perempuan liar itu. Apa yang kalian lakukan, sehingga tiba-tiba saja kalian berdua pingsan?” “Anak itu mempunyai ilmu iblis,“ desis orang yang berwajah garang. “Omong kosong! Kalian mencoba untuk menutupi kedunguan kalian!“ bentak Wiradadi. “Kami benar-benar tidak mempunyai kesempatan,“ berkata orang yang bertubuh pendek. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi apa yang terjadi dengan Ki Wiradadi?” “Tutup mulutmu!” bentak Wiradadi. Ia mencoba untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Namun ketika ia menggerakkan kakinya, maka terasa nyeri yang sangat telah menyengat punggungnya. Meskipun demikian, Wiradadi memaksa dirinya untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Tetapi ia tidak segera kembali. Untuk mengurangi kesan buruk atas dirinya, maka Wiradadi telah turun ke sungai untuk mandi. Ia harus menghapus titik-titik darah yang meleleh dari mulutnya, serta balur-balur luka di tubuhnya. Jika ia mandi, maka tubuhnya akan nampak segar kembali, meskipun mula-mula tentu terasa perih. Namun Wiradadi tetap saja merasa ragu. Apakah ia harus mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya, atau tidak. Tetapi rasa-rasanya dendam telah membuat jantungnya membara. Ketika Wiradadi kemudian pulang ke rumah Ki Suracala, maka keadaannya memang nampak lebih baik. Bekas-bekas perkelahiannya tidak lagi nampak jelas. Dengan demikian maka orang-orang yang bertemu di jalan pulang, tidak mengetahui bahwa Wiradadi baru saja mengalami kesulitan menghadapi seorang gadis yang garang. Namun Wiradadi ingin memberitahukan apa yang telah terjadi atas dirinya kepada ayahnya. Kepada pamannya, dan kepada orang-orang lain yang ada di rumahnya, meskipun harus dibumbuinya dengan kebohongan. Jika sore nanti benar-benar utusan Ki Argajaya datang, maka mereka harus mengalami perlakuan yang sama sebagaimana gadis itu memperlakukan dirinya. Sebenarnyalah, ketika Wiradadi itu sampai di rumah, iapun langsung bertemu dengan ayahnya, dengan Ki Suracala dan dengan seorang pamannya yang lain. Ki Suradipa. “Apa yang terjadi atas dirimu?” bertanya Ki Suratapa, ayahnya. Ia adalah sepupu Ki Suracala, yang ikut menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Umurnya memang lebih tua dari Ki Suracala, meskipun tidak terpaut terlalu banyak. Sedangkan seorang lagi sepupu Ki Suracala adalah orang yang bertubuh tinggi kekar, yang sikapnya justru sangat keras terhadap keluarga Ki Argajaya. Wiradadi memang ragu-ragu menceritakan, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang perempuan. Ia merasa malu, terutama kepada Ki Suracala sendiri. Karena itu, ketika ia berjalan pulang, dua orang pengikutnya telah dibekalinya dengan cerita dusta, sebagaimana diceritakannya kepada ayah dan paman-pamannya. “Kami tahu bahwa kedua orang itu kemarin sudah mengamati rumah ini,“ berkata Wiradadi, “karena itu, aku berniat untuk bertanya kepada mereka, untuk apa mereka kemarin datang kemari dan kemudian hari ini mereka datang pula. Ketika kami menemui mereka di luar padukuhan, ternyata mereka membawa beberapa orang kawan.” “Jadi mereka tidak hanya berdua?” bertanya Ki Suratapa. “Ya. Lebih dari lima orang. Mereka membawa aku ke pategalan. Dan mereka telah memperlakukan aku dengan sewenang-wenang.” “Dan kau biarkan dirimu diperlakukan seperti itu?” bertanya Ki Suratapa. “Aku, maksudmu kami bertiga, telah melawan. Tetapi jumlah mereka lebih banyak, sehingga kami berada dalam kesulitan,” jawab Wiradadi. “Kenapa salah seorang dari kalian tidak memberitahukan kepada kami?” bertanya Ki Suradipa. “Ternyata bahwa kami tidak perlu melakukannya, Paman,” jawab Wiradadi, “mereka telah melarikan diri.” “Dan kalian tidak mengejarnya dan menangkap seorang dari mereka?” bertanya Ki Suradipa. “Mereka telah berlari memencar. Sementara itu, kami memang tidak ingin membuat padukuhan ini, dan apalagi kademangan ini, menjadi gaduh,” jawab Wiradadi. “Tetapi bukankah ada di antara mereka seorang perempuan?” bertanya Ki Suratapa. “Ketika terjadi perkelahian, maka perempuan dan anak muda yang datang kemari itu sudah pergi. Mereka meninggalkan kawan-kawannya, sehingga sulit bagi kami untuk melacak jejaknya.” Ki Suratapa itu pun menggeram. Dengan nada garang ia berkata, “Iblis yang tidak tahu diri. Tentu siasat Argajaya yang licik.” “Siapa yang licik di antara kita dan keluarga Ki Argajaya?” bertanya Ki Suracala. “Kau juga gila,” geram Suratapa, “kita sudah sepakat untuk memilih jalan terbaik. Kenapa kau masih ragu-ragu?” “Apakah benar kita sudah sepakat?” bertanya Ki Suracala. “Jadi kau mau apa? Kau akan membiarkan cucumu lahir tanpa ayah?” bertanya Ki Suratapa. “Bukankah aku mengatakan bahwa hal itu akan lebih baik daripada menyangkutkan keluarga Ki Argajaya?” “Kau masih saja dungu,” geram Ki Suratapa, “aku bermaksud baik. Jika Prastawa kawin dengan anakmu, maka kau akan dapat berharap ikut berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh. Anak Argapati itu tentu akan lebih senang mengikuti suaminya di Sangkal Putung dan akan mengabaikan tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh. Nah, hanya tinggal Prastawa yang ada di antara keluarga Ki Argapati.” “Tetapi Ki Argajaya bukan sejenis lembu perahan yang akan menurut saja diperas tanpa berbuat sesuatu. Ia akan dapat berbuat banyak sebagai adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh.” “Menoreh tidak akan mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Jika demikian maka mereka akan berhadapan dengan Kademangan Kleringan. Kau kira Tanah Perdikan berani menghadapi Kademangan Kleringan? Aku yakin, bahwa aku akan dapat mempengaruhi Ki Demang Kleringan, jika Argajaya berniat menggerakkan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh untuk kepentingan pribadinya. Aku pun mengira, bahwa Ki Argapati tidak akan memberikan kesempatan Argajaya berbuat demikian. Nama Argajaya itu sendiri di Tanah Perdikan Menoreh sudah tersisih sejak ia memberontak melawan kakaknya. Namun ternyata bahwa anaknya masih dianggap seorang pemimpin yang baik di Tanah Perdikan.” “Ternyata kau tidak dapat membaca keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Kau kira Ki Demang Kleringan berani melawan Tanah Perdikan Menoreh? Kecuali jika Ki Demang ingin melebur Kademangan ini menjadi debu,“ berkata Ki Suracala. “Kami akan membatasi persoalan ini sebagai persoalan keluarga. Kami akan menyinggung harga diri keluarga Ki Argajaya agar tidak mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Nah, kita akan mencobanya sore nanti,” desis Suradipa. Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apa yang akan kalian lakukan sore nanti?” “Kita akan melihat, apakah keterangan mereka memuaskan atau tidak. Jika mereka masih berbelit-belit dan tidak mau dengan tangan terbuka menerima tawaran kita agar Prastawa segera menikah dengan Kanthi, maka kita akan memperlakukan mereka sebagaimana orang-orang Argajaya memperlakukan Wiradadi,“ berkata Ki Suratapa. “Itu tidak adil,“ berkata Ki Suracala. “Apa yang tidak adil? Bukankah itu justru adil sekali?” Ki Suradipa justru bertanya. “Terus terang, aku tidak yakin akan kebenaran cerita Wiradadi,“ berkata Ki Suracala. “Kau selalu berprasangka buruk,” geram Ki Suratapa. “Aku peringatkan, bahwa kau tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menentukan sikap. Kau berada di bawah kekuasaan kami. Kau harus mengakui kenyataan buruk tentang anakmu. Ia telah menjerat Wiradadi yang sudah beristri. Seharusnya ia tahu, bahwa tingkah lakunya sangat tercela bagi seorang gadis. Lebih dari itu, maka anakmu harus mengetahui bahwa tidak boleh terjadi perkawinan di antara saudara pada keturunan ketiga. Sedangkan keturunan kedua justru tidak ada keberatannya. Perkawinan antara saudara sepupu tidak menjadi pantangan bagi kita.“ Ki Suratapa itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada berat, “Suracala. Kau harus mempertimbangkan satu kemungkinan bahwa sebenarnya Kanthi memang sudah merasa mulai mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Baru kemudian karena Prastawa ingkar, maka ia telah menjebak Wiradadi, kakangnya sendiri. Namun sayang, justru pada keturunan ketiga.” “Tidak. Bohong. Itu fitnah. Anakku tidak pernah berhubungan dengan Prastawa lebih dari hubungan persahabatan, sebagaimana aku dengan Adi Prastawa,” jawab Ki Suracala. “Apakah kau tidak pernah mendengar pengakuan kanthi, bahwa ia memang mencintai Prastawa?” bertanya Ki Suradipa. “Seandainya demikian, mereka tentu tidak akan melakukan larangan itu,” jawab Ki Suracala Ki Suratapa dan Ki Suradipa tertawa. Dengan nada tinggi Ki Suratapa berkata, “Kau memang keras kepala. Karena itu, kami akan menentukan kehendak kami tanpa minta persetujuanmu. Ingat, kau tidak akan dapat melawan kehendak kami. karena kami bermaksud baik terhadap Kanthi. Kami memang merasa kasihan kepadanya.” Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak mempunyai kekuatan apapun untuk mendukung sikapnya. Tetapi ia yakin bahwa Prastawa memang tidak bersalah. Namun Ki Suracala memang menjadi cemas, bahwa sore nanti akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Utusan Ki Argajaya akan dapat mengalami kesulitan. Bahkan mungkin bencana. “Wiradadi memang iblis,” geram Ki Suracala di dalam hatinya. Namun Ki Suracala pun memperhitungkan bahwa Ki Argajaya tidak akan dapat berbuat banyak. Seandainya ia mengalami kesulitan, maka kakaknya, Ki Argapati, belum tentu akan mau ikut campur, meskipun Prastawa terhitung salah seorang di antara para pemimpin pengawal di Tanah Perdikan. Ki Argajaya yang sudah bertahun-tahun tersisih, agaknya tidak akan dapat menggerakkan hati Ki Gede. Bahkan mungkin Prastawa justru akan dapat disisihkan, karena fitnah yang dilemparkan oleh keluarga Wiradadi yang menyangkut anak gadisnya, Kanthi. Ki Suracala memang menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin berteriak keras-keras, melontarkan gejolak di dalam hatinya. Ingin rasa-rasanya ia meneriakkan kebenaran yang terjadi atas anak gadisnya yang ternyata memang sedang mengandung itu. Tetapi suaranya tidak dapat meluncur dari sela-sela bibirnya. Yang dapat dilakukan memang hanya menunggu dengan berdebar-debar, apa yang akan terjadi sore nanti, jika utusan Ki Argajaya benar-benar datang ke rumahnya. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ki Suratapa telah mempersiapkan sekelompok orang yang dapat membalas sakit hati anaknya. Tetapi Ki Suratapa sudah berpesan, agar mereka tidak bertindak lebih dahulu sebelum ada perintahnya. Ia harus mendengar lebih dahulu, hasil pembicaraan yang akan dilakukan. “Jika hasilnya baik, sehingga perkawinan itu akan segera dapat dilaksanakan, maka kita akan melupakan kesalahan mereka atas Wiradadi. Tetapi jika mereka masih menunda-nunda, maka mereka akan mengalami nasib buruk,“ berkata Ki Suratapa. Orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban, namun tubuhnya masih nampak kuat dan kekar menjawab, “Kami sudah cukup sabar menunggu. Jangan kecewakan cantrik-cantrikku.” “Aku mengerti,” jawab Ki Suratapa, “tetapi ingat, bahwa di Tanah Perdikan terdapat orang-orang berilmu tinggi. Aku sendiri tidak tahu seberapa tinggi tataran ilmu mereka, karena sudah agak lama aku meninggalkan Kleringan. Jika sekarang aku kembali, itu adalah karena ada persoalan yang menyangkut anakku di sini.” “Kemana kau pergi selama ini? Bukankah kau hanya bergeser sedikit ke barat dan tinggal di Pringsurat?” “Ya,” jawab Suratapa, “meskipun tidak terlalu jauh, tetapi perhatianku sama sekali tidak pernah lagi tertuju pada Kademangan ini, apalagi Tanah Perdikan Menoreh.” “Jangan cemas. Padepokanku tidak akan mengecewakanmu. Terserah kepadamu, percaya atau tidak.” Ki Suratapa mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Bagaimanapun juga, menghadapi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kita harus berhati-hati. Seandainya mata kita buta, tetapi kuping kita tentu mendengar. Sebaliknya seandainya kuping kita tuli, kita pun dapat melihat, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat orang-orang berilmu tinggi.” “Apakah kau memperkirakan bahwa Ki Argajaya akan memanfaatkan kedudukan kakaknya?” bertanya orang itu. “Aku kira tidak. Bagaimanapun juga ia masih mempunyai harga diri. Kecuali itu, Ki Gede tidak akan mudah melupakan pengkhianatan adiknya itu, sehingga mungkin justru Prastawa-lah yang akan disingkirkan,” jawab Ki Suratapa. “Segala kemungkinan dapat terjadi. Tetapi satu hal yang sudah pernah aku katakan dan masih tetap berlaku. Aku tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan mengerahkan pasukan pengawalnya. Padepokanku, bahkan bergabung dengan Kademangan Kleringan sekalipun, tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tetapi jika hanya sekelompok orang, apalagi keluarga dekat Ki Argajaya atau orang-orang upahannya, aku akan menghancurkan mereka.” “Tetapi jika benar kata-kata Wiradadi, agaknya Argajaya sudah benar-benar menjadi gila,“ berkata Suratapa. “Jika hanya kelompok-kelompok kecil seperti itu, maka persoalannya akan mudah diatasi. Bahkan jika perlu, kita ambil saja Argajaya itu sendiri, untuk memaksa Prastawa memenuhi keinginanmu serta keluarga Suracala.” “Kakang Suracala juga hampir menjadi gila,” geram Suratapa. “Suracala bukan apa-apa,” jawab orang itu. “Nah, hati-hatilah. Bersiaplah. Aku tidak tahu berapa jumlah utusan Ki Argajaya. Tetapi sudah tentu tidak sejumlah pengawal di Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Suratapa. Orang itu tertawa. Katanya, “Kau nampak sangat cemas.” “Kita harus membuat perhitungan yang cermat. Argajaya tidak akan berani berbuat gila dengan mengirimkan orang kemari dan menyerang Wiradadi, jika ia tidak merasa memiliki kekuatan.” ”Kenapa ia menyerang Wiradadi? Apakah ia mengetahui persoalan yang menyangkut Wiradadi?” bertanya kawan Suratapa itu. “Seharusnya tidak. Tetapi mungkin justru Wiradadi-lah yang dijumpainya, sehingga secara kebetulan ia menjadi sasaran kegilaan Argajaya, atau bahkan Prastawa.” “Apakah mungkin mereka termasuk para pengawal Tanah Perdikan Menoreh? Justru pengawal terpilih yang dikirim oleh Prastawa untuk menakut-nakuti kalian, karena kalian telah menakut-nakuti ayahnya. Sementara itu Prastawa merasa pasti bahwa ia tidak bersalah?” “Nah, bukan aku yang menjadi cemas. Tetapi kau sudah menjadi ragu-ragu pula,“ berkata Ki Suratapa. “Tidak, aku tidak ragu-ragu. Bebanku ringan. Jika persoalannya kemudian melibatkan Tanah Perdikan Menoreh, aku tidak bertanggung jawab. Aku dapat pergi begitu saja dan membiarkan kademangan ini digilas oleh kekuatan Tanah Perdikan.” “Setan kau,” geram Suratapa. Orang itu tertawa. Namun katanya kemudian, “Jangan cemas. Jika utusannya sore nanti tidak membuat persoalannya menjadi jernih, maka kami akan melakukan apa yang sebaiknya kami lakukan. Kami telah menyiapkan sepuluh orang berilmu tinggi. Lima orang dari perguruanku sendiri, sedangkan lima orang dari perguruan lain. Bukan karena aku tidak mempunyai orang cukup, tetapi melibatkan perguruan lain akan mempunyai pengaruh yang baik jika terjadi permusuhan yang panjang di kemudian hari. Setidak-tidaknya ada kawan untuk memanggul beban. Nanti sore aku akan melibatkan tiga perguruan yang besar dari barat.” Ki Suratapa mengangguk-angguk. Namun orang itu kemudian berkata, “Tetapi seperti yang kau janjikan. Kami akan mendapat imbalan yang cukup.” Ki Suratapa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mempunyai berpuluh-puluh ekor lembu dan kerbau. Kau tahu itu. Sementara itu keluarga Wiradadi perlu diselamatkan.“ Ki Suratapa itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Bukankah kau tahu, siapakah mertua Wiradadi itu?” “Ya. Tetapi kenapa ia tidak kau libatkan sekarang?” bertanya orang itu. “Untuk sementara mereka tidak usah mengetahui apa yang terjadi di sini. Tetapi jika perlu, maka kami dapat membohonginya, sebagaimana kami membohongi Argajaya. Jika. mertua Wiradadi sudah termakan, maka persoalannya akan meluas.” Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun mengerti, kenapa Ki Suratapa belum melibatkan mertua Wiradadi. Agaknya jika mungkin, persoalan antara Wiradadi dan Kanthi akan disembunyikan saja. Namun jika tidak mungkin, maka fitnah atas Prastawa akan diperluas lagi. Demikianlah, maka semua persiapan dilakukan seandainya pembicaraan Ki Suracala dengan utusan Ki Argajaya itu gagal. Mereka akan memperlakukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu dengan tindak kekerasan, sebagaimana mereka lakukan atas Wiradadi sesuai dengan laporan Wiradadi itu sendiri. Dalam pada itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumahnya. Mereka telah memberitahukan apa yang terjadi di Kademangan Kleringan itu kepada Ki Jayaraga. “Nanti sore aku akan ikut,“ berkata Rara Wulan dengan tegas. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah yang ikut mendengarkan laporan Rara Wulan dan Glagah Putih itu pun menjadi berdebar-debar. Ternyata persoalannya menjadi semakin rumit. “Tetapi itu bukan salah kami, Mbokayu,“ berkata Rara Wulan kemudian kepada Sekar Mirah. “Mereka mencegat kami.” Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Memang bukan salah kalian.” “Karena itu, nanti sore aku harus ikut. Aku akan menjelaskan kepada keluarga Ki Suracala, bahwa orang yang bernama Wiradadi itu memang srigala.” “Tetapi kita tidak akan dapat mengatakan bahwa kau telah bertemu dengan Kanthi,“ berkata Sekar Mirah. “Kenapa? Aku tidak takut. Biarlah hal itu dikatakan. Jika mereka mendendam kami berdua, kami tidak keberatan,” jawab Rara Wulan. “Aku percaya. Tetapi yang juga akan mengalami kesulitan adalah Kanthi itu sendiri. Bukankah ayahnya tidak lagi mampu melindunginya karena tingkah laku saudara sepupunya itu?“ sahut Sekar Mirah. Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Mbokayumu benar, Rara. Kau dan Angger Glagah Putih, dan berangkali kita semuanya, akan dapat meninggalkan mereka dan kembali ke Tanah Perdikan ini. Tetapi bagaimana dengan Kanthi? Bagaimana pula dengan Ki Suracala?” Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Memang, kasihan Kanthi.” “Karena itu, kita tidak dapat membawa-bawa nama Kanthi. Tetapi kita sudah mengetahui kebenaran dari persoalan yang kami hadapi. Jelasnya, Prastawa tidak bersalah,“ berkata Sekar Mirah. Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata selanjurnya, “Tentang apakah kau dapat ikut atau tidak, sebaiknya kita bicarakan nanti dengan Kakangmu Agung Sedayu dan Kakang Swandaru.” “Tetapi bagaimana dengan pendapat Mbokayu sendiri? Dan bagaimana dengan Ki Jayaraga?” bertanya Rara Wulan. “Apa sebenarnya keberatannya jika aku ikut? Aku tidak akan mengganggu pembicaraan Ki Jayaraga. Tetapi jika mereka berdusta, aku dapat menjadi saksi.” “Berdusta tentang apa? Tentang peristiwa yang baru saja terjadi, atau tentang Prastawa?” bekerja Sekar Mirah. Rara Wulan memang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tentang semuanya. Tentang semuanya.” Sekar Mirah menarik nafas panjang. Rara Wulan nampaknya benar-benar tersinggung oleh perlakuan Wiradadi atasnya, sehingga kemarahannya masih saja melonjak-lonjak. Sambil mengangguk-angguk Sekar Mirah pun berkata, “Baiklah. Kita menunggu Kakang Agung Sedayu. Kakang sudah mengatakan bahwa ia akan pulang lebih awal, agar kita tidak terlalu malam sampai di Kleringan.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya masih nampak gelap. Sementara itu Sekar Mirah berkata, “Sekarang, beristirahatlah Rara. Kau tentu letih.” Rara Wulan mengangguk kecil. Iapun kemudian telah pergi ke biliknya. Namun Rara Wulan sama sekali tidak beristirahat, Ia justru memasuki sanggar seorang diri. Tetapi Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak mencegahnya. Mereka tahu bahwa Rara Wulan ingin melepaskan gejolak yang menghimpit jantung di dadanya. Sebenarnyalah Rara Wulan pun telah melakukan latihan-latihan berat seorang diri. Seakan-akan ia ingin tahu puncak kemampuannya selama ia berguru kepada Sekar Mirah. Bahkan kemudian, iapun telah berlatih dengan selendang yang masih belum dikembalikan kepada Sekar Mirah, karena ia tahu bahwa Sekar Mirah tidak hanya memiliki selembar. Seperti yang dikatakan, ternyata Agung Sedayu pulang lebih awal dari biasanya. Iapun segera minta agar Glagah Putih pergi menemui Swandaru untuk mengatakan bahwa Agung Sedayu telah berada di rumah. “Sebentar lagi kami akan datang. Kita akan segera berangkat ke Kleringan,“ pesan Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Karena itu, kami minta Swandaru berdua mempersiapkan diri.” Demikian Glagah Putih berangkat ke rumah Ki Gede untuk menemui Swandaru, maka Sekar Mirah pun telah memberitahukan persoalan yang dihadapi Rara Wulan dan Glagah Putih di perjalanan. “Orang itu memang keterlaluan, “desis Agung Sedayu. “Sore ini Rara Wulan memaksa untuk ikut,“ berkata Sekar Mirah pula, “nampaknya kemarahannya masih memanasi jantungnya.” “Dimana ia sekarang?” bertanya Agung Sedayu. “Ia berada di sanggar. Sudah cukup lama,” jawab Sekar Mirah. Kepada Ki Jayaraga Agung Sedayu pun minta pertimbangan, bagaimana sebaiknya dengan Rara Wulan. “Seandainya kita melarangnya, mungkin ia akan menyusul meskipun hanya sendiri,“ berkata Ki Jayaraga. “Apakah Glagah Putih tidak dapat mencegahnya?” bertanya Agung Sedayu pula. “Agaknya terlalu sulit untuk menahan agar anak itu tidak pergi,” jawab Ki Jayaraga. Agung Sedayu memang menjadi bingung. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Ki Jayaraga, “Apakah lebih baik anak itu kita bawa, daripada ia berbuat sesuatu di luar pengetahuan kita?” Ki Jayaraga mengangguk sambil menjawab, “Aku kira memang demikian. Tetapi ia harus berjanji bahwa ia akan menurut perintah kita. Gadis itu tidak boleh berbuat menurut kehendaknya sendiri.” Namun Sekar Mirah pun berkata, “Nampaknya pembicaraan akan menjadi keras.” “Aku juga menduga demikian. Bahkan seandainya Rara Wulan tidak terlibat dalam perkelahian sekalipun, persoalannya akan menjadi rumit. Mereka menghendaki kita memberikan jawaban hanya soal waktu. Kapan pernikahan dilaksanakan. Padahal Prastawa tidak akan menikahinya, karena ia memang tidak seharusnya bertanggung jawab.” “Memang nampaknya tidak ada pilihan lain. Kita tidak tahu, apakah mereka sudah mempersiapkan sekelompok orang untuk menyambut kedatangan kita dengan caranya,“ berkata Ki Jayaraga. “Kita memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Agung Sedayu pun kemudian minta agar Sekar Mirah memanggil Rara Wulan. Jika ia memang akan ikut, sebaiknya ia mandi dan berbenah diri. “Kita akan segera berangkat. Jika kita terlalu lama, maka Swandaru akan terlalu lama menunggu,“ berkata Agung Sedayu. Demikianlah, maka Sekar Mirah pun segera memanggil Rara Wulan yang berada di dalam sanggar. Ketika Sekar Mirah memberitahukan bahwa Agung Sedayu telah datang, maka Rara Wulan pun segera akan berlari. “Kau mau kemana, Rara?” bertanya Sekar Mirah. “Aku akan minta kepada Kakang Agung Sedayu agar diperkenankan untuk ikut pergi ke Kleringan,” jawab Rara Wulan. “Aku sudah mengatakannya,” jawab Sekar Mirah. “Lalu?” wajah Rara Wulan menadi tegang. Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kakangmu tidak berkeberatan.” “Jadi aku boleh ikut?” bertanya Rara Wulan. “Ya. Kau boleh ikut,” jawab Sekar Mirah. Rara Wulan pun segera meloncat memeluk Sekar Mirah dan menciumnya sambil berkata, “Terima kasih. Aku akan berkemas.” “Tetapi ada syaratnya, Rara,“ berkata Sekar Mirah kemudian. “Syaratnya apa?” bertanya Rara Wulan dengan dahi berkerut. “Rara harus menurut segala perintah Ki Jayaraga,” jawab sekar Mirah, “karena Ki Jayaraga adalah orang yang diserahi memimpin kita semuanya sebagai utusan Ki Argajaya.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Ya. Aku berjanji.” Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah berpakaian rapi pula. Karena Rara Wulan akan ikut, maka Glagah Putih pun akan ikut pula. Kepada anak yang tinggal di rumahnya, Agung Sedayu berpesan agar ia melayani Wacana sebaik-baiknya. “Bantulah jika diperlukan, keadaannya sudah berangsur baik,” berkata Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu minta diri, Wacana yang sudah dapat duduk dan bahkan berjalan selangkah-selangkah itu bertanya, “Apakah kalian akan pergi ke sebuah peralatan?” “Tidak,” jawab Agung Sedayu. “Kami sedang diutus oleh Ki Argajaya untuk membicarakan anaknya, Prastawa.” “Melamar?” bertanya Wacana pula. “Juga tidak,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum. “Jadi?” desak Wacana yang keheranan. “Justru membatalkan satu pembicaraan tentang pernikahan Prastawa. Tetapi sejak pertama, pembicaraan tentang pernikahan itu sudah tidak wajar,” jawab Agung Sedayu. Wacana hanya mengangguk-angguk saja. Persoalan yang dibawa oleh Agung Sedayu itu tentu berbelit, sehingga untuk menjelaskannya diperlukan waktu. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian seisi rumah itu pun telah berangkat. Mereka lebih dahulu singgah di rumah Ki Gede. Kemudian bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi, mereka berangkat ke Kademangan Kleringan. Namun sebelum mereka berangkat, maka Agung Sedayu telah memberikan sedikit cerita tentang peristiwa yang terjadi atas Rara Wulan, sehingga mereka pun harus bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Tetapi Swandaru tersenyum sambil berkata, “Pandan Wangi telah bersiap menghadapinya. Karena persoalannya telah jelas. Kita tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Sementara itu, bagi mereka sikap ini berarti kekerasan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi betapapun beban itu memberati keberangkatan kita, tetapi kita harus berusaha. Sejauh dapat kita lakukan.” Swandaru justru tertawa. Katanya, “Satu harapan yang sia-sia. Sebaiknya kita tidak mempertimbangkan kemungkinan itu. Meskipun demikian, tidak ada di antara kita yang menunjukkan sikap seperti itu. Kita semuanya tidak ada yang semata-mata membawa senjata.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Senjata Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak nampak karena berada di bawah baju mereka. Sementara itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan membawa selendang, Sedangkan Pandan Wangi membawa sepasang pisau belati di lambung, di bawah bajunya yang longgar. Pisau belati memang hanya pendek saja, sehingga sama sekali tidak nampak justru karena Pandan Wangi memakai baju yang longgar. Adapun Glagah Putih telah mengenakan ikat pinggang kulitnya, yang juga merupakan senjatanya yang diandalkannya. Hanya Ki Jayaraga saja-lah yang memang tidak membawa senjata. Tetapi ia memiliki kemampuan untuk mempergunakan ikat kepalanya, baik sebagai perisai maupun sebagai senjata, jika diperlukan. Meskipun Ki Jayaraga tidak memiliki ikat kepala khusus sebagaimana Ki Waskita. Ki Gede yang sudah mendapat penjelasan tentang keadaan yang akan dihadapi oleh sekelompok orang yang pergi ke Kademangan Kleringan itu, memang menjadi berdebar-debar. Namun Ki Gede memang tidak menawarkan kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, karena persoalannya menurut Ki Gede memang persoalan pribadi. “Berhati-hatilah,” pesan Ki Gede, “namun bagaimanapun juga kalian harus berusaha untuk dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa harus mempergunakan kekerasan. Mungkin Angger Swandaru benar, bahwa harapan itu akan sia-sia. Tetapi segala sesuatunya yang belum terjadi itu tidak lebih dari satu kemungkinan, yang masih dipengaruhi oleh keadaan terakhir dari persoalan itu sendiri. Tetapi juga mungkin sekali pengaruh lain.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena yang mengatakannya adalah mertuanya, maka ia tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah, beberapa saat kemudian, sekelompok kecil utusan Ki Argajaya itu telah berangkat. Prastawa sendiri tidak ikut bersama utusan itu. Namun ketika ia berdiri di regol saat utusan itu berangkat, Prastawa sempat bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah aku harus mempersiapkan sekelompok pengawal terpilih dan memasuki Kademangan Kleringan?” “Jangan,“ berkata Agung Sedayu, “jika hal itu kau lakukan, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Ki Demang Kleringan akan dapat tersinggung.” “Jika Ki Demang Kleringan tersinggung, ia mau apa? Jika ia melibatkan diri dalam persoalan ini, maka aku akan menggilas Kleringan dengan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.” “Tidak. Itu tidak perlu. Serahkan segala-galanya kepada kami. Kami akan berusaha membuat penyelesaian terbaik.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa cemas atas keselamatan orang-orang yang telah dipilih menjadi utusan ayahnya untuk pergi ke Kleringan itu. Namun Prastawa berusaha untuk meyakini bahwa yang pergi ke Kademangan Kleringan itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sementara itu menurut perhitungannya, Ki Demang Kleringan tentu tidak akan melibatkan dirinya. Bahkan mungkin Ki Demang tidak tahu menahu persoalan yang menyangkut dirinya itu. Keberangkatan beberapa orang ke Kademangan Kleringan itu memang menarik perhatian. Orang-orang yang berpapasan selalu bertanya, mereka akan pergi kemana. “Kami akan pergi ke Kleringan,” jawab Agung Sedayu, “ada persoalan sedikit menyangkut hubungan Kleringan dan Tanah Perdikan, setelah orang-orang di perkemahan itu terusir.” “Apakah orang-orang Kleringan akan membuat persoalan?” bertanya seorang anak muda. “Tidak. Bukan itu. Tetapi bagaimana kita akan bersama-sama menangani perkemahan yang ditinggalkan oleh para penghuninya, karena sebagian dari perkemahan itu berada di Tanah Perdikan, tetapi ada pula yang berada di Kademangan Kleringan.” “Kenapa Ki Gede tidak memanggil saja Ki Demang Kleringan, sehingga beberapa orang Tanah Perdikan harus pergi kesana?” bertanya anak muda yang lain. “Karena selain pembicaraan yang sungguh-sungguh, kami akan melihat keadaannya,” jawab Agung Sedayu pula. Jawaban itu agaknya dapat memberi kepuasan sedikit kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan itu. Sementara itu. Ki Suratapa benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendakinya. Kawannya sudah mempersiapkan sepuluh orang berilmu tinggi untuk melakukan tindak kekerasan, jika pembicaraan yang akan dilakukan itu gagal. Dengan kesadaran bahwa di Tanah Perdikan ada orang-orang yang berilmu tinggi, maka sepuluh orang yang dipilih adalah orang-orang yang menurut perhitungan mereka adalah orang-orang yang tidak terkalahkan. Mereka bukan sekelompok orang dari satu perguruan. Tetapi kawan Ki Suratapa itu telah membawa orang-orang terbaik dari tiga perguruan yang lain. “Seandainya yang datang sebagai utusan Ki Argajaya itu berjumlah dua puluh orang sekalipun, maka kami tentu akan dapat mengatasinya,“ berkata kawan Ki Suratapa itu. “Aku dan Suradipa tentu tidak hanya akan tinggal diam,“ berkata Ki Suratapa. “Hanya Suracala saja-lah yang tidak dapat kami harapkan. Wiradadi dan kedua orang kawannya, yang tadi siang sudah harus menghalau sekelompok orang dari Tanah Perdikan, tentu masih mendendam.” “Kalian tidak perlu turut campur,“ berkata kawan Ki Suradipa itu, namun katanya selanjutnya, “kecuali jika kalian sendiri menginginkan untuk membalas dendam dengan tangan kalian sendiri.” “Ya,” jawab Suratapa, “Wiradadi tentu ingin menangkap orang yang siang tadi telah memperlakukannya dengan kasar. Atau salah seorang dari mereka, jika nanti ikut datang kemari.” Kawan Ki Suratapa itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kami akan berada di luar padukuhan. Jika kami harus bertindak, maka kami akan lebih bebas melakukannya. Karena itu, maka apapun yang harus kami lakukan, kau harus mengirimkan orangmu menemui kami di bulak di luar padukuhan.” “Sekali lagi aku ingatkan meskipun kalian sudah mengerti, bahwa di Tanah Perdikan banyak terdapat orang berilmu tinggi.” “Ya. Tetapi kami sudah siap. Meskipun demikian, kami tetap ragu-ragu bahwa Ki Gede akan membantu adiknya yang telah mengkhianatinya. Meskipun demikian, aku pun ingin mengingatkanmu, bahwa kami tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan langsung melibatkan pasukan pengawalnya.” “Menurut perhitunganku, hal itu tidak mungkin dilakukan,” jawab Ki Suratapa. “Baiklah. Apapun yang akan terjadi kemudian adalah tanggung jawabmu Suratapa. Tetapi jangan cemaskan tentang orang-orang yang bakal datang sore ini.” Dengan demikian, maka sepuluh orang yang sudah dipersiapkan itu telah mengambil tempat di luar padukuhan. Mereka berada di pategalan. Namun dua orang di antara mereka duduk di pinggir jalan, untuk melihat siapa saja yang bakal datang ke rumah Ki Suracala. Ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi barat, maka seorang yang ditugaskan oleh Ki Suratapa untuk melihat-lihat keadaan, dengan bergegas lewat jalan bulak yang menuju ke padukuhan itu. Ketika kedua orang yang menunggu itu melihatnya, maka orang itu pun dihentikannya. “Apakah mereka sudah datang?” bertanya salah seorang dari mereka. “Ya, aku sudah melihat mereka,” jawab orang itu. “Berapa orang?” “Belum jelas. Tetapi kurang dari sepuluh. Separuh dari mereka adalah perempuan,” jawab orang itu. “Perempuan?” “Ya. Mereka nampaknya utusan resmi Ki Argajaya. Menilik pakaiannya, mereka seperti orang yang sedang pergi melamar. Resmi sekali.” “Licik. Ki Argajaya bersembunyi di belakang punggung perempuan. Tadi pagi ia mengutus anak-anak. Bahkan seorang di antaranya juga perempuan. Agaknya ia tidak mempunyai cara yang lebih jantan untuk membuat penyelesaian masalahnya.” “Sudahlah,“ berkata orang itu, “aku akan menyampaikan kabar ini kepada Ki Suratapa.” Kedua orang itu tidak mencegahnya, sehingga orang itu pun segera berlari-lari kecil menuju ke padukuhan. Kedua orang itu pun segera memberitahukan kedatangan orang-orang Tanah Perdikan itu kepada kawan-kawannya. Mereka memang menjadi sangat kecewa, bahkan ada yang mengumpat-umpat ketika mereka tahu bahwa yang datang separuh di antaranya adalah perempuan, sehingga dengan demikian, maka kemungkinan terjadinya kekerasan menjadi kecil. “Aku sudah kehilangan banyak waktu. Tetapi jika tidak terjadi apa-apa di sini, maka waktu yang hilang itu benar-benar tidak berarti lagi.” “Kita masih menunggu. Jika perlu, maka perempuan-perempuan itu justru akan dapat menjadi bahan taruhan jika Ki Argajaya menjadi keras kepala.” Orang-orang itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang yang berkumis lebat berkata dengan suaranya yang mengguntur, “Sudah aku katakan, bahwa aku akan berbuat apa saja menurut kehendakku. Jika mereka membawa perempuan kepadaku, itu salah mereka.” “Apapun yang dapat kita lakukan, tetapi kita masih tetap terikat pada tugas yang sudah kita bicarakan dengan Suratapa. Karena itu, maka kita harus menunggu, apa saja yang dapat kita lakukan atas orang-orang yang datang ke padukuhan itu.” “Jika aku berbuat atas tanggung jawabku sendiri, maka tidak seorang pun yang mampu mencegah aku,” jawab orang berkumis lebat itu. “Kau dapat melakukannya setelah tugas pokok kita selesai. Ingat, yang menentukan adalah Suratapa.” Orang itu tidak menjawab. Sementara orang yang berkepala botak berkata, “Kita lihat, siapa saja yang lewat.” “Jika kita semuanya turun ke jalan, maka mereka tentu akan membuat perhitungan tentang kehadiran kita.” “Tetapi mereka sudah ada di sini. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Jika mereka akan kembali, kita justru akan menggiring mereka agar mereka berjalan terus.” Ternyata yang lain pun sependapat. Karena itu, maka sepuluh orang itu pun telah pergi ke pinggir jalan. Namun mereka masih juga berusaha untuk tidak semata-mata berkumpul sepuluh orang. Tetapi mereka berusaha untuk menebar. Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, lewat sebuah iring-iringan kecil. Mereka adalah Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Swandaru, Glagah Putih, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan. Ketika mereka melewati beberapa orang yang duduk di pinggir jalan meskipun menebar, panggraita mereka sudah tersentuh. Nampaknya orang-orang yang duduk di pinggir jalan itu bukan para petani yang memiliki kotak-kotak sawah di sebelah-menyebelah jalan itu. Tetapi sepanjang orang-orang itu tidak berbuat sesuatu, maka Ki Jayaraga dan para pengiringnya sama sekali tidak menghiraukan mereka. Dengan tenangnya orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu melintasi mereka, orang-orang yang menebar di pinggir jalan sambil memperhatikan sekelompok orang yang lewat itu dengan mata yang hampir tidak berkedip. Di antara utusan Ki Argajaya itu terdapat tiga orang perempuan. Seorang di antaranya masih terlalu muda. Sedangkan yang dua orang, adalah perempuan yang mulai menjadi masak. Yang sangat menarik perhatian, ketiganya adalah perempuan-perempuan yang cantik. Justru mereka menggunakan pakaian yang terpilih. Sehingga dengan demikian maka utusan Ki Argajaya itu nampaknya benar-benar utusan yang resmi. Demikian iring-iringan itu lewat, maka sepuluh orang yang menebar itu telah berkumpul kembali. Orang yang berkumis lebat itu berkata, “Aku dapat dibuat gila karenanya.” “Ki Argajaya memang cerdik sekali. Ia mengirim utusan resmi yang separuh di antaranya adalah perempuan. Dengan demikian, sulit bagi Ki Suratapa untuk bertindak dengan kekerasan jika ia masih mempunyai harga diri,“ berkata kawan Ki Suratapa. “Kenapa?” bertanya orang yang berkumis lebat, “Bukankah itu salah Argajaya sendiri? Bagiku, kita tidak akan peduli siapapun yang datang. Jika mereka tidak memenuhi keinginan Ki Suracala, maka mereka akan dibereskan di sini.” “Tentu tidak semudah itu. Meskipun Ki Suratapa sudah berjanji bahwa akibat yang timbul dari rencananya ini bukan tanggung jawab kita, tetapi apakah kita akan melakukan kekerasan terhadap sekelompok utusan resmi, yang separuhnya terdiri dari perempuan?” “Aku berpikir sebaliknya,“ berkata seorang yang bertubuh agak pendek tetapi sedikit gemuk, “perempuan itu akan dapat menjadi taruhan. Jika Argajaya tidak memenuhi tuntutan Suratapa, maka perempuan-perempuan itu tidak akan pulang ke rumah mereka.” “Jika demikian, maka harga diri Tanah Perdikan Menoreh-lah yang tersinggung. Keluarga Suratapa akan dapat digilas sampai lumat. Bahkan keluarganya yang berada di Pringsurat sekalipun.” “Bukankah jika terjadi demikian bukan tanggung jawab kita?” bertanya orang yang berkumis lebat. “Itu menyalahi pembicaraan kita dengan Ki Suratapa. Kecuali jika Ki Suratapa menghendaki demikian.” Orang berkumis lebat itu tidak menjawab. Tetapi agaknya ia tidak menghiraukan pembicaraan itu. Tiga orang perempuan yang ada di dalam iring-iringan itu adalah perempuan-perempuan yang sangat cantik. Bahkan seandainya ia diberi hak untuk memilih, maka ia akan mengalami kesulitan. Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu sudah mendekati padukuhan. Ketika mereka kemudian memasuki regol, maka dari belakang dinding halaman di sudut padukuhan, Wiradadi dan kedua orang pengikutnya ternyata telah mengintip mereka dari balik rumpun bambu. Jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda dan gadis yang pagi tadi datang ke padukuhan itu, telah ikut pula bersama sekelompok utusan Ki Argajaya. “Setan anak itu,” geram Wiradadi. “Bukankah satu kebetulan,“ berkata orang yang berwajah garang itu, “kita akan dapat membalas dendam.” “Apakah kau masih berani bertempur melawan mereka?” bertanya Wiradadi. “Ada sepuluh orang di bulak. Kita bergabung dengan mereka.” jawab orang yang berwajah garang itu. Wiradadi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Perempuan yang telah mempermalukan aku itu harus menyesali perbuatannya. Ia tidak akan terlepas dari tanganku.” Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu telah mendekati rumah Ki Suracala. Glagah Putih yang sudah mengetahui letak rumah itu, berjalan di depan. Dalam pada itu. Ki Suracala sudah mendapat pemberitahuan bahwa utusan dari Tanah Perdikan sudah datang. Karena itu, maka iapun telah bersiap-siap untuk menyambut kedatangan mereka. Untuk menghormati tamunya, maka Ki Suracala telah mengenakan pakaian yang pantas. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin dianggap seorang yang tidak mengenal unggah-ungguh. “Buat apa kau memakai pakaian lengkap seperti itu?” bertanya Ki Suratapa. “Bukankah utusan Ki Argajaya juga mengenakan pakaian yang baik dan pantas? Bahkan kedua orang anak yang datang pagi tadi pun berpakaian rapi sesuai dengan tugas mereka.” “Aku tidak peduli,“ berkata Ki Suradipa. “Itu terserah kepadamu,” jawab Ki Suracala, “tetapi aku peduli atas kedatangan mereka.” “Tetapi ingat Suracala,” geram Suratapa, “kau harus tahu diri. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu sekarang ini. Apalagi jika mertua Wiradadi mengetahui apa yang terjadi. Mungkin seluruh keluargamu sudah dibunuhnya, karena ia tentu tidak mau nama keluarga anaknya tercemar karena tingkah laku gadis liarmu itu.” “Tidak, itu fitnah,” geram Ki Suracala. “Sekali lagi aku peringatkan. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu. Hidup mati Kanthi berada di ujung lidahmu,“ berkata Ki Suratapa. Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa keselamatan Kanthi, dan bahkan seluruh keluarganya, tergantung pada sikapnya. Ki Suracala memang mempercayainya. Bahkan mertua Wiradadi yang garang akan dapat berbuat apa saja atas Kanthi, yang dianggapnya dengan sengaja mengganggu ketenangan keluarga anaknya itu. Saudara sepupunya yang bengis itu, untuk melindungi keselamatan anak lelakinya, akan dapat saja melemparkan fitnah, seakan-akan Kanthi sengaja menggodanya sehingga perbuatan yang tercela itu telah terjadi. Namun demikian, sebenarnya hati Ki Suracala tidak membenarkan langkah yang diambil oleh sepupunya itu dengan mengorbankan Prastawa, anak Ki Argajaya, justru karena Ki Argajaya sejak lama tersisih dari keluarga Tanah Perdikan Menoreh karena pengkhianatannya yang menelan banyak korban itu. Namun bagaimanapun juga, Ki Suracala harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Ki Suratapa sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk memaksakan kehendaknya. Dalam pada itu, sejenak kemudian, utusan Ki Argajaya dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah sampai ke depan regol halaman rumahnya. Seseorang yang diperintahkan oleh Ki Suracala menunggu, segera mempersilahkan mereka masuk. Ki Suracala sudah mempersiapkan diri untuk menerima mereka. Ki Suradipa juga sudah berada di pendapa pula. Dengan ramah dan dengan unggah-ungguh yang utuh, Ki Suracala menerima utusan Ki Argajaya. Mereka pun kemudian dipersilakan untuk naik dan duduk di pendapa. Sementara itu, Ki Suratapa dan Ki Suradipa juga ikut menerima tamu-tamu itu. Ki Suracala pun kemudian telah mempertanyakan keselamatan tamunya di perjalanan, serta keluarga yang mereka tinggalkan. Baru kemudian Ki Suracala telah memperkenalkan kedua orang saudara sepupunya itu. Ki Jayaraga yang ditugaskan untuk memimpin utusan itu pun telah memperkenalkan diri pula. Disebutnya dirinya sendiri sebagai saudara sepupu Ki Argajaya. Kemudian diperkenalkannya orang-orang yang menyertainya seorang demi seorang. Ketika Ki Jayaraga menyebut nama Pandan Wangi, istri Swandaru, sebagai putri Ki Gede Menoreh, maka Ki Suratapa, Ki Suradipa dan bahkan Ki Suracala sendiri menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga anak Ki Gede Menoreh itu tentu datang atas sepengetahuan Ki Gede. Jika terjadi sesuatu atas anak perempuannya, sudah tentu Ki Gede tidak akan tinggal diam. Ki Suratapa sudah mulai merasa bahwa perhitungannya tidak seluruhnya benar. Ia mengira bahwa Ki Gede dan keluarganya tidak akan mempedulikan nasib Ki Argajaya, dan bahkan nasib Prastawa. Namun ternyata bahwa anak perempuan Ki Gede itu sendiri telah datang ke rumah Ki Suracala. Kedatangan Pandan Wangi agaknya benar-benar berpengaruh. Bagaimanapun juga mereka harus memperhitungkan sikap Ki Gede di belakang utusan yang datang itu. Tetapi Ki Suratapa masih mempunyai satu jalan. Mengungkit harga diri keluarga Ki Argajaya, sehingga tidak berlindung di bawah kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Karena persoalannya sangat terbatas pada persoalan pribadi dan harga diri sebuah keluarga. Beberapa saat Ki Suracala masih belum menyinggung persoalan yang sebenarnya. Ia masih saja berbicara tentang berbagai hal di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Bahkan mereka juga berbicara tentang orang-orang yang ada di perkemahan, yang terusir oleh kekuatan dari Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa saat kemudian, maka minuman dan makanan pun telah dihidangkan, sehingga pembicaraan pun terputus untuk beberapa saat. Baru kemudian, setelah minum beberapa teguk, maka Ki Suracala pun telah bertanya, “Ki Sanak. Sebagaimana Ki Sanak katakan tadi, bahwa kedatangan Ki Sanak adalah mengemban tugas dari Ki Argajaya. Nah, barangkali Ki Sanak dapat menguraikan pesan dari Ki Argajaya itu?” Ki Jayaraga yang rambutnya sudah ubanan itu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Ki Suracala. Kami sudah menerima pesan-pesan Ki Suracala. Jika hari ini kami datang sebagai utusan Ki Argajaya, maka persoalan yang pernah Ki Suracala sampaikan kepada Ki Argajaya itulah yang ingin kami bicarakan sekarang ini.” Sebelum Ki Suracala menjawab, maka Ki Suratapa sudah menyahut, “Lalu, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan itu? Tetapi tidak terlalu lama lagi, karena keadaan Kanthi sudah tidak memungkinkan lagi untuk bersembunyi lebih lama.” “Maaf, Ki Suratapa,” jawab Ki Jayaraga, “bukan maksud kami menunda-nunda persoalan. Tetapi sebagaimana waktu yang ditetapkan oleh Ki Suracala sendiri. Bahkan masih tersisa satu hari lagi.” “Ya. Memang masih ada waktu,“ sahut Ki Suracala. Tetapi Ki Suradipa segera memotong, “Tugas Ki Sanak tinggal menyampaikan keputusan Ki Argajaya, kapan ia akan melangsungkan pernikahan Kanthi dengan Prastawa. Bukankah tinggal menyebut hari, pasaran dan tanggal. Kenapa ragu-ragu?” Ternyata orang berwajah garang itu memang licik. Sementara Ki Jayaraga belum menjawab, Ki Suradipa sudah mendahului, “Tentu saja semakin cepat akan menjadi semakin baik.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengangguk pula sambil menjawab, “Ya. Semakin cepat persoalan ini selesai, tentu semakin baik.” Ki Suradipa mengangguk-angguk sambil berkata, “Bagus. Jika demikian, sebut saja, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan anaknya. Nanti setelah persoalan pokok yang kita bicarakan selesai, kita dapat berbicara tentang apa saja. Mungkin tentang pelaksanaannya atau tentang hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan pernikahan itu. Biaya, misalnya.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya yang ditujukan kepada Ki Suracala, “Maaf. Ki Suracala. Sebelumnya, baiklah aku menyampaikan pesan Ki Argajaya lebih dahulu. Bukan tentang hari-hari pernikahan, tetapi tentang kebenaran persoalan itu sendiri.” “Cukup,” potong Ki Suratapa, “sudah aku katakan bahwa kami hanya mau mendengar pesan Ki Argajaya tentang saat pernikahan. Yang lain tidak.” “Tentu kita akan sampai kepada persoalan pernikahannya itu sendiri. Tetapi bukankah pernikahan itu bukan satu persoalan yang berdiri sendiri?” berkata Ki Jayaraga. Lalu katanya pula, “Karena itu. maka jika kita berbicara tentang pernikahan itu, maka kita tentu akan berbicara tentang hal-hal yang bersangkutan dengan pernikahan itu sendiri. Misalnya, siapa orangnya, bagaimana sikap keluarganya, dan kenapa pernikahan itu harus berlangsung. Tanpa kejelasan tentang hal itu, maka pernikahan itu akan menjadi kabur. Siapa yang akan menikah, apakah orang tuanya sependapat, atau apakah kedua orang yang akan menikah itu sudah setuju atau bahkan menolak.” “Jangan berputar-putar Ki Jayaraga,“ berkata Ki Suradipa, “kami tidak mempunyai minat untuk berbicara tentang hal-hal yang lain kecuali pernikahan itu sendiri.” “Tetapi bukankah harus dijelaskan, siapa yang akan menikah dengan siapa. Tentu bukan aku.” “Itu sudah jelas. Jangan mengada-ada. Yang menikah adalah Prastawa dengan Kanthi. Mereka harus menikah karena hubungan mereka telah melampaui batas sehingga Kanthi mengandung. Sementara itu hubungan antara keduanya semula sudah direstui oleh orang tuanya. Nah, apa lagi?“ berkata Ki Suratapa. “Itulah yang ingin kami cocokkan,” jawab Ki Jayaraga, “bukan karena kami tidak mempercayainya, tetapi mungkin ada kekeliruan atau salah paham. Menurut pengakuan Prastawa, ia sama sekali tidak pemah berhubungan dengan Kanthi dalam pengertian yang menyebabkannya mengandung. Prastawa mengaku bahwa ia kenal baik dan akrab dengan Kanthi. Tetapi tidak lebih dari persahabatan biasa. Apalagi sampai melakukan pelanggaran seperti yang dimaksudkan.” “Siapa yang mengatakan itu?” bertanya Ki Suradipa. “Prastawa sendiri,” jawab Ki Jayaraga. “Kami sudah menduga bahwa Prastawa yang licik itu tidak akan berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Itulah sebabnya kami harus mempergunakan cara yang khusus untuk memaksa Prastawa berani bertanggung jawab,” geram Suradipa. “Soalnya bukan tidak berani bertanggung jawab, tetapi Prastawa tidak melakukannya,“ berkata Ki Jayaraga, “hal itu berkali-kali dikatakannya. Baik di hadapan ayahnya, Ki Argajaya, maupun di hadapan Ki Gede Menoreh.” “Ia berbohong. Apakah kalian akan melindungi seorang pengecut yang berbohong?” bertanya Ki Suratapa. “Ki Suracala,“ berkata Ki Jayaraga kepada Ki Suracala, “Ki Suracala adalah ayah gadis yang mengandung itu. Kami mengusulkan, agar Prastawa dan Kanthi dipertemukan di hadapan orang-orang tua yang berpengaruh dari kedua belah pihak. Biarlah keduanya berbicara dengan jujur. Apakah Prastawa memang bersalah.” “Tidak,“ Ki Suratapa hampir berteriak, “tidak ada gunanya. Prastawa tentu tetap berbohong. Kebohongan yang mantap tentu akan memberikan kesan bersungguh-sungguh. Dan itu akan dapat dilakukan oleh Prastawa.” “Tetapi kita harus berusaha untuk sampai pada satu kebenaran. Jika keduanya berbicara sendiri-sendiri, maka tidak akan pemah dapat dicari kenyataan yang sebenarnya terjadi,” berkata Ki Jayaraga. “Tidak. Aku sudah mengatakan tidak. Aku hanya ingin ketetapan waktu pernikahan, itu saja,” garam Ki Suratapa. “Tetapi bukankah ayah Kanthi adalah Ki Suracala?” bertanya Ki Jayaraga. Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi merah. Sementara itu Ki Suracala menjadi sangat gelisah. Namun Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku tidak mau banyak berbicara lagi. Waktu yang kami berikan masih tersisa satu hari. Namun karena kalian sudah ada di sini sebagai utusan Ki Argajaya, maka kita akan menetapkan saja hari pernikahan itu, dengan janji untuk ditepati oleh kedua belah pihak.” “Tetapi kami tidak mendapat wewenang untuk itu,“ jawab Ki Jayaraga. “Kalian menyampaikan keputusan ini kepada Ki Argajaya. Biarlah Ki Argajaya mematuhinya.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berpaling kepada Pandan Wangi sambil berkata, “Apakah menurut pendapat Angger Pandan Wangi, kita dapat bertindak sebagaimana dikatakan oleh Ki Suratapa?” Pandan Wangi menggeleng lemah. Sementara itu, Swandaru duduk dengan sangat gelisah, ia sudah mulai tidak telaten dengan pembicaraan yang berkepanjangan itu. “Tidak, Ki Jayaraga,“ berkata Pandan Wangi kemudian, “wewenang yang ada pada kami adalah menyampaikan kebenaran itu.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya pula, “Nah, kau dengar? Angger Pandan Wangi adalah anak perempuan Ki Gede. Bahwa Angger Pandan Wangi disertakan dalam kelompok utusan ini, karena Ki Gede ingin tahu dengan pasti apakah Prastawa bersalah atau tidak. Jika Prastawa memang bersalah, maka Ki Gede sendiri akan mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka Prastawa akan mendapat perlindungan.” “Persoalan ini adalah persoalan Ki Suracala dengan Ki Argajaya. Tentu saja Ki Gede dapat mengerahkan pasukannya untuk memaksakan kehendaknya. Tetapi itu adalah sikap yang sangat licik. Ia telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk melindungi kesalahan kemenakannya.” “Tidak. Ki Gede belum memutuskan untuk melindungi Prastawa. Ki Gede sedang berusaha untuk melihat kebenaran dari persoalan ini. Karena itu, maka aku berpendapat sebaiknya Prastawa dan Kanthi dipanggil bersama-sama untuk berbicara langsung, dengan jujur menyatakan kebenaran itu.” “Tidak. Itu tidak perlu,” jawab Ki Suratapa, “dalam keadaan yang demikian, Kanthi akan dapat menjadi ketakutan, dan tidak akan berani mengatakan kebenaran itu.” “Bukankah ia akan disertai oleh ayahnya, dan barangkali kalian berdua?” jawab Ki Jayaraga. “Tidak. Kami tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi,“ berkata Ki Suratapa. “Selebihnya, aku ingin menegaskan bahwa persoalannya adalah persoalan antara keluarga Ki Suracala dengan keluarga Ki Argajaya. Kecuali jika seperti Prastawa, Ki Argajaya tidak berani mempertanggung-jawabkan tingkah laku anaknya, sehingga Ki Gede terpaksa ikut campur dan menyalah-gunakan kekuasaannya.” “Tidak. Ki Gede tidak akan menyalah-gunakan kekuasaannya,” potong Swandaru yang tidak sabar. “Jika kebenaran itu sudah kami yakini, maka kami akan menyelesaikan persoalan ini tanpa dukungan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Maksudku, pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.” Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi tegang. Sejak mereka mengetahui bahwa Ki Gede mengirimkan langsung anak perempuannya, maka mereka sudah menjadi gelisah. Karena jika terjadi sesuatu dengan anak perempuannya, maka Ki Gede tentu tidak akan diam saja. “Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh memang licik,“ berkata Ki Suratapa di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku tidak mengira bahwa Ki Argajaya akan melibatkan Ki Gede sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa Ki Argajaya telah mengikut sertakan anak perempuan Ki Gede, maka maksudnya tentu sudah jelas. Tetapi dengan demikian, maka kebenaran itu tidak akan pernah ditegakkan.” Adalah di luar dugaan ketika tiba-tiba saja Rara Wulan memotong, “Apakah yang kau maksud dengan kebenaran dalam persoalan ini? Kenyataan dari kejadian yang telah terjadi, atau kenyataan yang terjadi di dalam angan-anganmu?” Agung Sedayu terpaksa menggamitnya sambil berdesis, “Biarlah Ki Jayaraga menegaskannya, Rara.” Tetapi Swandaru justru menyahut, “Aku pun akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Apa yang dimaksud dengan kebenaran yang harus ditegakkan itu?” Wajah Ki Suratapa menjadi tegang. Namun Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Kami menunggu keputusan Ki Suracala. Seperti tadi aku katakan, sebaiknya kita memanggil Prastawa dan Kanthi bersama-sama. Kita minta keduanya berbicara dengan jujur, agar persoalan yang sebenarnya dapat kita lihat.” “Jawabannya tidak berbeda dengan jawabanku,” Ki Suratapa hampir berteriak. Namun Ki Jayaraga berkata, “Jika di sini tidak ada Ki Suracala, maka aku akan mendengarkan keterangan orang yang mewakilinya. Tetapi di sini ada Ki Suracala, yang justru lebih banyak berdiam diri.” Sebenarnyalah bahwa perasaan Ki Suracala bagaikan diremas oleh persoalan yang dihadapinya. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan wajahnya menjadi pucat sekali. “Kalian tidak perlu memaksanya berbicara,” geram Ki Suradipa, “ia sudah menyerahkan segala sesuatunya kepada kami.” Tetapi Ki Jayaraga seolah-olah tidak mendengarnya. Dengan suaranya yang masih saja sareh dan tenang ia bertanya, “Katakanlah, apa yang terbaik menurut Ki Suracala.” Suasana benar-benar telah mencengkam. Jantung Ki Suracala rasa-rasanya akan meledak. Ia tahu bahwa Prastawa tidak bersalah. Bahkan ia telah difitnah. Tetapi ia berada di bawah ancaman kedua sepupunya. Bahkan bayangan kegarangan mertua Wiradadi telah menghantuinya pula. Dalam keadaan yang kalut dimana kebenaran tidak dapat diutarakannya, maka tiba-tiba saja Ki Suracala itu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya telah menutupi wajahnya. Laki-laki itu tiba-tiba saja menangis. Ki Suratapa dan Ki Suradipa yang melihat Ki Suracala menangis, hampir bersamaan membentak, “He! Kau kenapa?” Ki Suracala tidak dapat menjawab. Bahkan laki-laki itu terguncang karena menahan tangisnya. “Setan kau. Kenapa kau menjadi cengeng?“ Ki Suratapa hampir berteriak, “Kau seorang laki-laki, Suracala. Betapapun berat beban perasaanmu, kau tidak akan menangis.” Ki Suracala tidak menjawab. Ia masih berjuang untuk mengatasi gejolak perasaannya. Namun dalam pada itu, Ki Suratapa tidak melihat lagi kemungkinan untuk memaksakan kehendaknya. Ternyata Ki Argajaya mempunyai cara tersendiri untuk memancing agar Ki Gede terlibat ke dalamnya, dengan menempatkan anak perempuannya menjadi salah satu dari utusannya ke rumah Ki Suracala. Dengan demikian, maka Ki Suratapa dan Ki Suradipa pun menjadi mata gelap. Mereka tidak lagi dapat berpikir jauh. Niatnya adalah menangkap tiga orang perempuan yang ada di dalam sekelompok utusan Ki Argajaya. Jika Prastawa tidak mau menikahi Kanthi, maka perempuan-perempuan itu tidak akan dilepaskan. Tetapi jika Ki Gede melibatkan diri dengan mengerahkan pasukan pengawal Tanah Perdikan, maka ketiga perempuan itu akan dibunuh saja. Ancaman itu harus didengar oleh Ki Argajaya dan Ki Gede. Karena itu, maka jika terjadi benturan kekerasan, tidak semua orang dalam sekelompok utusan itu akan dibunuh. “Satu dua di antara mereka akan tetap hidup, memberitahukan ancaman itu kepada Ki Argajaya dan Ki Gede.” Karena itu, maka Ki Suratapa yang sudah menjadi kehilangan akal itu pun berkata, “Ki Jayaraga. Jika kau tidak dapat mengatakan kapan pernikahan itu dilakukan, atau kau tidak mau membicarakannya sekarang, maka pembicaraan selanjutnya tidak ada gunanya. Aku minta kalian meninggalkan tempat ini.” Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Ia tidak mengira bahwa akhir dari pembicaraan itu hanya sampai di situ. Ia mengira bahwa akan terjadi benturan kekerasan karena kedua belah pihak sama sekali tidak mau mengalah. Namun ternyata saudara-saudara sepupu Ki Suracala itu hanya mengusirnya saja. Namun sebenarnyalah bahwa pengusiran itu bukan langkah terakhir bagi Ki Suratapa dan Ki Suracala. Mereka masih mempunyai sepuluh orang upahan yang menunggu di bulak. Jika utusan dari Tanah Perdikan itu lewat di bulak itu, maka mereka akan disergap. Tiga orang perempuan itu akan menjadi tanggungan. Setidak-tidaknya seorang di antara laki-laki dalam kelompok utusan itu harus hidup dan menyampaikan pesan Ki Suratapa kepada Ki Argajaya dan Ki Gede Menoreh. Karena persoalannya tidak lagi dapat dibicarakan, maka Ki Jayaraga pun menganggap bahwa tidak ada gunanya untuk berbicara lebih jauh. Ki Jayaraga menganggap bahwa dengan demikian, maka Prastawa telah bebas dari tuntutan mereka. Atau akan ada utusan lagi dari keluarga Ki Suracala yang akan menyampaikan syarat-syarat pembicaraan yang baru. Namun demikian, penggraita Ki Jayaraga, bahkan semua orang dalam kelompok utusan itu, tidak yakin bahwa Ki Suratapa benar-benar akan melepaskan mereka begitu saja. Apalagi mereka mengetahui bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah dicegat di tengah bulak pula, sehingga peristiwa buruk itu akan dapat terulang. Meskipun demikian, maka Ki Jayaraga itu pun berkata, “Baiklah Ki Suracala. Jika Ki Suracala sama sekali tidak dapat memberikan jawaban, sementara itu Ki Suratapa dan Ki Suradipa menganggap bahwa pembicaraan selanjutnya sudah tidak perlu, maka kami akan minta diri. Langit sudah mulai buram, sehingga malam akan segera turun.” Ki Suracala benar-benar tidak dapat menjawab. Ia tahu benar apa yang akan dilakukan oleh kedua sepupunya atas orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh jika pembicaraan mereka tidak menemukan titik temu. Namun ia tidak dapat meneriakkan hal itu, karena ia tahu bahwa persoalannya akan menyangkut keselamatan Kanthi dan keluarganya. Sementara itu, lampu minyak memang sudah dinyatalan di ruangan-ruangan, dan di pendapa, bahkan oncor pun telah dipasang di regol halaman. Namun dalam pada itu, selagi Ki Jayaraga minta diri, maka tiba-tiba tiga orang berkuda telah memasuki halaman rumah Ki Suracala tanpa turun dari punggung kudanya. Kuda-kuda yang tegar itu pun kemudian telah berhenti di depan pendapa rumah Ki Suracala. Baru kemudian ketiga orang itu meloncat turun dari kuda mereka. Setelah menambatkan kuda-kuda itu pada patok di sisi tangga pendapa, maka ketiga orang itu pun segera naik ke pendapa. Kedatangan ketiga orang itu benar-benar telah mengejutkan Ki Suracala, Ki Suratapa dan Ki Suradipa. Orang itu adalah mertua Wiradadi yang garang. Orang yang mereka takuti, karena mertua Wiradadi adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Ketika Ki Suracala, Ki Suratapa dan Ki Suradipa bangkit berdiri menyambut orang yang datang itu, maka Ki Jayaraga dan orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan itu pun telah bangkit pula untuk ikut menghormati mereka, meskipun mereka belum tahu siapakah yang telah datang itu. Betapapun segannya, Swandaru pun telah ikut berdiri pula. Kepada Glagah Putih ia berbisik, “Siapakah mereka itu?” Glagah Putih menggeleng. Desisnya, “Aku belum tahu.” Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. “Kami mengucapkan selamat datang,“ berkata Ki Suratapa. “Terima kasih, “jawab orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang dan bercambang lebat. “Aku sudah tahu semuanya apa yang terjadi di sini,” geram orang itu, “karena itu aku datang untuk mengambil Kanthi, perempuan liar yang telah merusakkan rumah tangga anakku.” Wajah-wajah mereka yang berdiri di pendapa itu menjadi tegang, termasuk utusan Ki Argajaya. Sementara itu orang itu pun berkata selanjutnya, “Aku pun ingin bertemu dan berbicara dengan Wiradadi. Aku ingin tahu apakah Wiradadi yang bersalah atau Kanthi yang bersalah. Setelah aku tahu dengan pasti, maka aku akan mengambil keputusan. Aku tidak mempunyai belas kasihan kepada siapapun yang telah menista kehidupan keluarga anakku.” Ketegangan telah mencengkam pendapat itu. Ki Suratapa yang berusaha membuat penyelesaian sendiri tanpa setahu ayah mertua Wiradadi, ternyata tidak berhasil. Ternyata orang itu sudah mengetahui apa yang terjadi. Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu pun berkata, “Kakang Wreksadana, di sini kami sedang berusaha untuk mencari kebenaran tentang seorang anak muda yang bernama Prastawa.” “Aku sudah tahu. Kalian menduga Kanthi telah mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Tetapi karena Prastawa tidak mau bertanggung jawab, maka Kanthi telah menjebak Wiradadi, sekedar untuk menyandarkan keadaannya yang tidak dapat disembunyikan lagi.” “Ya. Kakang,“ jawab Ki Suratapa, “dengan demikian maka Prastawa-lah yang harus bertanggung jawab atas keadaan Kanthi sekarang ini.” “Apapun yang terjadi dalam hubungan antara Prastawa dan Kanthi, aku tidak peduli. Tetapi bahwa Wiradadi sudah terjebak, itu merupakan persoalan bagi anak perempuanku, dan sudah tentu bagiku,” jawab orang yang disebut Wreksadana itu. Ki Suratapa menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang itu pun berteriak, “Panggil Wiradadi!” Suasana memang menjadi bertambah tegang. Sementara itu Ki Suracala yang justru menjadi tegang melihat keadaan itu berkata, “Ki Wreksadana, silahkan duduk.” “Terima kasih. Aku tidak akan lama. Aku hanya akan berbicara dengan Wiradadi sebentar. Kemudian mengambil Kanthi.” Tidak ada seorangpun yang berani membantah. Sementara itu utusan Ki Argajaya hanya dapat menunggu, apakah yang akan terjadi kemudian. Sejenak kemudian, maka Wiradadi pun telah diajak ke pendapa itu pula. Ternyata orang itu telah menjadi gemetar. Wajah mertuanya yang menyala itu membuat darahnya serasa telah membeku. “Wiradadi,“ berkata Ki Wreksadana, “aku sudah tahu semuanya. Di antara orang-orang yang dikumpulkan oleh ayahmu itu, terdapat beberapa di antaranya adalah orang-orangku pula. Jadi kalian tidak dapat membohongi aku. Kau dan Kanthi telah melakukan hubungan terlarang. Aku tidak peduli, apakah sebelumnya tersangkut nama Prastawa. Yang ingin aku tanyakan, apakah kau atau Kanthi yang mula-mula memancing sehingga terjadi perbuatan yang tidak pantas itu?” Wiradadi memang tergagap. Tetapi otaknya yang licik itu dengan cepat mampu bekerja. Yang kemudian dipikirkan oleh Wiradadi adalah justru keselamatannya sendiri. Ia tidak peduli apa yang akan dialami oleh orang lain. Bahkan penderitaan yang paling pahit sekalipun. Karena itu, maka Wiradadi tidak peduli bahwa keterangannya akan dapat mencekik Kanthi sekalipun. Karena itu, dengan licin Wiradadi menjawab, “Ayah tentu dapat membayangkan, apa yang terjadi atas diriku di sini, di rumah Paman, justru saat Kanthi memerlukan jalan keluar. Saat itu aku benar-benar terjebak di dalam biliknya sehingga aku tidak mungkin lagi menghindar.” “Jadi, kau dalam hal ini tidak bersalah? Kau hanya menjadi korban keliaran Kanthi?” bertanya Ki Wreksadana. “Ya Ayah. Aku memang menjadi sangat menyesal bahwa hal itu terjadi, sementara itu aku sangat mencintai istriku.” “Jika demikian, maka Kanthi yang pantas dihukum. Ia telah merampok suami orang, justru dengan maksud yang sangat buruk. Bukan karena ia mencintai Wiradadi, apalagi cinta yang mendapat tanggapan.” “Tentu Ayah. Aku sama sekali tidak tertarik pada Kanthi. Saat itu aku tidak menduga sama sekali bahwa aku telah dijebaknya dalam biliknya, justru karena ia masih saudaraku justru pada garis ketiga. Garis terlarang bagi seseorang untuk berumah tangga, seandainya kami saling mencintai sekalipun.” “Bagus. Jika demikian hati istrimu akan menjadi tenteram. Tetapi dengan demikian, bawa Kanthi kemari. Aku akan membawanya. Ia harus mendapatkan hukuman langsung dari istri Wiradadi.” “Tidak,“ tiba-tiba saja Ki Suracala menjadi tegar, “aku akan mempertahankan anakku. Ia tidak bersalah. Ketika Kanthi dalam keadaan putus asa karena isyarat yang diberikan oleh Prastawa, bahwa Prastawa tidak mencintainya, maka Wiradadi itu datang kemari. Ia memanfaatkan kekosongan di hati Kanthi.” “Diam!” bentak Ki Wreksadana, “aku tidak bertanya kepadamu.” “Tetapi aku Ayah Kanthi,” jawab Suracala. “Aku tidak peduli. Jika kau berkeras mempertahankan anakmu, maka kau pun akan aku anggap ikut bersalah. Kau tentu telah membantu anakmu menjebak Wiradadi.” “Bohong!” tiba-tiba saja Rara Wulan yang tidak dapat menahan diri berteriak, “Wiradadi bohong. Aku tahu bahwa wataknya tidak lebih baik dari seekor srigala. Kanthi baginya tidak lebih dari seekor kelinci. Apalagi dalam keadaan putus asa.” “Siapa kau?” bertanya Wreksadana. “Aku adalah salah seorang antara gadis-gadis yang mengalami perlakuan kasar Wiradadi. Untunglah aku dapat mempertahankan kehormatan dan memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadaku!” teriak Rara Wulan. Wajah Ki Wreksadana menjadi tegang, sementara wajah Wiradadi menjadi merah. Dengan suara lantang Ki Wreksadana berkata, “Gadis gila. Kenapa kau turut campur? Aku tahu, kau tentu salah seorang dari keluarga Prastawa. Kau datang membawa fitnah atas menantuku Wiradadi.” “Tidak. Kau-lah yang tidak jujur dalam persoalan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang kau berikan kepada Wiradadi sama sekali tidak berarti. Kau kira orang lain tidak tahu bahwa apa yang kau lakukan tidak lebih dari satu pagelaran lelucon, buat memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah? Aku, Ki Suracala, Kanthi, bahkan semua orang tahu, bahwa sebenarnya kau tidak mencari kebenaran. Tetapi kau ingin seakan-akan kau sudah bertindak adil di hadapan banyak orang.” “Tutup mulutmu!” bentak Ki Wreksadana. Tetapi Swandaru telah menyela, “Teruskan Rara. Berkatalah terus. Aku senang mendengarnya.” Sebenarnya Rara Wulan pun berkata selanjutnya, “Pertanyaan-pertanyaanmu dan jawaban-jawaban Wiradadi juga kau gunakan untuk mengangkat harga diri anak perempuanmu, bahwa seolah-olah suaminya tidak pernah berpaling kepada perempuan lain. Tetapi sebenarnyalah menantumu adalah seorang laki-laki yang lebih ganas dari srigala lapar.” “Kau kira orang lain dapat mempercayai kata-katamu?” teriak Ki Suratapa, “Bagaimana mungkin kau dapat membebaskan diri dari Wiradadi, seandainya ia benar-benar mengingininya? Apalagi memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadamu.” “Baru tadi siang hal itu terjadi. Ketika aku pulang dari rumah ini, Wiradadi dan dua orang pengikutnya telah mencegat kami di pategalan dan berusaha menyeretku masuk ke dalam gubug. Tetapi ternyata kemampuannya tidak lebih dari kemampuan anak-anak yang baru dapat berjalan selangkah-selangkah.” “Gila! Kenapa kau dapat membual demikian kasarnya di hadapan kami?” teriak Ki Wreksadana. “Aku tidak membual. Jika kalian ingin membuktikan, aku tantang sekarang Wiradadi berkelahi di halaman ini. Kalian akan menjadi saksi, siapakah yang menang dan siapakah yang kalah!“ Rara Wulan pun berteriak pula. Wajah Wiradadi menjadi pucat. Untunglah bahwa cahaya lampu minyak yang kekuning-kuningan telah menyaput wajah itu, sehingga Ki Suratapa tidak dengan segera melihatnya. Dalam ketegangan itu, Ki Wreksadana pun berkata, “Perempuan itu mencoba mengalihkan persoalan yang sebenarnya. Ki Suratapa, aku minta kau selesaikan perempuan ini. Sekarang aku minta agar Kanthi dibawa kemari. Aku memerlukannya. Ia harus datang menemui anak perempuanku, minta ampun dan menerima hukuman apapun yang akan diberikan oleh anak prempuanku itu, sehingga untuk selanjutnya Kanthi tidak akan pernah dapat merampok suami orang lain lagi.” “Tidak,” jawab Ki Suracala, “Kanthi tidak akan dibawa kemana-mana oleh siapapun.” “Ki Suracala. Kau tidak dapat menolaknya. Anakmu memang harus mendapat hukuman karena kesalahannya.” Rara Wulan-lah yang berteriak lebih keras lagi, “Kanthi tidak bersalah, kau dengar? Kanthi tidak bersalah!” Ki Wreksadana akhirnya kehabisan kesabaran. Dengan garangnya ia berkata kepada Ki Suratapa, “Usir perempuan itu. Jika yang lain mencoba menghalanginya, selesaikan saja mereka.” Ki Suratapa memang menjadi bingung. Orang-orangnya tidak ada di halaman rumah itu, tetapi mereka menunggu di bulak. Ki Wreksadana melihat kebimbangan itu. Dengan lantang ia berkata, “Orang-orangmu ada di sini. Aku membawa mereka kemari. Sebagian dari mereka sebenarnya adalah orang-orangku, sehingga aku tahu apa yang terjadi di sini. Juga tentang utusan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan mereka. Aku hanya ingin membawa Kanthi. Tetapi jika mereka sengaja melibatkan diri, apa boleh buat.” “Ki Wreksadana,“ berkata Ki Suracala, “apa yang dikatakan Angger Rara Wulan adalah benar. Kau tentu hanya sekedar ingin menyelamatkan perkawinan anakmu dengan Wiradadi. Kau ingin memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah, meskipun bagimu itu hanya sekedar pura-pura. Aku tidak peduli kepura-puraanmu, Ki Wreksadana. Tetapi kau tidak perlu mengorbankan orang lain. Kau tidak perlu mengorbankan Kanthi yang sudah terlalu banyak menderita itu. Jika aku terlibat dalam kecurangan ini terhadap Ki Argajaya, karena aku sampai sesaat tadi masih takut mati. Tetapi sekarang tidak. Aku sudah tidak takut lagi menghadapi kematian itu lagi. Aku sependapat dengan saudara-saudaraku dari Tanah Perdikan Menoreh, bahwa kita harus menemukan kebenaran sekarang ini. Bukan fitnah dan bukan kebohongan serta kepura-puraan lagi.” Jantung Ki Wreksadana bagaikan membara. Terdengar ia memberikan isyarat dengan sebuah suitan nyaring. Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang berada di bulak itu telah berada di luar regol halaman, sehingga sejenak kemudian mereka sudah memasuki halaman. “Aku tidak mempunyai pilihan lain,” geram Ki Wreksadana, “aku akan membawa Kanthi dengan kekerasan. Siapa yang mencoba menghalangi, akan dihancurkan. Jika terjadi kematian, sama sekali bukan tanggung jawab kami, karena kami sudah memperingatkan sebelumnya.” “Jadi tanggung jawab siapa?” bertanya Swandaru. Namun Ki Suracala justru melangkah maju sambil berkata lantang, “Aku tidak akan menyerahkan Kanthi. Apapun yang terjadi, aku akan mempertahankannya. Ia adalah anakku. Karena itu, maka harganya sama dengan nyawaku.” “Setan kau Suracala. Agaknya kau memang ingin mati. Seharusnya kau biarkan anak perempuan yang liar mendapat hukuman. Tetapi kau justru melindunginya.” “Apakah ia liar, apakah ia gila atau apakah ia sampah sekalipun, tetapi ia adalah anakku,” jawab Ki Suracala. Ki Wreksadana tidak sabar lagi. Iapun memberi isyarat kepada kedua orangnya dan orang-orang yang baru datang itu sambil berteriak, “Kita selesaikan orang-orang yang mencoba menghalangi rencanaku!” “Premana,“ tiba-tiba terdengar suara Ki Jayaraga, “sampai rambutmu ubanan ternyata kau masih liar dan ganas. Jika kau berbicara tentang Kanthi yang kau anggap gadis yang liar, bagaimana dengan dirimu sendiri?” Ki Wreksadana memandang Ki Jayaraga dengan mata yang tanpa berkedip. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Siapa kau iblis tua?” “Apakah kau lupa kepadaku? Memang sudah lama kita tidak bertemu. Mula-mula aku lupa kepadamu. Tetapi setelah kau banyak berbicara dan kemudian kau berniat memaksakan kehendakmu, maka aku segera teringat bahwa yang bernama Wreksadana itu adalah Premana yang tampan, berilmu tinggi dan disukai banyak gadis-gadis cantik. Aku kira anak perempuanmu itu juga cantik, Premana. Tetapi sayang, bahwa menantumu mempunyai tabiat yang kurang baik. Kau tentu tahu itu. Tetapi menantumu itu tidak lebih dari sebuah cermin bagimu. Kau dapat melihat wajahmu sendiri didalamnya, se hingga kau dapat melihat cacat-cacat yang melekat pada dirimu.” “Tutup mulutmu! Siapa kau?” teriak Wreksadana. “Untuk menyenangkan hati anak perempuanmu, serta sedikit memulas wajah cerminmu, maka kau melemparkan kesalahan itu kepada Kanthi, anak Ki Suracala. Sebenarnyalah bahwa Kanthi sudah terlalu menderita dengan peristiwa yang menimpa dirinya. Bukan berarti bahwa Kanthi tidak bersalah. Menurut pendapatku, Kanthi tetap bersalah. Tetapi tentu tidak seberat keputusan yang kau jatuhkan. Karena itu, jika kau akan menghukum, hukumlah Wiradadi. Biarlah Ki Suracala menghukum anaknya yang bersalah.” “Siapa kau? Siapa kau?” Wreksadana berteriak semakin keras. “Kau ingat kepada Jayaraga?” “Jayaraga,“ Ki Wreksadana mengingat-ingat, “Jayaraga. Jadi kau iblis yang sering berkeliaran di pesisir utara itu?” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ya Premana. Aku memang sering berkeliaran di pesisir utara. Tetapi aku juga berkeliaran sampai kemana-mana. Gombel, Bawen, Banyu Biru, memutari kaki Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Juga menelusuri Kali Opak dan Kali Praga. Terakhir aku berkeliaran di Pegunungan Menoreh.” “Lalu kenapa kau sekarang berada di sini?” bertanya Ki Wreksadana. “Aku sedang menjadi utusan Ki Argajaya untuk mencari kebenaran tentang anaknya, Prastawa, yang dituduh telah melakukan pelanggaran hubungan dengan Kanthi.” “Bagus. Kau sudah tahu bahwa Prastawa tidak berkaitan dengan persoalan Kanthi dan anak perempuanku. Karena itu, untuk selanjutnya jangan turut campur urusan kami.” “Maaf, Premana. Aku sudah terlanjur mendengar ancamanmu. Sementara itu aku tahu bahwa Kanthi tidak mutlak bersalah. Karena itu, maka aku tidak akan dapat menutup mata dan telinga. Aku harus ikut menegakkan kebenaran di sini.” “Setan kau Jayaraga. Sejak kapan kau mengenal kebenaran?” “Premana. Semua muridku mati sebagai orang-orang jahat. Seandainya ada yang masih hidup pun, ia jahat pula. Kecuali satu. Murid yang aku ketemukan setelah pribadinya terbentuk. Nah, karena itu, biarlah aku berusaha untuk membersihkan nama perguruanku dengan perbuatan baik di sisa hidupku.” “Jadi kau benar-benar akan melibatkan diri?” bertanya Wreksadana. “Ya. Sejak semula hubungan kita memang kurang baik. Seandainya hubungan itu menjadi semakin buruk, apa boleh buat.” Ki Jayaraga melangkah maju mendekati Ki Wreksadana, “Sudah waktunya tingkah lakumu itu kau hentikan. Wreksadana, coba aku ingin bertanya kepadamu. Jawablah dengan jujur. Buat apa sebenarnya Kanthi akan kau bawa? Tentu tidak akan kau serahkan kepada anak perempuanmu. Mungkin memang kau bawa Kanthi kepadanya. Kau paksa ia untuk mohon ampun. Tetapi setelah itu? Kau kira aku tidak tahu tabiatmu?” “Setan kau Jayaraga. Kau benar-benar iblis yang terkutuk. Kau harus mati sekarang, agar kau untuk selanjutnya tidak akan mengganggu aku lagi.” Ki Jayaraga pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu kedua orang pengiring Ki Wreksadana telah bersiap pula. “Jangan di pendapa,“ berkata Ki Jayaraga, “di halaman kita dapat bermain gobag sodor, karena halaman itu cukup luas.” Pertemuan antara Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana yang disebut Premana itu telah mencengkam suasana. Nampaknya Ki Wreksadana tidak berkeberatan untuk turun dari pendapa. Ketika ia sudah mulai bergeser, maka iapun berkata, “Jayaraga. Jadi kau benar-benar ingin ikut campur dalam persoalan ini?” “Aku tidak dapat berdiam diri melihat orang-orang kuat seperti kau memaksakan kehendakmu dengan sewenang-wenang kepada orang-orang yang lemah, sehingga tatanan kehidupan ini tidak akan lebih dari kehidupan di dalam rimba yang buas. Atau katakanlah bahwa kehidupan kita sebagai mahluk yang memiliki akal budi, tidak lebih dari kehidupan binatang di hutan.” “Kau memang iblis. Bersiaplah untuk mati Jayaraga. Aku setuju dengan usulmu. Kita bertempur di halaman.” Ki Jayaraga itu pun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu, Swandaru dan yang lain sambil berdesis, “Berhati-hatilah. Kita sudah mulai. Nampaknya lawan kita cukup kuat.” Swandaru-lah yang menjawab, “Ternyata yang terjadi berbeda dari yang kita duga. Kita ternyata justru mendapat lawan yang lain.” “Ya,“ sahut Ki Jayaraga, “tetapi sepuluh orang di halaman itu tentu juga orang-orang berilmu tinggi.” Swandaru mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan melawan salah seorang dari pengiring Ki Wreksadana itu. Nampaknya ia juga seorang berilmu tinggi.” “Ya. Aku setuju. Ia nampaknya memang berilmu tinggi,” jawab Ki Jayaraga. Sementara itu Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, “Hadapi yang seorang lagi. Aku akan turun ke halaman.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Iapun kemudian melangkah turun ke halaman, mendekati Ki Wreksadana yang sudah menunggu. Swandaru pun melangkah pula. Namun sekali-sekali ia memandang Glagah Putih yang berjalan di sebelahnya. Swandaru memang menjadi agak heran, bahwa bukan Agung Sedayu sendiri yang menghadapi salah seorang pengawal Ki Wreksadana, yang tentu juga seorang yang berilmu tinggi. “Apakah anak itu akan dapat mengimbangi lawannya?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, ia masih berusaha menahan diri. Jika hal itu diucapkannya, maka hati anak muda itu akan menyusut, sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi kemampuannya. Sementara itu, Agung Sedayu pun berkata kepada Rara Wulan, ”Masuklah. Cari Kanthi. Lindungi perempuan itu. Mungkin ada orang yang licik yang menyusup masuk ke ruang dalam. Jika perlu, panggil salah seorang dari kami.” Rara Wulan mengangguk. Ia memang tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya gadis itu telah menyusup lewat pintu pringgitan dan hilang di ruang dalam. Sementara itu, Ki Suratapa yang marah melihat sikap Ki Suracala itu pun menggeram, “Ternyata kau telah merusak segala pembicaraan yang sebelumnya pernah kita sepakati.” “Aku tidak pernah menyepakati untuk menyerahkan Kanthi kepada Ki Wreksadana,” jawab Ki Suracala. “Tetapi semuanya ini masih tetap dalam bingkai persoalan yang timbul karena Kanthi!” bentak Ki Suratapa. “Hanya orang gila yang akan menyerahkan anaknya, betapapun besar dosanya sehingga darahnya menjadi hitam sekalipun, kepada orang lain untuk dihukum dengan semena-mena tanpa menimbang kesalahannya dengan saksama. Apalagi Ki Wreksadana tidak berhak menghukum Kanthi.” “Aku yang akan memaksamu menyerahkan Kanthi,“ berkata Suratapa. “Aku tidak peduli siapa kau!” Ki Suracala pun membentak, “Aku siap melindungi anakku, apapun yang akan terjadi.” Ki Suratapa tidak dapat menahan diri lagi. Dengan garangnya ia menyerang Ki Suracala yang bergeser ke tangga pendapa. Ternyata Ki Suracala pun lebih senang bertempur di halaman daripada di pendapa rumahnya. Sementara itu Ki Suradipa memang licik. Ia mengetahui bahwa yang mencoba melindungi Kanthi hanyalah seorang perempuan muda. Karena itu, maka iapun segera meloncat masuk lewat pintu pringgitan untuk mencari Kanthi. Di halaman, Ki Jayaraga sudah siap bertempur melawan Ki Wreksadana. Sedangkan Swandaru menghadapi salah seorang pengawalnya. Demikian pula Glagah Putih. Sedangkan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah tetap bersiap meghadapi sepuluh orang yang semula telah dipersiapkan oleh Ki Suratapa di bulak, untuk mencegat utusan dari Tanah Perdikan itu jika mereka kembali. Namun yang mengejutkan adalah kedatangan dua orang yang memasuki regol halaman. Cahaya lampu minyak yang redup menggapai wajah mereka, sehingga hampir di luar sadarnya Agung Sedayu berkata, “Ki Argajaya.” Ki Argajaya berdiri tegak di depan regol. Di sebelahnya Prastawa nampak gelisah. “Aku sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi,“ berkata Ki Argajaya. “Karena itu aku wajib menyusul kemari. Adalah tidak pantas jika aku dan Prastawa duduk sambil minum minuman hangat di rumah, sementara orang-orang yang datang atas namaku harus menyabung nyawanya.” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Persoalannya telah bergeser dari persoalan semula. Kami sedang berusaha melindungi Kanthi dari tindak sewenang-wenang.” “Apa yang terjadi dengan Kanthi?” bertanya Ki Argajaya. “Ceritanya panjang Ki Argajaya,” jawab Agung Sedayu. Ki Argajaya menyadari, bahwa bukan waktu untuk mendengarkan sebuah dongeng yang betapapun menariknya. Sementara itu, Ki Jayaraga yang sudah siap untuk bertempur berkata, “Selamat datang Ki Argajaya. Seperti yang dikatakan oleh Angger Agung Sedayu, kita sedang melindungi Kanthi dari sergapan seekor srigala, setelah disergap oleh srigala yang lain.” Ki Wreksadana tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia tidak peduli akan kehadiran Ki Argajaya. Karena itu, maka iapun segera menyerang Ki Jayaraga dengan garangnya. Ki Jayaraga tidak lengah meskipun ia sempat berbicara dengan Ki Argajaya. Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Ki Jayaraga dengan cepat meloncat menghindar. Sementara itu, Swandaru pun telah mulai bertempur pula. Demikian pula Glagah Putih yang telah mengambil jarak. Dalam pada itu, maka Ki Argajaya dan Prastawa pun segera menempatkan diri bersama-sama dengan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Sementara itu, seorang di antara mereka yang semula siap mencegat utusan Ki Argajaya itu berkata, “Jadi perempuan-perempuan ini juga merasa mampu untuk bertempur?” Sekar Mirah yang telah menyingsingkan kain panjangnya tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja selendangnya telah dikibaskannya dengan cepatnya. Orang yang berbicara itu terkejut. Semula ia tidak mengira bahwa selendang itu demikian cepatnya mematuk ke arahnya. Karena itu, maka dengan serta-merta orang itu meloncat surut. Namun bandul-bandul timah kecil di ujung selendang itu meluncur lebih cepat. Karena itu, maka ujung selendang itu telah sempat menggapai dada orang itu. Orang itu mengeluh tertahan. Namun kemudian iapun segera mengumpat kasar. Terasa dadanya menjadi sakit dan nafasnya pun seakan-akan telah tersendat. “Iblis betina,” geramnya. Kemarahannya telah menjalar lewat darahnya yang mendidih ke seluruh tubuhnya. Namun dadanya itu memang terasa sakit dan panas. Ternyata sepuluh orang yang marah itu tidak menunggu lebih lama. Mereka pun segera mencabut senjata-senjata mereka. Sepuluh ujung senjata telah tejulur ke arah lima orang yang berada di dalam kepungan. Ki Argajaya sudah cukup lama tidak memegang tombaknya. Tetapi demikian tangannya mulai bergetar, maka rasa-rasanya tombaknya itu telah bergerak dengan sendirinya. Meskipun demikian, iapun berdesis, “Aku tidak bermimpi masih akan mengangkat senjata lagi. Tetapi ternyata aku telah disudutkan oleh keadaan, sehingga aku terpaksa menarik tombakku dari plonconnya.” “Bukan salah Ki Argajaya,“ desis Agung Sedayu. Ki Argajaya tidak menyahut lagi. Serangan-serangan mulai datang beruntun. Pandan Wangi yang memang telah menyiapkan dua pisau belati di pinggangnya, telah menggenggamnya pula. Meskipun pisau belati itu hanya pendek saja, tetapi di tangan yang terampil, maka pisau itu menjadi sangat berbahaya. Orang yang berkumis lebat yang ikut mencegat utusan Ki Argajaya di bulak itu menggeram, “Ternyata mereka bukan perempuan-perempuan yang pasrah untuk taruhan.” “Baru tahu kau sekarang,“ desis kawannya. Orang itu ternyata tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sepasang pisau belati Pandan Wangi telah menjepit senjatanya, sebuah parang yang besar. Untunglah bahwa kawannya yang lain sempat membantunya dengan serangan yang deras menebas ke arah leher Pandan Wangi. Sebuah kapak yang besar itu terayun dengan deras sekali. Tetapi Pandan Wangi cukup tangkas. Meski-pun ia harus melepaskan parang lawannya, namun ia sempat menghindari serangan kapak yang besar itu. Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Namun Ki Argajaya ternyata masih sempat melihat Ki Suracala yang bertempur melawan Ki Suratapa. Dua orang sepupu yang harus bermusuhan karena masing-masing membela kepentingan anaknya. Salah atau tidak salah. “Kenapa Ki Suracala?” bertanya Ki Argajaya kepada Agung Sedayu yang bertempur tidak jauh daripadanya. “Ia sedang melindungi anaknya. Kita berdiri di pihaknya,” jawab Agung Sedayu. Ki Argajaya tidak bertanya lagi. Lawannya dengan serta-merta menyerangnya. Namun tombak Ki Argajaya sempat berputar dan mulai mematuk dengan cepatnya. Prastawa sendiri telah mempergunakan pedangnya. Ia memang agak mengalami kesulitan menghadapi ujung-ujung senjata. Namun ternyata perhatian orang-orang itu lebih banyak tertuju kepada Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian mereka mendengar cambuk Agung Sedayu yang meledak dengan kerasnya. Swandaru terkejut mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu. Bukan karena suara cambuk yang keras itu. Namun ledakan cambuk itu menunjukkan bahwa Agung Sedayu seakan-akan masih belum memanjat sampai tataran yang lebih tinggi lagi. Tetapi Agung Sedayu Sendiri memang harus menilai ungkapan kemampuannya itu, karena seorang di antara lawan-lawannya justru telah tertawa pula. Dengan nada lantang orang itu berkata, “He, gembala dungu. Jika kau hanya dapat melecut lembu atau kerbau yang sedang menarik bajak, sebaiknya kau tidak berada di halaman ini.” Justru orang lain yang mendengar kata-kata itu, jantungnya menjadi panas. Bahkan Sekar Mirah rasa-rasanya ingin mendorong suaminya untuk lebih bersungguh-sungguh menghadapi lawan yang jumlahnya terlalu banyak itu. Namun justru Agung Sedayu sendiri tidak menanggapinya. Ia masih saja melecutkan cambuknya dengan ledakan yang menggetarkan seisi halaman itu. Dalam pada itu Wreksadana pun berteriak pula, “Kenapa kalian biarkan sais yang sombong itu masih tetap di situ?” Orang yang diupah Ki Suratapa untuk memimpin kawan-kawannya itu menggeram, “Aku akan membunuhnya mendahului kawan-kawannya.” Orang itu memang segera menyerang Agung Sedayu. Serangan-serangannya memang mendebarkan. Senjatanya dengan cepat terayun menebas mengarah ke leher Agung Sedayu. Tetapi dengan tangkas Agung Sedayu menghindar. Cambuknya berputar sekali. Kemudian satu ledakan yang keras terdengar saat ujung cambuknya menggapai tubuh lawannya itu. Lawannya bergeser selangkah. Ujung cambuk itu memang mengenai kulitnya. Tetapi hanya sentuhan yang tipis, karena orang itu dengan cepat menghindar. Dengan daya tahannya yang tinggi, maka orang itu dapat mengabaikannya sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu yang hanya wantah itu. Namun dengan demikian orang itu menjadi lengah. Ia merasa bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu orang yang bersenjata cambuk itu. Karena itu, maka dengan garangnya ia menyerang tanpa kendali lagi. Senjatanya terayun mengerikan memburu Agung Sedayu yang berloncatan. Namun demikian ia berusaha menggapai dada Agung Sedayu dengan menjulurkan senjatanya, maka Agung Sedayu tidak menghindarinya. Tetapi dengan dilandasi oleh ilmu dan kemampuannya, maka cambuknya telah berputar menjerat senjata orang itu. Demikian Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka senjata orang itu tidak dapat diselamatkannya lagi. Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak pernah mengira bahwa lawannya memiliki kemampuan dan kekuatan yang demikian besarnya. Bahkan ketika kemudian sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka ledakan cambuk itu tidak lagi terdengar memekakkan telinga. Tetapi sentuhan ujung cambuk itu ternyata telah mengoyak lengan lawannya. Terdengar teriakan tertahan. Lawannya itu pun dengan serta merta meloncat mengambil jarak. Sementara itu, kawannya yang melihat keadaannya, dengan cepat telah menyerang Agung Sedayu pula. Agung Sedayu tidak memburu lawannya yang sudah dilukainya. Tetapi ia melihat Prastawa yang mulai terdesak. Namun iapun melihat bagaimana Sekar Mirah yang sedang memutar selendangnya telah membuat lawannya terdesak. Tetapi lawannya yang lain pun segera menyerangnya pula dari arah yang berbeda. Dalam sekilas Agung Sedayu melihat, bahwa orang-orang di Tanah Perdikan itu akan segera mengalami kesulitan jika jumlah lawannya yang sepuluh orang itu tidak segera berkurang. Di sisi lain, Pandan Wangi dengan pisau rangkapnya berloncatan dengan tangkasnya. Dengan senjata pendeknya Pandan Wangi tetap merupakan seorang yang sangat berbahaya. Dengan tangan kirinya ia menebas serangan lawannya. Kemudian dengan loncatan panjang, senjata di tangan kanannya mematuk ke arah dada. Sementara itu, Ki Argajaya yang menurut pengakuannya sendiri tidak pernah bermimpi untuk mempergunakan tombaknya lagi, namun ternyata ia masih juga Ki Argajaya yang garang. Dengan keras ia mendesak lawan-lawannya. Meskipun ia mulai nampak menjadi lamban karena Ki Argajaya tidak pernah lagi berlatih mempergunakan tombaknya, tetapi tangannya masih menggetarkan lawan-lawannya. Ketika Swandaru mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu yang berubah, ia sempat menarik nafas panjang. Bahkan di luar sadarnya ia berkata, “Nah, ternyata Kakang Agung Sedayu telah sedikit mengalami kemajuan.” Bahkan sesaat kemudian, Swandaru mendengar lagi hentakan cambuk Agung Sedayu. Tidak dengan ledakan yang memekakkan telinga, tetapi getarannya mengguncang udara di halaman itu. Tetapi Swandaru tidak sempat melihat apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Agung Sedayu bertempur bersama-sama dalam satu putaran pertempuran yang kalut. Sementara itu, Swandaru bertempur di sisi lain melawan salah seorang pengawal Ki Wreksadana yang ternyata memang berilmu tinggi. Di lingkaran pertempuran yang lain, Glagah Putih menghadapi pengawal Ki Wreksadana yang seorang lagi. Juga seorang yang berilmu tinggi. Beberapa kali Glagah Putih memang berloncatan surut mengambil jarak agar ia dapat bertempur di tempat yang bebas di sudut halaman. Namun setiap kali Swandaru mengerutkan dahinya. Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk segera menyelesaikan lawannya agar ia dapat membantu Glagah Putih, karena Swandaru mencemaskan anak muda itu. Sementara itu Ki Suradipa yang licik itu tengah mencari Kanthi di ruang dalam. Ia memperhitungkan jika ia dapat menguasai Kanthi, maka ia akan dapat memaksa orang-orang yang sedang bertempur itu untuk berhenti. Ia dapat memaksa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh untuk meninggalkan tempat itu dengan taruhan Kanthi. Tetapi ia tidak melihat Kanthi di ruang dalam. Tetapi ia mendengar keributan telah terjadi di serambi samping. Sehingga karena itu maka iapun telah berlari pula ke serambi. Ki Suradipa itu terkejut. Ternyata telah terjadi pertempuran di longkangan dalam di depan serambi itu. Karena itu, maka iapun segera berlari mendorong pintu dan turun ke longkangan. Ki Suradipa melihat dua orang yang mengerang kesakitan. Di bawah cahaya lampu minyak di seketheng, ia melihat Wiradadi duduk bersandar dinding serambi, sementara seorang yang lain masih sedang bertempur melawan seorang perempuan. Jantung Ki Suradipa menjadi berdebar-debar. Di sudut longkangan, di bawah sebatang pohon kemuning, dua orang perempuan sedang memeluk Kanthi yang ketakutan. Ibunya dan kakak perempuannya. Ki Suradipa itu menggeram marah. Ia harus dapat menguasainya. Namun ia belum sempat mendekati perempuan itu, ketika laki-laki yang sedang bertempur melawan seorang perempuan itu terdorong beberapa langkah surut dan kemudian kehilangan keseimbangannya. Meskipun demikian, orang itu berusaha untuk segera dapat bangkit berdiri. Tetapi orang itu seakan-akan sudah tidak mampu lagi untuk tegak. Sementara kawannya yang berusaha untuk bangkit itu pun tidak berhasil. Demikian ia mencoba menapak, maka iapun telah terduduk kembali. Ki Suradipa mengumpat kasar. Perempuan yang bertempur itu adalah perempuan yang datang lebih dahulu bersama anak muda yang bertempur di halaman, untuk memberitahukan bahwa utusan Ki Argajaya akan datang. “Agaknya anak itu tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia telah mengalahkan Wiradadi. Kini bahkan perempuan yang masih semuda Kanthi itu telah mengalahkan tiga orang sekaligus, termasuk Wiradadi itu sendiri,“ berkata orang itu di dalam hati. Namun Ki Suradipa tetap pada niatnya untuk menguasai Kanthi. Ia sadar bahwa ia harus menyingkirkan perempuan yang garang itu lebih dahulu. Ketika kemudian Rara Wulan berdiri tegak sambil menggenggam kedua ujung selendangnya, Ki Suradipa itu berkata, “Aku akan menyelamatkan Kanthi. Sebaiknya kau tidak usah turut campur.” Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya, “Kau termasuk orang-orang yang ingin mencelakakannya. Karena itu enyahlah. Jangan mencoba untuk menyentuhnya.” “Perempuan liar. Kau dapat mengalahkan Wiradadi dan dua orang kawannya yang tidak lebih dari cucurut-cucurut yang dungu itu. Tetapi jangan bermimpi untuk dapat mencegah aku,“ berkata Ki Suradipa. Rara Wulan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia memang menyadari bahwa Suradipa tentu memiliki kelebihan dari Wiradadi dan kawan-kawannya. Tetapi Rara Wulan tidak akan beringsut dari tempatnya. Ia sudah bertekad untuk melindungi Kanthi dari kesewenang-wenangan. Apalagi ketika ia mendengar pembicaraan antara Ki Wreksadana dengan Ki Jayaraga. Karena itu, maka ketika Ki Suradipa bergeser maju, Rara Wulan mulai menggerakkan selendangnya sambil berkata, “Aku sudah memperingatkanmu, jangan sentuh anak itu.” Ki Suradipa tidak menjawab. Tetapi kemarahannya sudah merambat sampai ke ubun-ubun. Sambil menggeram Ki Suradipa itu mencabut pedangnya dan bergeser semakin dekat. Kanthi, ibunya dan kakak perempuannya menjadi semakin tegang. Mereka tahu bahwa Ki Suradipa adalah seorang laki-laki yang keras dan bahkan garang. Ki Suracala sendiri merasa tidak dapat menolak kehendaknya serta kehendak Ki Suratapa. Tetapi ketiga orang perempuan itu sudah melihat sendiri bagaimana gadis itu mengalahkan ketiga orang lawannya. Ketika kemudian Ki Suradipa mulai menjulurkan pedangnya, maka Rara Wulan pun telah memutar selendangnya pula. Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin cepat. Ki Suradipa berusaha untuk dengan cepat menyingkirkan perempuan itu, agar dengan cepat pula dapat membawa Kanthi ke halaman depan. Orang-orang Tanah Perdikan itu tentu akan menghentikan pertempuran jika ia kemudian mengancam Kanthi. Namun Rara Wulan yang sadar benar akan nasib Kanthi telah berusaha untuk mempertahankannya. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, ia melawan Ki Suradipa yang bertempur dengan garangnya. Namun ternyata bahwa Rara Wulan memiliki bekal yang lebih lengkap. Meskipun terhitung baru pada tataran dasar, tetapi Rara Wulan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk menempa dirinya. Karena itu, maka ternyata Suradipa pun tidak mudah untuk dapat menundukkannya. Sementara itu. pertempuran di halaman pun menjadi semakin sengit. Ki Jayaraga yang berhadapan dengan Ki Wreksadana pun telah meningkatkan kemampuan mereka masing-masing. Ternyata kedua orang yang memang telah saling mengenal itu masih harus kembali menjajagi kemampuan masing-masing, setelah untuk waktu yang lama mereka tidak bertemu. Swandaru yang sedang bertempur itu mencoba untuk melihat barang sekilas pertempuran antara Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana. Tetapi karena Ki Jayaraga agaknya telah mengenalnya, maka Swandaru tidak berusaha untuk menggantikan Ki Jayaraga. Namun sebagaimana ia mencemaskan Glagah Putih, maka Swandaru pun berharap agar Ki Jayaraga mampu mengimbangi lawannya, yang nampaknya sangat yakin akan kemampuannya sendiri. Namun Swandaru sendiri ternyata harus bertempur dengan sengitnya. Lawannya ternyata memang seorang yang berilmu tinggi pula. Bahkan setelah bertempur beberapa saat, Swandaru dapat meraba lewat unsur-unsur gerak lawannya, bahwa lawannya itu memiliki jalur ilmu yang sama dengan Ki Wreksadana. Mungkin muridnya. Tetapi mungkin saudara seperguruannya. “Jika orang ini sekedar murid Ki Wreksadana, tentu aku tidak perlu melayaninya. Aku lebih senang bertempur melawan sekelompok orang,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. Ternyata ia menganggap bahwa Agung Sedayu cukup cerdik memilih lawan. Dalam pertempuran berkelompok seperti itu, maka sulit untuk memberikan penilaian yang tepat atas kemampuannya. Bahkan seandainya ilmunya masih di bawah tataran yang seharusnya. Tetapi dengan mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu, maka Swandaru menganggap bahwa Agung Sedayu tidak lagi jauh ketinggalan dari tataran yang diharapkannya. Dalam pada itu, ketika pertempuran antara Swandaru dan lawannya menjadi semakin sengit, maka Swandaru justru menyempatkan diri untuk bertanya, “Apakah kau murid Ki Wreksadana?” “Setan kau. Aku adalah adik seperguruannya,” jawab orang itu. “O,“ Swandaru meloncat menghindari serangan orang itu. Namun mulutnya sempat berkata, “Aku kira kau muridnya yang paling dungu.” “Kau memang terlalu sombong. Tetapi kau tidak akan berarti apa-apa bagiku,” geram orang itu. Swandaru tertawa. Tetapi dengan cepat ia harus meloncat ke samping ketika kaki lawannya terjulur lurus ke arah dada. Demikianlah, mereka pun terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Namun demikian Swandaru masih sempat berusaha untuk melihat keadaan Glagah Putih. Tetapi cahaya lampu minyak di pendapa dan di regol ternyata terlalu lemah untuk menggapai lingkaran pertempuran di sudut halaman itu. “Jika lawan Glagah Putih itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana, maka anak itu akan segera mengalami kesulitan,“ berkata Swandam di dalam hatinya. Namun Swandaru memang tidak mempunyai banyak kesempatan. Lawannya telah meningkatkan ilmunya semakin lama semakin tinggi, sehingga Swandaru pun harus melakukannya pula. Benturan-benturan kekuatan yang terjadi kemudian, telah memperingatkan kedua belah pihak agar mereka menjadi semakin berhati-hati. Dalam pada itu, Glagah Putih sendiri memang harus meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi lawannya. Ternyata tanpa ditanya oleh Glagah Putih, lawannya itu telah bercerita tentang dirinya. “Kau akan menyesal anak muda, bahwa kau telah mencoba untuk melawan aku.” Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia menyerang semakin deras. Meskipun demikian lawannya masih juga sempat berkata, “Anak Muda, kau harus menebus kesombonganmu dengan harga yang sangat mahal. Karena kau telah berhadapan dengan saudara seperguruan Ki Wreksadana.” Glagah Putih bergeser sedikit menjauh. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi kau saudara seperguruan Ki Wreksadana?” “Ya,” jawab orang itu. “Baiklah,“ berkata Glagah Putih, “jika demikian aku memang harus berhati-hati.” “Setan kau,” geram lawan Glagah Putih itu. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia benar-benar harus berhati-hati menghadapi saudara seperguruan Ki Wreksadana. Namun saudara seperguruan Ki Wreksadana itu harus menghadapi kenyataan, bahwa anak yang masih sangat muda itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Jika semula ia menganggap lawannya itu tidak lebih dari gejolak anak muda yang tidak berperhitungan, namun kemudian ia harus menyadari bahwa anak muda itu mempunyai bekal yang cukup lengkap untuk turun ke medan menghadapinya. Karena itu, semakin lama lawan Glagah Putih itu justru semakin dipaksa untuk meningkatkan ilmunya, karena anak muda itu selalu mendesaknya. Serangan-serangannya justru menjadi semakin berbahaya. Dalam pada itu, Ki Wreksadana sendiri benar-benar harus membentur ilmu yang sangat tinggi. Ki Wreksadana memang orang yang sangat ditakuti. Tetapi lawannya yang dikenalnya pernah berkeliaran di pesisir utara itu juga seorang yang disegani. Benturan-benturan yang kemudian terjadi, membuat Ki Wreksadana semakin meningkatkan ilmunya. Tetapi selapis demi selapis, Ki Jayaraga pun meningkatkan ilmunya pula. “Kau masih tetap iblis sebagaimana saat kau menyusuri pesisir utara,” geram Ki Wreksadana. Ki Jayanegara tertawa. Meskipun kemudian serangan Ki Wreksadana membadai, namun Ki Jayaraga masih sempat menyahut, “Ya. Dan kau masih juga seekor serigala yang rakus, licik dan buas. Tetapi seharusnya kau mulai sadar, Permana. Anakmu juga seorang perempuan. Bukankah anakmu merengek dan bahkan hatinya menjadi pedih ketika ia tahu suaminya selingkuh? Apakah yang terjadi itu merupakan pantulan dari perbuatanmu? Apakah yang pernah kau lakukan terhadap banyak perempuan itu terjadi juga atas anakmu? Di mana-mana kau beristri, tetapi dimana-mana pula istrimu kau tinggalkan karena kau tertarik perempuan lain. Bedanya, mertuamu bukan seorang yang garang bagaimana kau sendiri, sehingga menantumu jadi sangat ketakutan. Tetapi apapun yang terjadi atas menantumu, hati anakmu sudah terlanjur terluka.” Ki Wreksadana yang marah itu berusaha untuk menghentikan Ki Jayaraga. Ia menyerang semakin garang. Namun Ki Jayaraga masih juga dapat bertempur sambil berbicara berkepanjangan. Namun ketika serangan Ki Wreksadana menjadi semakin sengit, maka Ki Jayaraga memang harus terdiam. Ia harus memusatkan penalarannya kepada serangan-serangan Ki Wreksadana yang berbahaya itu. Bahkan hampir menyentuh kulitnya. Dengan demikian, maka keduanya telah telibat dalam pertempuran yang semakin panas. Kemarahan Ki Wreksadana yang semakin menyala di dalam dadanya, telah meyulut ilmunya pula. Dalam pertempuran yang keras dan garang itu, maka perlahan-lahan tangan Ki Wreksadana seakan-akan semakin lama menjadi semakin menggetarkan. Tidak banyak orang yang melihat, tetapi Ki Jayaraga yang bertempur melawannya melihat dalam keremangan cahaya lampu minyak di pendapa, telapak tangan Ki Wreksadana seakan-akan telah membara. Ketika tangan itu menyambar tubuhnya, Ki Jayaraga sempat meloncat menghidarinya. Namun terasa panas mengapai kulit tubuhnya itu. “Kau mulai bersungguh-sungguh, Permana,“ desis Ki Jayaraga. “Aku tahu bahwa kau mempunya ilmu yang jarang ada duanya. Kau mampu menyemburkan api dari telapak tanganmu. Tetapi itu tidak berbahaya bagiku. Karena aku sendiri bermain-main dengan api pula, maka aku mempunyai penangkalnya,“ berkata Ki Wreksadana sambil menyerang. “Jika demikian, maka kau juga mengetahui bahwa aku pun dapat menangkal bara apimu?” bertanya Ki Jayaraga “Tidak. Kau tidak akan dapat menangkal semburan bara apiku. Dasar ilmu kita berbeda. Mungkin kau dapat menangkal serangan api sejenis apimu yang tidak berbahaya. Apimu kau hembuskan melampaui jarak dan menjalar lewat getar udara. Aku dapat melihat arus lidah apimu di udara dan meredam panasnya. Tetapi kau tidak dapat melakukannya atas apiku. Sentuhan telapak tanganku akan langsung menghanguskan kulit dagingmu.” Ternyata Ki Jayaraga menjawab, “Kau benar. Sentuhan tanganmu akan dapat menghanguskan kulit dagingku. Tetapi itu jika kau berhasil menyentuh aku.” Ki Wreksadana mengumpat. Dengan garangnya ia menyerang Ki Jayaraga. Kedua tangannya bergerak bergerak dengan cepat, menggapai tubuh Ki Jayaraga. Ki Wreksadana itu kemudian seakan-akan tidak lagi mempergunakan tangannya untuk menyerang, karena tekanan serangan tidak pada besarnya tenaga dan kekuatan, tetapi pada daya kekuatan bara telapak tangannya Ki Jayaraga memang harus menjadi semakin hati-hati. Ia harus menghidari sentuhan dengan telapak tangannya. Jika Ki Jayaraga harus menangkis serangan lawannya karena ia tidak sempat lagi menghindari, maka Ki Jayaraga berusaha untuk menebas tangan lawan di pergelangan. Tetapi Ki Wreksadana menyadari kesulitan Ki Jayaraga. Karena itu maka Ki Wreksadana menyerang semakin garang. Sementara itu, Swandaru pun menjadi semakin gelisah. Bukan semata-mata karena dirinya sendiri, Swandaru juga memikirkan keadaan medan itu seluruhnya. Ia melihat Ki Jayaraga beberapa kali harus berloncatan surut. Seakan-akan lawannya mempunyai beberapa kelebihan sehingga mampu mendesak orang tua itu. Sementara itu dengan menilai lawannya yang ternyata juga berilmu tinggi, maka ia mencemaskan keadaan Glagah Putih, yang lawannya mungkin memiliki kemampuan seimbang dengan lawannya sendiri. Sedangkan di lingkaran pertempuran yang agak jauh di seberang pendapa, istrinya sedang bertempur dengan lawan yang jumlahnya terlalu banyak. Demikian pula adik perempuannya dan saudara seperguaruannya, yang dinilai kurang greget untuk meningkatkan ilmunya, apalagi sepeninggal gurunya. Namun Swandaru untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu ternyata mengalami kesulitan. Lawannya ternyata berilmu tinggi, karena ia adalah saudara seperguruan Ki Wreksadana. Tetapi Swandaru, murid utama Perguruan Orang Bercambuk itu juga menggelisahkan lawannya. Bagi lawannya, Swandaru masih terhitung muda. Tetapi orang yang agak gemuk itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar dan kemampuan sangat tinggi. bersambung APIDI BUKIT MENOREH EPS 333 Ki Tanu Metir tersenyum. Tetapi bukankah Adipati Adiwijaya juga menuntut janji yang diberikan oleh Ratu Kalinyamat kepadanya? Sudahlah Ngger. Aku terlampau banyak ♦ 15 Juli 2010 Agung Sedayu tidak dapat segera melihat dengan jelas apa yang terjadi dengan pasukan Pati. Namun menurut pendapat Agung Sedayu, induk pasukan Pati di bawah pimpinan langsung Kanjeng Adipati Pati telah berada di sebuah padukuhan yang cukup besar tetapi kosong. Para penghuninya yang sejak semula telah mengungsi, masih belum kembali ke padukuhan mereka. “Apakah Kanjeng Adipati Pati benar-benar terlepas dari tangan prajurit Mataram?“ bertanya seorang prajurit yang menyertai Agung Sedayu. “Agaknya demikian. Ketika kita berangkat dari benteng perkemahan, Kanjeng Adipati tidak dijumpai di antara mereka yang tertawan. Tetapi melihat besarnya pasukan yang berhasil meloloskan diri, maka Kanjeng Adipati tentu ada di antara mereka.” Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi. Beberapa puluh patok di hadapan mereka, kelompok demi kelompok pasukan Pati berdatangan. Di padukuhan itu agaknya mereka ingin menyusun kekuatan mereka kembali. Malam yang turun pun menjadi semakin dalam. Agung Sedayu masih tetap berada di tempatnya, untuk melihat apa yang terjadi dengan para prajurit Pati itu. Dari kejauhan Agung Sedayu melihat cahaya api yang menerangi dedaunan yang mencuat melampaui tingginya dinding padukuhan itu. Dengan demikian maka Agung Sedayu dapat menduga bahwa para prajurit Pati itu telah memasang oncor-oncor di beberapa tempat di padukuhan itu. “Perapian,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. “Mungkin sekali,“ jawab prajuritnya, “pasukan itu tentu letih dan lapar.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Pasukan kecilnya juga letih dan lapar. Tetapi Agung Sedayu telah memerintahkan beberapa orang dari para prajuritnya untuk mengusahakan pangan bagi pasukan kecil itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membawa dua orang prjurit yang telah dipilihnya dari antara prajurit dari Pasukan Khusus itu, untuk mendekati perkemahan para prajurit Pati. Dengan sangat berhati-hati, mereka merayap mendekat. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa para prajurit Pati itu tentu juga meletakkan beberapa orang pengawas di luar padukuhan itu. Namun Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya itu berhasil mendekati dinding padukuhan. Bahkan kemudian bertiga telah meloncat masuk dengan sangat berhati-hati. Ternyata seperti yang mereka duga, para prajurit Pati itu memang telah menyalakan beberapa buah oncor di belakang gerbang padukuhan dan di beberapa regol halaman rumah. Namun yang menarik perhatian Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya adalah, bahwa para prajurit Pati itu telah membuat sebuah dapur yang cukup besar untuk menyediakan makan bagi prajurit-prajurit yang lapar itu. “Ternyata padukuhan ini memang disiapkan untuk menampung pasukan Pati jika mereka bergerak mundur,“ desis Agung Sedayu. “Agaknya pasukan Pati mundur lewat jalur yang mereka lewati ketika mereka berangkat ke Prambanan,“ desis seorang prajuritnya, “ternyata di padukuhan ini telah tersedia bahan pangan bagi mereka.” “Ada dua kemungkinan,“ sahut Agung Sedayu, “padukuhan ini memang merupakan lumbung persediaan bahan makanan bagi pasukan Pati.” “Tetapi padukuhan ini bukan Ngaru-Aru. Bukankah Ngaru-Aru sudah dihancurkan?” “Menurut yang aku dengar, lumbung pangan di Ngaru-Aru memang sudah dihancurkan. Tetapi justru karena itu, maka Pati telah mempersiapkan lumbung yang lain, yang semula hanya merupakan tempat pemberhentian arus bahan pangan itu,“ berkata Agung Sedayu pula. “Nampaknya Pati memang tidak yakin bahwa mereka akan berhasil menembus sampai ke Mataram. Ternyata mereka telah mempersiapkan landasan pertahanan jika mereka terpaksa mundur.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng, “Bukan karena ketidak-yakinan itu. Sudah aku katakan, padukuhan ini dapat saja merupakan lumbung bahan pangan darurat setelah Ngaru-Aru dihancurkan, dengan persediaan pangan seadanya. Tetapi seandainya tempat ini merupakan landasan pertahanan kedua pun agaknya memang wajar sekali. Setiap persiapan bagi perang yang besar, tentu disiapkan pula landasan pertahanan kedua. Bahkan ketiga, sebagai landasan untuk memukul mundur lawan yang mungkin mengejarnya. Setidak-tidaknya untuk mengurangi keadaaan yang lebih parah lagi bagi pasukan yang bergerak mundur.” Kedua orang prajurit Agung Sedayu itu mengangguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka masih melihat kelompok-kelompok prajurit Pati yang datang dalam keadaan letih. Ada di antara kelompok-kelompok itu yang membawa kawan-kawan mereka yang luka, dan bahkan parah. Agung Sedayu memperhatikan pasukan yang semakin banyak berkumpul itu dengan saksama. Namun dengan demikian Agung Sedayu mengetahui bahwa pasukan Pati memang dalam keadaan parah. Jika Kanjeng Adipati tidak segera memerintahkan pasukannya menarik diri dari benteng perkemahan itu, maka keadaaannya tentu akan menjadi semakin buruk. Bahkan mungkin buruk pula bagi Kanjeng Adipati sendiri. Namun agaknya para prajurit Pati tidak terlalu lama berada di tempat itu. Setelah beristirahat, makan dan minum secukupnya, terdengar isyarat yang memanggil semua pemimpin kesatuan untuk berkumpul. Meskipun Agung Sedayu tidak dapat menyaksikan dan mendengarkan pembicaraan itu, tetapi Agung Sedayu dapat menduga bahwa para pemimpin Pati itu sedang membicarakan langkah-langkah yang akan diambil. Sebenarnyalah, Kanjeng Adpati Pati sendiri telah memimpin pertemuan itu. Selain mendengarkan laporan para pemimpin kesatuan di dalam pasukan Pati yang besar itu, Kanjeng Adipati juga memberikan perintah-perintah kepada mereka. Dari para Senapati, Kanjeng Adipati Pragola mendengar bahwa keadaan pasukannya memang parah. Sebagian dari para prajurit masih belum sampai ke tempat itu. Mungkin mereka kehilangan arah, tersesat atau bahkan tertangkap oleh pasukan Mataram. Tetapi Kanjeng Adipati tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka pasukannya harus segera meninggalkan tempat itu sebelum dini hari. “Kita tidak tahu apakah pasukan Mataram itu memburu kita atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, sulit bagi kita untuk bertahan,“ berkata Kanjeng Adipati Pragola. Dengan demikian, maka Kanjeng Adipati Pragola memang harus menarik pasukannya ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Demikianlah, Agung Sedayu menyaksikan pasukan yang masih terhitung besar tetapi dalam keadaan luka itu, bergerak lagi menuju ke utara. Agung Sedayu menyaksikan iring-iringan pasukan yang letih itu bergerak perlahan-lahan di dini hari. Sementara itu, dengan cepat pula para petugas yang menyiapkan makan dan minum mereka mengemasi alat-alat yang ada. Namun alat-alat itu segera disimpan di dalam sebuah rumah yang terhitung besar. Mereka tidak lagi menghiraukan sisa bahan pangan yang masih ada. Tidak seorang pun tinggal di padukuhan itu. Jika agaknya sebelumnya ada sekelompok petugas yang ada di padukuhan itu, maka mereka telah hanyut pula dalam iring-iringan pasukan yang menarik diri itu. Sepeninggal prajurit Pati itu, Agung Sedayu sempat melihat-lihat keadaan di padukuhan itu. Masih ada sisa bahan makanan di padukuhan itu. Masih tertinggal alat-alat dapur dan perlengkapan lainnya. Bahkan masih ada setumpuk senjata di sebuah rumah yang juga terhitung besar. Agaknya setelah Ngaru-Aru, maka padukuhan ini menjadi landasan dan penyimpanan persediaan bahan pangan. Namun Agung Sedayu harus segera menyembunyikan diri, ketika kemudian datang lagi sekelompok kecil prajurit Pati. Orang-orang yang dengan lemah memasuki padukuhan itu. Namun mereka menjadi kecewa bahwa mereka sudah tidak menemukan kawan-kawan mereka lagi. Dari bekas-bekas yang mereka lihat serta beberapa oncor yang masih menyala, mereka mengetahui bahwa kawan-kawan mereka telah meninggalkan tempat itu beberapa saat sebelumnya. Namun mereka menjadi sedikit terhibur ketika mereka masih menemukan beberapa bakul nasi hangat. Meskipun mereka tidak menemukan lauk-pauk lagi, tetapi mereka masih mendapatkan sekuah sayur yang masih hangat. Orang-orang yang letih dan lapar itu pun telah makan dengan lahapnya. Mereka tidak lagi memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Mereka tidak lagi memperhitungkan kemungkinan hadirnya prajurit Mataram di tempat itu. “Kekuatan mereka kecil,“ desis prajurit pengawal Agung Sedayu, “pasukan kita dapat menghancurkan mereka.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Biarlah mereka tetap hidup. Jika kita menghancurkan mereka, akibat yang timbul tidak akan banyak pengaruhnya. Sementara itu kita telah menebas harapan yang telah tumbuh di hati mereka.” Kedua pengawal Agung Sedayu itu pun terdiam. Mereka sebenarnya sudah menduga, bahwa mereka akan mendengar jawaban seperti itu dari mulut Agung Sedayu. Kelompok kecil itu tidak terlalu lama berada di padukuhan itu. Sejenak kemudian, mereka pun telah berangkat pula, meninggalkan nasi yang masih cukup banyak. Demikianlah, Agung Sedayu pun telah membawa kedua orang prajurit pengawalnya kembali ke pasukan kecilnya. Ternyata tiga orang di antara mereka telah berhasil mendapatkan seonggok beras dari padukuhan yang sepi di sebelah. Nampaknya jalur yang cukup luas telah dikosongkan ketika pasukan Pati mulai bergerak ke tempat yang lebih aman. Menjelang fajar, Agung Sedayu telah membawa pasukannya untuk bergerak pula. Mereka harus yakin bahwa pasukan Pati yang mengundurkan diri itu benar-benar menarik pasukannya sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Jarak antara pasukan kecil yang dipimpin Agung Sedayu itu dengan pasukan Pati memang agak jauh. Tetapi mereka tidak pernah kehilangan jejak. Agung Sedayu tahu pasti sampai dimana pasukan Pati itu bergerak. Agung Sedayu sendiri dengan kedua orang prajurit terpilihnya selalu berusaha mengamati langsung pasukan Pati itu. Ketika di malam hari pasukan Pati itu berhenti sejenak untuk beristirahat di tempat-tempat yang memang berada di jalur gerak pasukannya, Agung Sedayu selalu berusaha untuk mendekat. Demikianlah, Agung Sedayu baru akan menghentikan pengamatannya jika pasukan Pati itu telah benar-benar berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Kepada pasukan kecilnya Agung Sedayu memerintahkan untuk beristirahat satu hari, untuk meyakinkan bahwa pasukan Pati itu benar-benar bergerak terus ke utara. Sementara itu, Agung Sedayu mengijinkan prajurit-prajuritnya untuk berburu ke dalam hutan terdekat, sementara Agung Sedayu sendiri mengamati gerak pasukan Pati sehingga benar-benar hilang di utara Pegunungan, memasuki lembah yang luas, menyusuri jalan yang berkelok seperti ular yang merambat di antara hijaunya pepohonan. Baru kemudian Agung Sedayu berniat untuk membawa pasukan kecilnya itu kembali ke Prambanan. Jarak yang cukup panjang, sehingga perjalanan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu merupakan perjalanan yang berat, karena mereka tidak membawa bekal sama sekali. Agung Sedayu dan kedua orang prajurit pengawalnya yang baru kembali dari pengamatannya atas prajurit Pati yang bergerak ke utara terkejut, ketika ia melihat dua orang yang tidak dikenalnya berada didalam pasukan kecilnya. “Inilah Ki Lurah Agung Sedayu. Pemimpin kelompok ini,“ berkata seorang prajurit yang diserahi pimpinan jika Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya memisahkan diri. Kedua orang itu bangkit dan dengan hormatnya mengangguk kepada Agung Sedayu. “Maaf, Ngger,“ berkata orang itu. Seorang tua yang berjanggut pendek keputih-putihan, “Aku datang tanpa mohon ijin lebih dahulu.” “Siapakah Ki Sanak berdua?” bertanya Agung Sedayu. “Kami penghuni padepokan Tlaga Kuning, Ngger,“ jawab orang berjanggut pendek itu, “orang memanggilku Kiai Tambak Gede.” “Apakah maksud Kiai datang ke tempat ini?” bertanya Agung Sedayu. “Ki Lurah,“ berkata orang itu, “kami ingin sekali mempersilahkan sekelompok pasukan kecil ini untuk singgah di padepokan kami. Kami ingin sekali mempersilahkan para prajurit yang gagah berani ini untuk sekedar beristirahat barang satu malam. Kami ingin memberikan satu penghormatan atas keberhasilan para prajurit ini melaksanakan tugas.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kiai Tambak Gede. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Kiai terhadap pasukan kami. Tetapi Kiai jangan menilai bahwa kami sudah berhasil melaksanakan tugas kami.” “Kenapa belum berhasil? Bukankah kalian bertugas mengikuti pasukan Pati yang mengundurkan diri sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng? Sekarang, pasukan Pati itu sudah berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Nah, bukankah dengan demikian berarti bahwa tugas kalian sudah berhasil?” “Kami tidak bertugas mengikuti pasukan Pati itu Kiai,“ jawab Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Jadi apakah tugas kalian?” “Kami bertugas untuk menemukan seseorang di jalur perjalanan pasukan Pati. Tetapi kami gagal, kelompok-kelompok prajurit Pati yang terlambat yang telah kami sergap dan kami hancurkan, tidak terdapat orang yang harus kami temukan. Mungkin orang itu justru sudah berada di induk pasukan bersama Kanjeng Adipati Pragola.” “Jika demikian, bukankah itu bukan kesalahan Ki Lurah?” bertanya Kiai Tambak Gede. “Memang bukan salahku, Kiai. Tetapi tugasku telah gagal. Karena itu, tidak pantas aku menerima undangan Kiai Tambak Gede.” “Jangan berpikir terlalu jauh, Ngger. Sekarang, sisihkan segala macam persoalan. Aku mengundang Angger dan prajurit-prajurit Angger untuk singgah di padepokanku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian,ia-pun menjawab, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi aku mohon maaf Kiai, bahwa aku tidak dapat memenuhi undangan Kiai. Bahkan kami mohon diri untuk kembali, menyerahkan diri untuk mendapatkan hukuman atas kegagalan kami.“ Para prajurit dari Pasukan Khusus itu termangu mangu. Mereka tidak tahu apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Tetapi mereka tanggap, bahwa Agung Sedayu agaknya berkeberatan untuk singgah di padepokan Kiai Tambak Gede. Namun Kiai Tambak Gede itu pun berkata, “Ki Lurah, jangan terlalu tertekan karena tugas-tugas Ki Lurah. Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Namun aku mohon, Ki Lurah sempat melupakan beban itu barang satu malam saja.” Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Sekali lagi aku mohon maaf. Kiai. Tetapi aku ingin datang pada satu kesempatan yang lain.” Orang berjanggut putih itu mengerutkan dahinya. Dari sorot matanya terpancar kekecewaan hatinya yang mendalam. Namun Agung Sedayu tidak dapat mengubah keputusannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kalanya dengan nada rendah, “Apaboleh buat. Jika Angger tidak bersedia singgah, maka apa yang telah kami lakukan tidak berarti sama sekali.” “Apa yang telah Kiai lakukan?“ bertanya Agung Sedayu. “Anak-anak, maksudku para cantrik, telah memotong tidak hanya seekor kambing. Tetapi beberapa ekor. Aku tidak tahu, untuk apa daging sebanyak itu.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah para cantrik di padepokan Kiai akan dapat menyelesaikannya?” “Tetapi yang membuat kami kecewa adalah bahwa pasukan Mataram ini tidak sempat singgah di padepokan kami. Adalah satu kebanggaan bagi kami, bahwa padepokan kami pernah menjadi tempat pasukan Mataram singgah.” “Sekali lagi aku minta maaf Kiai, dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih,“ sahut Agung Sedayu. Beberapa orang prajurit yang mendengar pembicaraan itu sebenarnya memang menjadi kecewa. Jika mereka sempat singgah, maka mereka akan mendapat kesempatan beristirahat dengan tenang, sambil menikmati hidangan yang tentu lebih baik dari daging rusa yang mereka panggang di atas perapian, di padukuhan yang kosong. Tetapi tidak seorang pun yang berani mengatakannya. Demikianlah, Kiai Tambak Gede dan seorang pengiringnya itu pun kemudian telah minta diri. Ia masih saja menyatakan kekecewaannya bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak bersedia singgah barang sebentar di padepokan Kiai Tambak Gede. Demikian Kiai Tambak Gede meninggalkan mereka, Agung Sedayu segera memerintahkan pasukan kecilnya bersiap untuk kembali ke Prambanan. “Kita berangkat sekarang juga,“ berkata Agung Sedayu. Namun kemudian ia masih juga sempat bertanya, “Bagaimana mungkin kedua orang itu dapat menemukan kalian?” “Kami tidak tahu, Ki Lurah. Yang kami ketahui tiba-tiba saja keduanya telah menemui kami di sini, untuk menyatakan keinginannya agar kami bersedia singgah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku tidak senang bahwa ada orang yang tiba-tiba saja ada di antara kita.” Para prajuritnya dapat mengerti sikap Ki Lurah Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu pun berkata, “Orang yang menyebut dirinya Kiai Tambak Gede itu tahu benar apa yang sedang kita lakukan. Tentu bukan secara kebetulan atau sekedar dugaan. Tetapi orang itu tentu sudah mengamati gerak-gerak kita sebelumnya.” Prajurit yang diserahi memimpin pasukan kecil itu jika Agung Sedayu sedang mendekati gerak pasukan Pati dengan nada berat berkata, “Ya. Seharusnya kami menghindari pengamatan orang lain. Tetapi kami ternyata tidak menghindarkan diri dari pengamatan Kiai Tambak Gede.” “Sudahlah,“ berkata Agung Sedayu, “kita berangkat sekarang. Secepatnya.” Dengan cepat para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bersiap. Mereka memang tidak membawa perlengkapan lain kecuali senjata mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, pasukan kecil itu mulai bergerak kembali ke Prambanan. Namun kecurigaan Agung Sedayu membuat pasukan itu menjadi sangat berhati-hati. Sementara itu, malam yang turun pun menjadi semakin dalam. Udara yang dingin menyapu bulak-bulak panjang yang membentang di hadapan mereka. Tetapi Agung Sedayu yang berjalan di paling depan telah memberi isyarat kepada pasukan kecilnya itu untuk berhenti. “Berhati-hatilah,“ desis Agung Sedayu. “Ada apa Ki Lurah?“ bertanya seorang prajurit. Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia mulai mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu, untuk dapat melihat lebih jauh dan lebih tajam meskipun di gelapnya malam. “Aku melihat bayangan yang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu di belakang simpang empat itu.” Prajuritnya mengerutkan dahinya. Beberapa orang mencoba untuk mempertajam penglihatan mereka. Meskipun mata mereka cukup terlatih, tetapi mereka tidak segera dapat melihat sesuatu selain gelapnya malam. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Kita akan berjalan terus. Tetapi berhati-hatilah. Aku merasakan bahwa kita ada dalam bayangan niat buruk sekelompok orang. Mungkin mereka akan menyergap dengan tiba-tiba dari sebelah-menyebelah jalan. Bersiaplah dengan senjata kalian.” Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka harus memperhatikan hijaunya tanaman di sawah sebelah-menyebelah jalan, yang tumbuh dengan suburnya meskipun untuk beberapa lama tidak sempat dipelihara oleh pemiliknya, yang pergi mengungsi dari daerah jalur rawan yang mungkin dilewati pasukan dari Pati. Baru kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itu meyakini bahwa mereka benar-benar dalam bahaya. Mereka mulai melihat gerak-gerak yang mencurigakan di sebelah-menyebelah jalan yang mereka lewati. Dengan demikian, maka para prajurit itu telah mempersiapkan senjata mereka. Senjata yang akan menjadi sangat berbahaya di tangan prajurit dari pasukan Khusus, yang telah ditempa dalam satu lingkungan yang khusus pula. Ketika Agung Sedayu yang berjalan di paling depan mendekati sebatang pohon gayam yang besar yang tumbuh di dekat simpang empat itu, ia berhenti sambil mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Para prajurit dari pasukan Khusus itu pun berhenti. Namun mereka tetap berhati-hati. Dengan senjata di tangan, mereka memperhatikan setiap gerakan di belakang tanaman yang tumbuh di kotak-kotak sawah di sebelah menyebelah jalan. Tiga orang muncul dari kegelapan di bawah bayangan pohon gayam yang besar dan berdaun lebat itu. Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut ketika ia melihat Kiai Tambak Gede dan dua orang pengiringnya melangkah mendekatinya sambil berkata, “Selamat malam Ki Lurah Agung Sedayu.” Para prajurit dari pasukan Khusus itulah yang merasa heran. Tetapi tidak terlalu lama. Mereka mulai dapat mengerti, apa yang sebenarnya mereka hadapi. “Untunglah bahwa Ki Lurah mempunyai panggraita yang tajam,“ berkata salah seorang prajurit kepada kawannya. “Ya. Jika tidak, kita akan terjebak. Lebih parah lagi, jika daging kambing yang disuguhkan kepada kita itu beracun. Maka mereka tidak usah dengan susah payah bertempur dan membantai kita di dalam jebakan mereka, karena kita akan mati dengan sendirinya karena racun itu.” Kawannya mengangguk-angguk. Sementara para prajurit yang lain pun bersyukur pula di dalam hati atas ketajaman panggraita Ki Lurah Agung Sedayu. Agung Sedayu berdiri tegak diapit oleh dua orang prajurit kepercayaannya. Dengan nada dalam ia menjawab, “Selamat malam Ki Tambak Gede.” “Kita bertemu lagi Ki Lurah.” “Begitu cepat kita bertemu lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Ki Lurah, aku masih ingin mengulangi undanganku.“ “Apakah aku masih harus menjawab lagi, Ki Tambak Gede ?” Agung Sedayu justru bertanya. “Jangan begitu kasar, Ngger. Sebaiknya kau paksa dirimu untuk mendengarkan kata-kataku.” “Ki Tambak Gede,“ berkata Agung Sedayu, “sudahlah. Sebaiknya Ki Tambak Gede dapat mengerti tugas yang aku emban. Aku harus segera kembali dan memberikan laporan atas kegagalanku. Jika aku akan mendapat hukuman, biarlah hukuman itu cepat aku jalani. Jika aku mendapatkan pengampunan, biarlah aku segera berlega hati.” “Ki Lurah,“ berkata Ki Tambak Gede, “jika kau tetap menolak, sudah tentu aku merasa tersinggung. Bukan saja aku pribadi, tetapi seluruh warga perguruan Tlaga Kuning akan merasa tersinggung. Perguruan kami adalah perguruan yang besar dan dihormati. Tetapi kau Ngger, hanya seorang Lurah Prajurit, berani menolak undanganku.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah Ki Tambak Gede. Jangan berbelit-belit. Katakan apa sebenarnya maksudmu. Aku sudah muak dengan kepura-puraanmu itu.” Wajah Ki Tambak Gede menjadi tegang. Namun kemudian tiba-tiba saja ia tertawa. Wajahnya yang mulai berkeriput itu segera berubah. Yang nampak di sorot matanya bukan lagi ungkapan hatinya yang kecewa, tetapi di matanya membayang kebencian yang mendalam. Dengan kasar Ki Tambak Gede itu pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Aku akan berterus terang. Aku adalah seorang pemimpin perguruan yang telah bersumpah untuk mengabdi kepada Kanjeng Adipati Pati. Tetapi aku terlambat sampai ke Pati. Ketika pasukan Pati mulai bergerak, aku tidak ada di perguruan. Meskipun aku sudah tahu bahwa pasukan Pati akan menyerang Mataram, tetapi aku kira tidak secepat yang dilakukan oleh Kanjeng Adipati Pragola.” “Kenapa kau tidak menyusul ke Prambanan?“ bertanya Agung Sedayu. “Aku memang berniat untuk menyusul. Tetapi prajurit Mataram yang berada di Jati Anom bergerak seperti burung alap-alap. Sementara aku bergerak dengan para cantrik yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kami menemukan Ngaru-Aru sudah dihancurkan. Aku bertemu dengan sekelompok prajurit Pati yang terkoyak-koyak oleh sekelompok prajurit Mataram. Yang tersisa melarikan diri tanpa tujuan. Bahkan tidak tahu lagi, apa yang akan mereka lakukan. Mereka tidak mempunyai keberanian lagi untuk mencari dan bergabung dengan induk pasukannya, karena mereka ngeri bertemu dengan sekelompok prajurit Mataram yang bagaikan terbang menyambar-nyambar dan bahkan seakan-akan berada di segala tempat.” “Karena itu Ki Tambak Gede, mengurungkan niat untuk menyusul sampai ke Prambanan?” “Aku merasa bahwa pasukanku yang kecil tidak akan berpengaruh sama sekali.” “Lalu sekarang, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Agung Sedayu. “Aku tahu bahwa pasukanmu juga hanya kecil. Aku kagum akan keberanianmu bergerak dengan pasukan yang kecil ini,“ jawab Ki Tambak Gede. “Tetapi sayang, bahwa justru karena itu maka pasukanmu telah menggelitik aku untuk menghancurkan pasukan kecilmu. Aku ingin menghancurkan kesombongan para prajurit Mataram. Aku akan membunuh kalian semua kecuali satu atau dua orang, agar mereka dapat menceritakan, bahwa kesombongan para prajurit Mataram sudah dihancurkan oleh sebuah perguruan. Nama perguruan kami yang sebenarnya bukan Tlaga Kuning. Dan namaku bukan Tambak Gede.” Orang itu pun berkata selanjutnya. “Tetapi kau tidak perlu mengetahui nama perguruanku dan namaku yang sebenarnya, karena itu sama sekali tidak perlu bagimu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu berkata, “Tetapi sebelum aku membunuhmu, aku ingin mengatakan kekagumanku terhadap ketajaman perasaanmu. Ternyata kau tidak begitu saja menerima undanganku. Dan itu membuat kami semakin bernafsu untuk membunuh kalian semuanya, selain satu atau dua orang seperti aku katakan.” “Baiklah, Ki Sanak. Kami adalah prajurit. Kematian memang sudah membayang sejak kami menyatakan diri untuk menjadi seorang prajurit yang baik. Karena itu, kau tidak usah menakut-nakuti kami dengan kematian.” “Kau memang anak iblis,” geram orang semula mengaku bernama Kiai Tambak Gede itu, “melihat umurmu, maka kau masih belum pantas bertempur menghadapi aku. Tetapi karena kau pemimpin tertinggi yang ada, maka kau memang harus menghadapi aku. Nasibmu yang buruk telah membawamu ke tanganku.” Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang menginjak hari-hari tuanya dengan kematangan ilmu yang tinggi. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berhati-hati. Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu melihat orang itu memberikan isyarat. Ia telah mengangkat tangannya dan bahkan bersiut nyaring. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bersiap. Dari belakang gerumbul dan tanaman di sawah yang kurang terpelihara itu, muncul sosok-sosok yang menggetarkan jantung. Para prajurit Mataram itu sudah ditempa dengan keras lahir dan batinnya. Namun terasa dada mereka berdegup semakin keras melihat orang-orang berpakaian gelap yang bermunculan, seakan-akan mencuat dari kegelapan. Sekali lagi terdengar isyarat dari orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu. Dan sekali lagi jantung para prajurit itu tergetar. Mereka melihat semua orang yang muncul dari persembunyiannya itu mengambil sepotong kain berwarna kuning dan dikalungkannya di leher mereka. “Apa artinya itu,“ desis seorang prajurit. “Entahlah. Tetapi mereka datang dari padepokan Tlaga Kuning, sebagaimana dikatakan oleh orang tua itu.” “Bukan,“ sahut yang pertama, “bukankah sudah dikatakannya bahwa mereka bukan murid-murid perguruan yang bernama Tlaga Kuning?” “Orang itu sedang mengigau. Apa saja yang dikatakan, tetapi kita akan menghancurkan mereka.” Prajurit yang pertama mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kita akan menghancurkan mereka sampai orang yang terakhir.” “Atau mereka menghancurkan kita sampai orang yang terakhir pula.” “ Tidak. Ada satu atau dua orang yang akan disisakan. Nah, mudah-mudahan orang itu aku.” Kawannya tiba-tiba saja tertawa, sehingga semua orang berpaling kepadanya. “Ada apa?” bertanya seorang yang lain. “Maaf. Orang-orang yang muncul dari kegelapan itu nampaknya lucu sekali,“ jawab prajurit itu. Orang tua berjanggut putih itu menggeram. Ternyata prajurit Mataram tidak merasa ngeri melihat orang-orangnya yang berdiri tegak mematung di kotak-kotak sawah sebelah-menyebelah jalan. Dengan lantang orang itu berkata, “Kami mempunyai tiga lapis kekuatan. Yang kalian hadapi adalah pasukan Elang Emas. Tataran berikutnya adalah Elang Perak, dan lapisan yang tersusun dari para cantrik yang baru tumbuh adalah pasukan Elang Tembaga. Karena kami akan menghancurkan sekelompok prajurit Mataram, maka aku siapkan putut dan cantrik yang termasuk tataran kemampuan tertinggi.” “Ki Sanak. Kenapa tidak semua cantrikmu kau kerahkan? Bukankah pertempuran dengan prajurit Mataram akan menjadi pengalaman yang sangat baik bagi pasukan Elang Perak dan Elang Tembagamu itu?” bertanya Agung Sedayu. Orang itu menggeram. Katanya, “Kau benar-benar orang yang sombong, Ki Lurah. Tetapi kau akan menyesal.” “Tidak. Apapun yang terjadi, kami tidak akan menyesal. Bagi kami, jika kami harus kau bantai sampai habis, maka kami akan mati sambil tersenyum daripada mati sambil menangis. Kesombongan kadang-kadang memberikan kebanggaan bagi kami.” “Setan alas!“ bentak orang itu hampir berteriak. Lalu iapun berteriak pula, “Bunuh semua orang, kecuali dua orang yang menyerah dan mohon ampun! Siapa yang lebih dahulu menyerah dan mohon ampun, maka mereka-lah yang akan tetap hidup.” Agung Sedayu pun kemudian telah memberikan isyarat pula kepada prajurit-prajuritnya untuk memasuki sebuah pertempuran yang keras. Demikianlah, orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu mulai bergerak. Mereka semuanya bersenjata sebuah tongkat baja yang tidak terlalu panjang. Sejenak kemudian, orang-orang dari pasukan Elang Emas itu sudah meloncati parit di pinggir jalan dengan sigapnya. Tetapi prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu telah mempersiapkan senjata mereka pula. Sebagian besar prajurit dari Pasukan Khusus itu bersenjata pedang. Sedangkan sebagian kecil bersenjata tombak pendek. Tetapi sebagai kelengkapan dari Pasukan Khusus, maka mereka juga bersenjata pisau belati panjang yang mereka pergunakan dalam keadaan yang khusus. Tetapi bukan hanya itu. Sebenarnyalah dalam tugas yang berat itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu dilengkapi pula dengan pisau-pisau belati kecil yang merupakan senjata lontar yang sangat berbahaya. Sejenak kemudian kedua kekuatan itu sudah saling berbenturan. Orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu bergerak dengan cepat. Dalam waktu yang singkat, mereka seluruhnya telah terlibat dalam pertempuran yang dengan cepat pula meningkat. Orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu tertawa. Katanya, “Ki Lurah. Kau lihat bahwa orang-orangku lebih tangkas, lebih kuat, lebih terlatih dan lebih banyak. Apa yang kau andalkan? Kau sendiri tentu tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanku. Jangankan seorang Lurah prajurit, seorang Tumenggung pilihan pun tidak akan dapat menandingi kemampuanku. Menurut perhitunganku, hanya ada lima orang yang dapat mengalahkan aku di seluruh wilayah kekuasaan Mataram dan Pati. Mereka adalah Panembahan Senapati, Ki Juru Mertani, Kanjeng Adipati Pragola, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi. Aku meragukan kemampuan orang-orang lain yang pernah disebut namanya di Mataram dan Pati. Aku tidak gentar mendengar nama Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, atau Adipati Pajang atau Adipati manapun juga. Juga nama-nama besar para Senapati Pati, dan bahkan orang-orang yang disebut berilmu tinggi yang ada di sekitar Kanjeng Adipati Pragola. Mereka tidak lebih dari penjilat-penjilat yang tidak mempunyai kemampuan apapun juga. Nah, sekarang kau hanya seorang Lurah prajurit. Pertimbangkan pendapatku. Bagaimana jika kau adalah orang pertama yang menyerah? Kau akan mendapat pengampunan, dan aku persilahkan kau pulang memberikan laporan kepada Panembahan Senapati, bahwa prajurit-prajuritmu telah habis dibantai oleh pasukan Elang Emas dari perguruan yang setia kepada Kanjeng Adipati Pati.” Agung Sedayu dengan serta merta menyahut, “Sebut nama perguruanmu dan sebut namamu.” “Itu tidak perlu Ki Lurah,” jawab orang itu. “Jika demikian, aku tidak akan menyerah. Laporanku tentu dianggap tidak lengkap. Apakah aku hanya cukup mengatakan bahwa pasukan kecilku dibantai oleh sebuah perguruan yang dipimpin oleh seorang yang berjanggut pendek yang sudah memutih?” Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Rasa-rasanya aku memang ingin membunuhmu.” Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia sadar bahwa lawannya tentu orang berilmu tinggi, yang menyejajarkan diri dengan seorang yang disebut Ki Gede Candra Bumi, dan bahkan Kanjeng Adipati Pragola sendiri. Melihat sikap Agung Sedayu, maka orang berjanggut Putih itu berkata, “Baiklah. Agaknya kau memang seorang Lurah prajurit yang baik. Karena itu, kita akan menyelesaikan persoalan kita di arena pertempuran. Agaknya kau ingin mati sebagai seorang prajurit. Bukan sebagai seorang pengecut.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur dengan garangnya. Ketika orang berjanggut putih itu sempat melihat sekilas, maka iapun menggeram, “Setan prajurit-prajurit Mataram.” Sebenarnyalah bahwa para prajurit dari Pasukan Khusus yang jumlahnya lebih kecil dari lawannya itu mampu mengimbangi kekuatan lawannya. Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu tidak mampu menguasai medan. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur sambil bergerak dengan cepat. Mereka bergeser menghindar, namun sambil menyerang. Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu dengan cepat telah mengerahkan kemampuan mereka. Agaknya pemimpinnya itu telah memerintahkan agar mereka dengan cepat pula menguasai lawannya. Bahkan membunuh mereka sampai hanya tersisa dua orang saja. Tetapi ternyata mereka tidak segera dapat melakukannya. Meskipun Pasukan Elang Emas adalah mereka yang terpilih dari tataran terbaik dari perguruannya, tetapi menghadapi Pasukan Khusus yang ditempa oleh Agung Sedayu itu, para putut dan cantrik terpilih itu tidak segera dapat menguasainya. Sebenarnyalah para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak ubahnya para cantrik dari sebuah padepokan yang berlatih dengan bersungguh-sungguh tanpa mengenal jenuh. Mereka ditilik secara pribadi oleh Agung Sedayu, seorang Lurah prajurit yang kebetulan memiliki landasan ilmu yang sangat tinggi. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun kemudian telah menjadi semakin sengit. Para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berusaha dengan cepat menghancurkan lawan-lawannya, sementara para prajurit dari Pasukan Khusus pun dengan tegar mengimbanginya. Untuk beberapa saat orang berjanggut pendek yang berwarna keputih-putihan itu sempat melihat keadaan medan. Dahinya berkerut semakin dalam. Ia tidak menduga, bahwa kemampuan prajurit Mataram itu mampu mengimbangi para putut dan cantrik terpilihnya, yang termasuk dalam pasukan Elang Emas itu. Sebenarnyalah bahwa para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu harus mengerahkan kemampuan mereka. Namun bekal mereka memang sudah cukup untuk menghadapi pasukan Elang Emas itu. Dengan pedang keprajuritan yang dibuat khusus bagi Pasukan Khusus itu, para prajurit Mataram menghadapi tongkat-tongkat baja di tangan para putut dan cantrik itu. Beberapa orang prajurit yang bersenjata tombak pendek memutar tombaknya seperti baling-baling. Benturan benturan telah terjadi. Para putut dan cantrik itu berusaha untuk mematahkan landean tombak pendek yang terbuat dari kayu itu. Tetapi tangan-tangan para prajurit yang trampil itu mampu menghindari benturan langsung. Bahkan sedap kali ujung tombak itu terayun mendatar menyambar ke arah lambung dan dada, sehingga para cantrik itu harus berloncatan mundur. “Apa yang telah kau perbuat atas para prajuritmu, sehingga mereka memiliki kemampuan secara pribadi yang tinggi itu?” bertanya orang berjanggut pendek itu. “Bukankah setiap prajurit Mataram harus berilmu tinggi?“ jawab Agung Sedayu. “Kau memang sombong. Tetapi sebentar lagi kau akan mati, dan semua prajuritmu akan mati.” Agung Sedayu tidak mejawab. Ketika orang berjanggut pendek itu bergeser, maka Agung Sedayu pun bergeser pula. “Tetapi kau memang tidak akan mati lebih dahulu, Ki Lurah. Aku akan melumpuhkanmu dan memaksamu melihat satu demi satu prajurit-prajuritmu dibantai di hadapanmu, sementara kau tidak dapat melindunginya. Baru kemudian, setelah tinggal dua orang prajuritmu yang akan tersisa hidup, kau akan aku cekik sampai mati. Nah, sekarang bersiaplah.” Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dengan segala keyakinan untuk dengan cepat menguasai Lurah yang masih terhitung muda itu, orang berjanggut pendek itu mulai mengayunkan tangannya. Sekedar untuk memancing lawannya. Tetapi Agung Sedayu pun turun ke medan dengan keyakinan yang teguh. Tanpa merendahkan lawannya. Agung Sedayu menghadapinya dengan tenang dan percaya diri. Melihat sikap Ki Lurah itu, maka darah orang berjanggut pendek itu menjadi semakin panas. Karena itu, sejenak kemudian serangan-serangannya pun mulai mengarah. Tenaganya menjadi semakin besar, dan geraknya pun menjadi semakin cepat. Tetapi Agung Sedayu pun selalu mampu mengimbanginya. Agung Sedayu pun telah meningkatkan tenaganya serta mempercepat geraknya sebagaimana lawannya. Dengan demikian, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka selapis demi selapis. Lawan Agung Sedayu yang ingin mengetahui puncak kemampuan ilmu Agung Sedayu itu mulai menjadi gelisah. Kemampuan yang ditunjukkan oleh Lurah prajurit itu sudah lebih tinggi dari yang diduganya. Tetapi ketika orang itu meningkatkan kemampuannya selapis lagi, ternyata Agung Sedayu masih tetap mampu bertahan. “Darimana kau sadap ilmumu itu Ki Lurah?“ geram orang itu. Agung Sedayu meloncat menghindari serangan lawannya sambil menjawab, “Aku adalah Lurah prajurit dari Pasukan Khusus. Karena itu, aku telah mendapat latihan-latihan yang berat dari para Senapati di Mataram.” “Kau jangan membual. Setinggi-tinggi ilmu seorang Lurah prajurit, tidak akan mampu melawan aku sampai tataran ini.” “Ternyata aku dapat melakukannya. Sementara prajurit-prajuritku mampu melawan orang-orangmu yang terbaik, yang kau sebut pasukan Elang Emas itu.” “Tidak ada orang Maratam yang mampu melawan aku, kecuali Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati sendiri.” “Omong kosong. Nampaknya kau belum pernah bertemu dengan para pemimpin Mataram, para Tumenggung dan Senapati terpilihnya. Kau juga belum pernah bertemu dengan orang-orang tua di padepokan-padepokan dan perguruan-perguruan.” “Cukup. Aku akan membungkam mulutmu,“ geram orang itu. Agung Sedayu meloncat mengambil jarak. Sambil tertawa ia berkata, “Kenapa kau masih mengambil ancang-ancang. Bukankah kita sudah bertempur? Jika kau mampu membungkam mulutku, tentu sudah kau lakukan.” Orang itu menggeram. Wajahnya menegang dan sambil menggeretakkan gigi ia berkata, “Aku akan memaksamu merengek minta ampun, atau bahkan minta aku segera membunuhmu.” “Apa lagi yang akan kau lakukan? Apa lagi yang kau tunggu Ki Sanak?” Orang itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Agung Sedayu meloncat sekali lagi mengambil jarak. Ia mulai merasakan sentuhan udara yang hangat menyambar tubuhnya, sejalan dengan ayunan tangan lawannya itu. Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara itu, lawannya ternyata tidak segera memburunya. Seakan-akan orang berjanggut pendek itu sengaja memberi kesempatan Agung Sedayu untuk menilai keadaan. “Apakah kau akan berusaha melarikan diri?“ bertanya orang itu. “Kenapa aku harus melarikan diri?” bertanya Agung Sedayu, “Aku masih utuh. Kulitku belum tergores luka dan darahku masih mengalir wajar di dalam tubuhku.” “Tetapi kau mulai mencium kemampuanku,“ jawab orang itu. Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, “Kau sejak tadi hanya berbicara tentang kemampuan, mengancam dan mengambil ancang-ancang. Tetapi kau tidak dapat berbuat apa-apa.” Orang berjanggut pendek dan berwarna keputih-putihan itu menggeram. Iapun segera meloncat menyerang pula. Ayunan tangannya mendatar ke arah kening. Namun Agung Sedayu sempat meloncat mengelakkan serangan itu. Serangan itu memang tidak berhasil. Namun sambaran anginnya telah memancarkan udara panas, menerpa kulit Agung Sedayu. Telah berkali-kali Agung Sedayu menjumpai ilmu seperti itu. Ia sendiri mampu melakukannya. Jika ia menghentakkan ilmu kebalnya pada puncak tertinggi, maka kekuatan ilmu kebalnya itu juga memancarkan getar panas yang memanasi udara di sekitarnya. Karena itu, Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut. Dengan demikian, pertempuran selanjutnya pun masih berlangsung dengan sengitnya. Udara panas itu tidak banyak berpengaruh atas Agung Sedayu. Loncatan-loncatan yang panjang mampu memperkecil pengaruh udara panas atas kulit Agung Sedayu. Lawan Agung Sedayu itu menjadi semakin heran. Ilmunya itu seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi Agung Sedayu. “Lurah prajurit yang masih terhitung muda ini ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi,“ berkata orang itu di dalam hatinya. Ia memang menjadi heran, bahwa seorang Lurah prajurit dapat bertahan sampai tataran yang terhitung tinggi itu. “Aku tidak yakin, bahwa kemampuannya itu didapatnya dari lingkaran keprajuritan,“ katanya di dalam hati. Namun kemarahan orang itu telah mendorongnya untuk melepaskan ilmu yang lebih tinggi lagi. Bukan saja getar sambaran angin dari ayunan serangan-serangannya terasa panas. Tetapi serangan-serangan orang itu menjadi semakin cepat. Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya terguncang dan bahkan ia terlempar beberapa langkah surut. Lawannya sama sekali tidak menyentuh wadagnya. Tetapi rasa-rasanya sebuah pukulan yang keras telah mengenai dadanya. Semula Agung Sedayu menduga bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang mempunyai ciri serangan-serangannya mendahului sentuhan kewadagannya, sebagaimana yang pernah juga dihadapinya. Tetapi ternyata tidak. Orang itu berdiri pada jarak yang tidak terlalu dekat. Juga tidak nampak kilat sinar atau percikan warna yang meloncat dari tangan atau sorot matanya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu memang agak mengalami kesulitan untuk menghindari serangan-serangan orang itu. Beberapa kali Agung Sedayu telah terguncang. Meskipun ia berusaha untuk menghindar, namun serangan-serangan itu masih selalu mengenainya. Agung Sedayu hanya dapat menduga arah serangan lawannya dari sudut pandang matanya serta arah gerak tangannya. Namun kadang-kadang ia memang terlambat. Setiap kali Agung Sedayu terguncang, maka orang itu pun tertawa sambil berkata, “Jangan menyesal Ki Lurah. Kau akan menjadi sasaran permainan ilmuku. Kau akhirnya akan kehabisan tenaga, kesakitan dan penuh penyesalan. Dalam keadaan yang demikian, kau akan melihat prajurit-prajuritmu dibantai habis oleh orang-orangku dari pasukan Elang Emas.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi beberapa kali ia masih terguncang, jatuh berguling dan kemudian meloncat bangkit. Suara tertawa orang berjanggut putih pendek itu terdengar berkepanjangan. Serangannya semakin lama semakin sering. Ia menjadi semakin gembira melihat Agung Sedayu jatuh dan bangun menghadapinya. Namun akhirnya Agung Sedayu itu mengibaskan pakaiannya sambil berkata, “Maaf Ki Sanak. Aku sudah jemu bermain-main dengan cara ini. Apakah kau masih mempunyai permainan lain yang lebih menyenangkan?” Orang itu terkejut. Ketika ia menyerang lagi, maka Agung Sedayu masih saja tetap berdiri, meskipun sekali-kali ia bergeser setapak. “Iblis. Kau pakai perisai apa Ki Lurah?“ bertanya orang itu hampir berteriak. Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Agung Sedayu-lah yang kemudian tertawa sambil berkata, “Permainanmu mulai menjemukan Ki Sanak.” Beberapa kali orang itu menyerang. Tetapi serangannya sia-sia saja. Agung Sedayu telah menyelimuti dirinya dengan ilmu kebalnya, sehingga serangan-serangan orang itu tertahan tanpa menyakitinya. Orang berjanggut pendek itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu, bahwa lawannya, seorang lurah Prajurit, telah mampu mengimbangi ilmunya. Karena itu, kemarahannya pun telah membakar jantungnya, sehingga orang itu pun telah menghentakkan ilmunya sampai ke puncak. Serangan-serangannya memang mampu menggetarkan perisai Ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi ilmunya itu tidak mampu menembusnya. Semakin meningkat kekuatan ilmunya sehingga mencapai puncaknya, maka ilmu kebal Agung Sedayu pun menjadi semakin rapat dan semakin tebal pula. Akhirnya orang itu harus mengakui, bahwa ilmunya itu tidak akan mampu menembus perisai ilmu lawannya. Karena itu, maka iapun menggeram, “Darimana kau curi ilmu kebalmu itu, he?” “Kenapa harus mencuri?“ bertanya Agung Sedayu. “Persetan dengan ilmu kebalmu. Tetapi dengan pusakaku, kau tidak akan mampu bertahan. Pusakaku akan mampu mengoyak ilmu kebalmu dan langsung menghunjam ke dalam jantungmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Namun jantungnya memang menjadi berdebar-debar ketika ia melihat lawannya itu mencabut sebilah keris. “Jangan menyesal,” geram orang itu, “kerisku akan mengakhiri kesombonganmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Ia menyadari bahwa keris lawannya adalah keris yang sangat baik. Bukan saja buatannya. Bukan pula karena pamornya serta permata yang melekat pada ukirannya. Tetapi nampaknya keris itu memang pusaka yang diandalkannya, sehingga keris itu dapat meningkatkan kekuatan jiwani serta ketegaran hati orang yang memegangnya. Ketika keris itu mulai berputar, maka Agung Sedayu pun mulai merasakan sentuhan getaran udara panas yang seakan-akan menjadi berlipat. Apalagi ketika keris itu diayunkan. Rasa-rasanya kemampuan lawannya itu mulai menyusup ilmu kebalnya sedikit demi sedikit. Rasa-rasanya ujung-ujung dari mulai menyentuh kulitnya di bawah lapisan ilmu kebalnya. Agung sedayu pun menyadari, bahwa dengan keris di tangannya, orang itu menjadi semakin tegar, sehingga kemampuan ilmunya menjadi bertambah. Tetapi Agung Sedayu pun mengerti, jika angin yang timbul dari ayunan senjatanya saja telah mampu menyusup ilmu kebalnya, maka ujung keris itu sendiri tentu akan mampu menembus kulitnya dan mengoyakkan dagingnya. Bahkan ujung keris itu tentu akan mampu menghunjam di dadanya dan menembus sampai ke jantung. Karena itu, Agung Sedayu tidak akan membiarkan dirinya mengalami cedera. Sehingga dengan demikian, iapun harus menggapai tataran yang lebih tinggi lagi untuk melawan orang berjanggut putih itu. Namun dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di sekitarnya pun minta perhatiannya pula. Ternyata para prajuritnya mengalami kesulitan melawan pasukan Elang Emas yang jumlahnya memang lebih banyak itu. Lawannya yang mengetahui bahwa perhatian Agung Sedayu sekilas tertarik kepada pertempuran di sekitarnya pun berkata, “Ki Lurah. Pertempuran tidak akan berlangsung lama lagi. Satu-satu orang-orangmu akan mati terkapar di bulak ini. Besok pagi burung-burung gagak akan bersantap di sini.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi Agung Sedayu tidak meneriakkan aba-aba. Ia mulai melihat bahwa prajurit-prajuritnya dari Pasukan Khusus itu mampu mengambil keputusan untuk mengatasi kesulitannya tanpa mendapat perintahnya. Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Tongkat-tongkat baja para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berputaran menyambar-nyambar. Seorang prajurit yang bersenjata tombak, ternyata gagal menyelamatkan landean tombaknya. Ketika terjadi benturan yang sangat keras dengan seorang putut yang ilmunya mulai mapan, maka landean tombaknya itu patah. Malang bagi prajurit itu, yang terlepas dari tangannya adalah justru landean tombaknya yang di bagian ujungnya, sehingga mata tombaknya ikut terlepas pula. Lawannya mulai menyeringai seperti hantu yang memandang sosok korbannya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat. Tongkatnya mulai terayun-ayun siap menimpa dan memecahkan kepala prajurit yang kehilangan senjatanya itu. Namun tiba-tiba putut itu terpekik. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja, sebuah pisau kecil datang menyambarnya. Sejenak putut itu terhuyung-huyung. Namun sebuah pisau belati yang tajam yang lebih panjang telah mematuk dadanya, menghunjam sampai ke jantung. Putut itu pun jatuh terjerembab. Tetapi ia tidak sempat lagi mengaduh. Dengan demikian, maka pisau pisau kecil pun mulai berperan dalam pertempuran itu. Beberapa orang putut dan cantrik telah jatuh menjadi korban pisau-pisau kecil yang dilontarkan oleh para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Orang berjanggut pendek itu pun mulai melihat perubahan keseimbangan yang terjadi di medan pertempuran itu. Tetapi orang itu tidak dapat berbuat banyak. Ia sendiri terikat dalam pertempuran dengan Lurah prajurit yang berilmu tinggi itu. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh orang berjanggut pendek itu adalah meneriakkan perintah-perintah untuk meningkatkan gelora perlawanan bagi para putut dan cantrik-cantriknya. Para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu semakin lama memang semakin menguasai medan. Lawannya yang lebih banyak itu mulai menyusut meskipun perlahan-lahan. Seorang putut menjadi sangat marah, ketika lawannya melemparkan pisau kecil ke arah dadanya. Namun ia sempat menggeliat, sehingga pisau itu tidak tertancap di dadanya. Namun luka di lengannya itu telah menitikkan darah. Ketika putut itu bergerak semakin banyak, darah pun mengalir semakin banyak pula. “Licik kau,” geram Putut itu. “Kenapa?“ bertanya prajurit yang melukainya, sambil mempersiapkan diri menghadapi Putut yang melangkah mendekatinya sambil mengayun-ayunkan tongkat bajanya. “Kau melempar pisau-pisau kecil.” “Kenapa licik? Itu salah satu jenis senjataku,“ jawab prajurit itu. “Aku akan mencabik-cabik tubuhmu sampai lumat,” geram Putut itu. “O, kau kira kau benar-benar seekor burung elang yang mampu mencabik-cabik seekor anak ayam? He, jika seekor burung wulung terbang melingkar-lingkar, maka induk ayam pun berkotek memberi isyarat anak-anaknya agar bersembunyi. Tetapi wulung emas seperti kalian pun agaknya hanya dapat menakut-nakuti anak ayam.” Putut itu tiba-tiba berteriak sekeras-kerasnya. Getaran suaranya bagaikan mengguncang udara di seluruh medan pertempuran itu. Kemarahan yang bagaikan membakar jantung itu mencari saluran agar jantungnya tidak meledak. Prajurit itu terkejut. Bahkan para prajurit yang lain pun terkejut pula. Teriakan itu bagaikan membakar daun telinga. Para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas yang mendengar teriakan itu, bagaikan bangkit dari cengkaman kelelahan dan kesulitan menghadapi kemampuan lawan. Tiba-tiba saja mereka bergerak lebih cepat, dan kekuatan mereka yang menyusut pun telah tumbuh kembali. Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Namun para prajurit dari Pasukan Khusus itu sama sekali tidak tergetar. Mereka masih tetap bertempur dengan garang. Pisau kecil mereka masih saja menyambar-nyambar. Sementara itu, lawan Agung Sedayu itu pun telah mengerahkan kemampuan ilmunya pula. Menurut perhitungannya, para putut dan cantrik itu tidak segera dapat memenangkan pertempuran. Karena itu, maka ia harus segera mampu menembus ilmu kebal lawannya itu. Dengan demikian, maka keris itu pun berputar semakin cepat. Sambaran udara yang panas terasa semakin menekan. Getaran-getaran yang tajam terasa menusuk-nusuk kulit, menyusup ilmu kebalnya. Agung Sedayu yang mulai terdesak itu tidak ingin segera mempergunakan kemampuan sorot matanya. Tetapi sebagai murid utama dari perguruan Orang Bercambuk, maka Agung Sedayu pun segera mengurai cambuknya. Lawannya terkejut melihat cambuk Agung Sedayu. Bahkan ia bergeser selangkah surut. Dengan nada tinggi ia berdesis, “Orang Bercambuk. He, apakah kau mempunyai hubungan dengan Orang Bercambuk yang pernah berkeliaran di pesisir utara?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia bertemu dengan gurunya pertama kali di Dukuh Pakuwon, tidak terlalu jauh dari Sangkal Pulung. Tetapi pengembaraan Kiai Gringsing memang tidak terbatas. “Apakah kau pernah mengenal Orang Bercambuk?” bertanya Agung Sedayu. “Aku pernah mendengar namanya. Tetapi aku belum pernah bertemu.” “Apakah kau menyangka bahwa akulah orang bercambuk itu?” “Tentu tidak,” jawab orang itu, “mungkin kau cucunya, atau murid dari murid Orang Bercambuk itu.” “Siapapun aku, tetapi aku adalah Lurah prajurit Mataram. Menyerahlah. Aku akan membawamu ke Prambanan. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, melawan prajurit Mataram yang sedang menjalankan tugasnya.” “Setan kau,” geram orang itu. Tiba-tiba saja serangannya datang membadai, sehingga Agung Sedayu harus berloncatan mundur beberapa langkah. Sementara itu, terdengar lagi seorang putut yang berteriak sekeras-kerasnya, sehingga seakan-akan dedaunan di pepohonan telah berguncang. Daun yang kering telah berguguran, berserakan di jalan yang kotor. Ternyata teriakan-teriakan oleh beberapa orang putut itu memang berpengaruh. Namun para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas telah terkejut pula, ketika tiba-tiba cambuk Agung Sedayu meledak. Getaran suara cambuk itu seakan-akan telah mengoyak selaput telinga para putut dan cantrik itu. Namun orang berjanggut pendek itulah yang kemudian tertawa. Katanya, “Aku salah duga. Ternyata kau tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Orang Bercambuk itu. Agaknya kau tidak lebih dari seorang gembala kambing yang kebetulan menjadi prajurit.” Agung Sedayu memandang wajah orang itu dengan tajamnya. Tetapi ia tidak berniat menghentikan perlawanannya dengan sorot matanya. Tetapi cambuk yang sudah ada di tangannya itu mulai bergetar lagi. Satu ledakan lagi lelah mengguncang malam yang hiruk pikuk oleh pertempuran itu. Para putut dan cantrik semakin tergetar hatinya. Suara cambuk itu terdengar lebih keras dan menghentak daripada teriakan-teriakan para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu. Tetapi orang berjanggut pendek itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Ketika aku merasakan benturan ilmu kebal yang menyelimuti dirimu, aku mengira bahwa kau memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mendengar ledakan cambukmu yang seolah olah mengguncang bumi itu, justru aku tahu bahwa kemampuanmu tidak lebih dari perisai ilmu kebalmu, yang pada puncak pengetrapannya memancarkan udara panas yang tidak banyak pengaruhnya itu.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Ki Lurah. Jika semula aku mulai mengagumimu, maka ternyata kemudian kau tidak lebih dari dugaan sebelum kita mulai bertempur. Karena itu, maka sekali lagi aku menawarkan, menyerahlah. Kau akan tetap hidup. Justru kau akan aku beri kesempatan untuk kembali menghadap Panembahan Senapati dan memberikan laporan, bahwa semua prajuritmu telah mati dibantai oleh seorang pengikut Kanjeng Adipati Pragola.” Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Namun kemudian dihentakkannya cambuknya sendal pancing. Cambuk itu tidak meledak seperti sebelumnya. Suaranya tidak memekakkan telinga atau bahkan merontokkan isi dada. Tetapi hentakan cambuk yang tidak mengejutkan seorang putut dan cantrik itu ternyata telah menggetarkan jantung lawannya. Ilmu yang terpancar dari hentakan cambuk itu mampu menyusup ke relung-relung di dalam dadanya, sehingga di luar sadarnya orang itu telah tergetar selangkah surut. Dalam ketegangan, orang itu mendengar suara Agung Sedayu, “Kenapa Ki Sanak? Apa yang mengejutkanmu? Ketika cambukku meledak, kau sama sekali tidak terkejut. Tetapi justru ketika cambukku tidak melepaskan suara, kau tersentak seperti melihat hantu.” “Kau memang iblis,“ geram orang itu. Tetapi orang itu tidak banyak berbicara lagi. Dengan garangnya orang itu mulai lagi meloncat menyerang. Ayunan kerisnya yang berputar itu telah menaburkan udara yang panas, dan bahkan mampu menyusup ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi pada saat itu, Agung Sedayu telah memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran. Ia berniat untuk menangkap orang berjanggut pendek itu, karena menurut pendapatnya orang itu sangat berbahaya bagi para prajurit Mataram. Kesatuan-kesatuan kecil Mataram yang bertugas di sekitar padepokannya akan benar-benar dapat dimusnahkannya. Agaknya orang itu bukan orang yang sekedar mengancam dan menakut-nakuti. Dengan demikian, maka cambuk Agung Sedayu itu pun segera berputaran, menghentak dan menggeliat, memburu lawannya yang berloncatan menghindarinya. Namun sekali-sekali orang itu masih juga berusaha menyerang dengan kerisnya, yang jika berhasil, akan mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, orang berjanggut pendek itu menjadi semakin terdesak. Ujung cambuk Agung Sedayu semakin dekat menggapai-gapai tubuhnya. Meskipun demikian, orang itu masih sempat berkata, “Ternyata kau bukan seseorang yang menerima keturunan ilmu dari Orang Bercambuk yang berkeliaran di pesisir utara itu. Meskipun aku belum pernah mengenalnya, tetapi aku pernah mendengar cerita tentang orang itu.” “Kau nampak dalam kebingungan Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan cambuknya, sehingga orang itu meloncat surut. “Tadi kau mengatakan bahwa aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Orang Bercambuk itu, ketika kau dengar cambukku meledak mengatasi teriakan-teriakan orang-orangmu. Sekarang kau katakan bahwa aku bukan orang yang menerima keturunan ilmu Orang Bercambuk itu, karena agaknya kau melihat alur dan unsur ilmu yang berbeda dari cerita yang pernah kau dengar dari orang lain.” “Persetan dengan igauanmu,” geram orang itu. “Menyerahlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kau tidak boleh berkeliaran lagi. Kau sangat berbahaya bagi prajurit-prajurit Mataram.” Orang itu tidak menjawab. Tetapi orang itu bertempur semakin garang. Agung Sedayu memang tidak melihat kemungkinan untuk memaksa orang itu menyerah. Ia tidak akan melakukannya di hadapan murid-muridnya yang terpilih. Sementara itu, keadaan murid-muridnya pun tidak menjadi lebih baik. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu ternyata mampu mengatasi perlawanan pasukan Elang Emas, yang jumlahnya semula lebih banyak dari pasukan kecil prajurit Mataram yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu. Dari waktu ke waktu, kemampuan perlawanan pasukan Elang Emas itu semakin menyusut, sehingga mereka pun menjadi semakin terdesak pula. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu berhasil menyusut jumlah lawannya. Meskipun ada juga korban di antara para prajurit, tetapi para putut dan cantrik yang tergabung dalam pasukan Elang Emas itu menyusut lebih cepat. Pisau-pisau kecil yang lepas dari tangan para prajurit itu hinggap di dada, lambung, dan bahkan di leher mereka. Sementara itu, pedang dan ujung-ujung tombak para prajurit pun terayun-ayun menebas, mematuk dan menyambar-nyambar. Tidak ada kesempatan lagi bagi pasukan Elang Emas itu untuk dapat memenangkan pertempuran. Sementara itu, pemimpin perguruan yang berjanggut pendek itu pun semakin mengalami kesulitan pula. Meskipun kerisnya itu sekali-sekali mampu mengejutkan Agung Sedayu, namun setiap kali ujung cambuknya selalu dapat menghalau lawannya. Orang berjanggut pendek itu pun menjadi sangat marah. Tetapi ia terbentur pada suatu kenyataan, bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi orang itu sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Bahkan orang berjanggut putih itu mencoba untuk memutuskan ujung cambuk Agung Sedayu dengan kerisnya. Namun orang itu tidak berhasil. Ia memang berhasil menebas ujung cambuk Agung Sedayu yang menggeliat, tetapi ujung cambuk itu tidak terputus karenanya. Bahkan hampir saja keris itu terlepas dari tangannya. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah benar-benar berniat mengakhiri pertempuran. Karena itu, maka iapun meningkatkan serangan-serangan cambuknya langsung ke arah tubuh lawannya. Ketika ujung cambuknya mulai menyentuh kulit lawannya, maka terdengar umpatan yang kasar meledak dari mulut orang berjanggut putih itu. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Meskipun ia mengerahkan ilmunya sampai ke puncak kemampuannya, tetapi ternyata bahwa ia menjadi semakin terdesak. Goresan ujung cambuk Agung Sedayu itu bukan sekedar meninggalkan goresan merah di kulitnya. Tetapi kulit itu benar-benar telah terkoyak. Darah pun mulai mengalir dari lukanya itu. “Aku memberikan kesempatan terakhir kepadamu, Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan ujung cambuknya, sehingga getarannya mengguncang selaput telinganya. Tetapi lawannya justru menggeram, “Aku bunuh kau anak yang sombong.” Bagi Agung Sedayu, rasa-rasanya sudah cukup memberi lawannya itu kesempatan untuk menyerah. Tetapi agaknya lawannya itu seorang yang keras hati. Apalagi ia berada di hadapan murid-muridnya yang terbaik, sehingga ia tidak mau mengorbankan harga dirinya. Sementara itu, Agung Sedayu pun tidak ingin melepaskan lawannya yang sangat berbahaya itu, karena pada kesempatan lain ia tentu benar-benar akan menyulitkan prajurit Mataram. Karena itu, maka tidak ada pilihan bagi Agung Sedayu. Ia harus menghentikan perlawanan orang berjanggut itu untuk selamanya, agar ia tidak membuat kesulitan lagi di kemudian hari. Demikianlah, Agung Sedayu pun telah sampai ke puncak ilmu cambuknya, ilmu yang diwarisinya dari gurunya. Sebagai murid utama, maka Agung Sedayu benar-benar telah menguasai kemampuan ilmu cambuk sebagaimana gurunya sendiri. Apalagi Agung Sedayu memang sudah benar-benar menguasai berbagai macam ilmu yang dapat mendukung ilmu cambuknya. Dengan demikian, sejenak kemudian cambuk Agung Sedayu pun bergerak semakin cepat. Ujungnya menggapai dari segala arah, seakan-akan juntai cambuk Agung Sedayu itu telah bercabang menjadi berpuluh-puluh juntai yang bergerak bersama-sama. Lawannya memang tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Ujung cambuk itu telah menyentuh dan menyentuh lagi. Sehingga lukanya pun menganga dimana-mana. Meskipun demikian, orang berjanggut pendek itu masih tetap mengadakan perlawanan. Kerisnya masih saja berputar. Angin yang menyambar-nyambar tubuh Agung Sedayu, masih saja mampu menyusup menembus ilmu kebalnya. Namun semakin lama sentuhan itu pun menjadi semakin lemah. Ayunan keris itu pun menjadi semakin lamban pula. “Kau memang anak iblis,“ geram orang itu, ketika tubuhnya telah dibasahi oleh darahnya yang mengalir dari beberapa buah lukanya. “Di Mataram hanya ada dua orang yang dapat mengalahkan aku. Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati. Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Apalagi kau hanya seorang Lurah prajurit.” Suaranya terputus ketika ujung cambuk Agung Sedayu menyambar dadanya. Segores luka menganga di dadanya. Orang berjanggut pendek itu terhuyung-huyung. Namun ia masih dapat bertahan untuk berdiri. Dengan suara yang menghentak-hentak ia berkata, “Hanya ada tiga orang yang aku takuti di Pati. Kanjeng Adipati, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi.” “Ki Gede Candra Bumi telah tidak berdaya lagi sekarang. Mungkin ia masih hidup, tetapi ia terluka parah. Di medan pertempuran, aku telah bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi sebagai Senapati Pengapit.” Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian iapun mengumpat, “Gila kau. Tidak ada orang yang dapat mengalahkannya.” “Aku mengalahkannya,“ berkata Agung Sedayu, “bukan maksudku menyombongkan diri. Aku hanya ingin agar kau menyadari, dengan siapa kau berhadapan. Kau tidak dapat menentang kenyataan.” “Persetan,“ geram orang itu. Namun iapun kemudian telah berteriak nyaring. Dihempaskannya segala kemampuan, kekuatan dan ilmunya lewat telapak tangannya. Dilemparkannya kerisnya mengarah ke dada Agung Sedayu. Agung Sedayu terkejut. Dengan serta merta ia menggeliat. Namun karena hal itu tidak diduganya sama sekali, maka ia sedikit terlambat. Keris itu telah menembus ilmu kebalnya, menggores lengannya. Namun dalam pada itu, dengan gerak naluriah Agung Sedayu pun telah menghentakkan cambuknya. Demikian derasnya, dilambari dengan puncak ilmu cambuknya. Terdengar orang berjanggut pendek itu berteriak sekali lagi. Tetapi nadanya sangat berbeda. Cambuk yang dihentakkan oleh Agung Sedayu itu telah mengoyak lambungnya. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian iapun terhuyung-huyung. Ia ternyata tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian iapun jatuh terguling. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia sempat mengamati seluruh medan. Namun iapun segera yakin bahwa prajurit-prajuritnya akan mampu menguasai lawan-lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun kemudian melangkah mendekati orang berjanggut pendek itu. Meskipun masih tetap berhati-hati, Agung Sedayu berjongkok di sisinya. Orang itu sudah terluka terlalu parah. Namun ia masih juga tersenyum sambil berkata, “Kau jangan merasa dirimu menang. Ki Lurah.” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Kau pun tentu akan mati. Bisa yang melekat pada kerisku tidak akan dapat dilawan dengan obat apapun juga.” Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Agung Sedayu yang tawar akan segala bisa itu memang tidak mencemaskan dirinya. Bisa itu tidak akan berarti apa-apa bagi tubuhnya. Tetapi Agung Sedayu tidak mau mengecewakan orang itu. Karena itu Agung Sedayu itu hanya berdiam diri saja. Di saat-saat yang gawat itu, orang berjanggut pendek itu masih sempat berkata dengan penuh dendam dan kebencian, “Aku akan mati bersamamu. Bisa itu akan bekerja dengan cepat.” Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Ia tidak sampai hati mengatakan, bahwa bisa pada keris orang itu tidak akan membunuhnya, justru pada saat terakhir dari hidupnya. Karena orang itu akan menjadi sangat kecewa. Namun orang itu menjadi tidak sabar. Keadaannya menjadi semakin parah, sementara Agung Sedayu masih tetap berjongkok di sampingnya. “He, kenapa kau tidak mati? “ orang itu mencoba menggeliat. Namun justru pada saat yang paling gawat itu ia mencoba menghentakkan badannya, sehingga karena itu maka sisa tenaganya telah dihabiskannya. Orang itu pun kemudian terkulai dengan lemahnya. Matanya menjadi kabur, sehingga akhirnya semuanya menjadi pekat. Agung Sedayu meraba dada orang itu. Namun dada itu sudah tidak bergerak lagi. Nafasnya pun telah berhenti sama sekali. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia bangkit berdiri, pertempuran memang sudah selesai. Beberapa orang cantrik telah menyerah. Sedangkan beberapa orang sempat melarikan diri. Namun para prajurit itu tidak mengejar mereka, justru karena mereka tidak menguasai medan dengan baik. “Kalian sudah mengambil langkah yang benar,“ berkata Agung Sedayu. Tanpa perintahnya, para prajuritnya pun sudah mengambil keputusan sebagaimana dikehendakinya. Namun peristiwa itu ternyata menghambat perjalanan pulang pasukan kecil prajurit Mataram itu. Mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka parah, serta mereka yang gugur di pertempuran. Namun para prajurit itu harus segera bergerak. Para cantrik yang melarikan diri akan dapat memanggil kawan-kawan mereka. Mungkin pasukan Elang Perak, dan bahkan mungkin pasukan yang disebut Elang Tembaga. Karena itu, para prajurit Mataram itu telah membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka untuk segera menghindar dari bekas medan pertempuran. Di sisa malam itu, pasukan kecil itu bergerak dengan sendat. Mereka harus mengawasi para tawanan, membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Sementara itu, mereka telah melepaskan dua orang tawanan untuk memanggil kawan-kawan mereka, agar mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan mengubur kawan-kawan mereka yang terbunuh di peperangan. Menjelang fajar, pasukan kecil itu telah berada di sebuah padukuhan. Mereka terpaksa mengubur kawan-kawan mereka di sebuah kuburan yang terdapat di padukuhan itu, dengan tanda-tanda khusus. Hari itu, Agung Sedayu terpaksa menunda perjalanannya. Agung Sedayu memberi kesempatan para prajuritnya untuk beristirahat. Sementara itu sebenarnya Agung Sedayu sendiri juga memerlukan waktu untuk beristirahat. Meskipun tubuhnya tidak banyak terganggu oleh lukanya yang terhitung tidak berbahaya itu, namun ternyata bahwa sapuan udara yang tajam yang sempat menyusup ilmu kebalnya itu membuat Agung Sedayu merasa sangat letih. Namun demikian, Agung Sedayu tetap mengatur pengawasan di sekitar padukuhan itu. Mungkin sekali para pengikut orang berjanggut pendek itu masih tetap mendendam dan ingin membalas para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu. Setelah beristirahat sehari, maka keadaan pasukan kecil itu nampak menjadi segar kembali. Namun ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka, terasa bahwa sebagian dari mereka tertinggal di padukuhan itu. Agung Sedayu memandangi beberapa onggok tanah yang masih merah. Disitulah beberapa prajuritnya yang menjadi korban di kuburkan. Perjalanan prajurit Mataram itu memang menjadi lamban. Selain mereka harus mengawasi beberapa orang tawanan, mereka pun membawa kawan kawan mereka yang terluka. Bahkan juga orang-orang dari pasukan Elang Emas itu. Ternyata perjalanan kembali ke Prambanan itu tidak dapat mereka tempuh dalam satu hari. Setiap kali iring-iringan itu harus berhenti, beristirahat dan mengobati orang-orang yang terluka dengan obat-obatan yang ada. Untunglah bahwa Agung Sedayu sendiri memiliki kemampuan ilmu obat-obatan yang diwarisi dari gurunya langsung, dan yang diketemukannya di dalam kitab yang ditinggalkan gurunya itu. Dengan obat-obatan yang sederhana itu, Agung Sedayu dapat membantu keadaan mereka yang terluka dan memberikan sedikit kesegaran, sehingga mereka masih dapat melanjutkan perjalanan. Ketika pasukan kecil itu beristirahat di sebuah padukuhan yang sudah tidak terlalu jauh lagi dari Prambanan, Agung Sedayu telah memerintahkan dua orang prajuritnya untuk mendahului dan memberikan laporan bahwa pasukan kecil itu sudah dalam perjalanan kembali. Namun kedua orang prajurit itu menjadi kecewa. Perkemahan di Prambanan itu telah kosong. Panembahan Senapati dan para prajurit Mataram telah kembali ke Mataram. Yang tinggal adalah sebagian dari para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, serta sebagian lagi para pengawal dari Sangkal Putung. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Swandaru masih menunggunya di Prambanan. Agung Sedayu tidak pernah merasa tidak senang terhadap adik seperguruannya yang kebetulan adalah kakak iparnya itu. Tetapi kadang-kadang Agung Sedayu merasa jenuh mendengar nasehat-nasehatnya. Apalagi jika Agung Sedayu sendiri sedang letih atau gelisah, atau perasaan-perasaan lain yang tidak menyenangkan hatinya. Maka mendengarkan nasehat-nasehat Swandaru rasa-rasanya menambah kelelahan jiwanya saja. Setiap kali Agung Sedayu juga merasa bersalah, bahwa ia tidak dapat menunjukkan tataran kemampuannya yang sebenarnya, dibandingkan dengan kemampuan adik seperguruannya. Tetapi rasa-rasanya Agung Sedayu tidak sampai hati untuk menunjukkan kebenaran tentang perbandingan ilmu mereka itu. Meskipun demikian Agung Sedayu menyadari, jika perbandingan ilmunya itu tidak juga segera diketahui oleh adik seperguruannya itu, maka nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk itu masih akan didengarnya terus. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu itu memang harus mengusap dadanya jika Swandaru itu seakan-akan marah kepadanya, karena Agung Sedayu itu dinilainya malas dan tidak merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi setiap kali Agung Sedayu gagal untuk memaksa perasaannya, agar ia menunjukkan kepada Swandaru bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu adik seperguruannya, yang kebetulan adalah kakak iparnya itu. Demikianlah, sebagaimana diduganya, ketika Agung Sedayu memasuki perkemahan di Prambanan setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, ternyata bahwa Untara dan Swandaru masih berada di perkemahan itu. Demikian Agung Sedayu sampai di perkemahan, maka Agung Sedayu pun segera memberikan laporan kepada Untara, apa yang telah dialaminya sepanjang perjalanan. “Kau terluka?“ bertanya Untara kemudian. “Sedikit Kakang,” berkata Agung Sedayu. “Apakah senjata lawanmu itu tidak berbisa?” bertanya Untara kemudian. Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Menurut pemiliknya, senjatanya itu memang sangat berbisa.” Untara mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa adiknya memiliki kemampuan untuk menangkal segala macam bisa, bahkan bisa yang paling kuat sekalipun. “Serahkan para tawanan itu kepada kelompok yang bertugas, sementara kau dan prajurit-prajuritmu dapat beristirahat. Orang-orang yang terluka akan segera mendapat perawatan dan pengobatan sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan yang ada. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan kembali ke Mataram.“ Agung Sedayu pun kemudian membawa para prajuritnya untuk beristirahat. Mereka mendapat kesempatan untuk menggeliat setelah beberapa hari mengalami ketegangan dalam tugas. Mereka dapat mandi sepuas-puasnya, tidur dan makan sebanyak-banyaknya. Sabungsari yang juga berada di perkemahan itu sempat menemuinya. Tetapi keduanya tidak dapat lama berbincang-bincang, karena Sabungsari pun harus bertugas. Agung Sedayu yang sedang melepaskan segala ketegangan itu menarik nafas dalam-dalam, ketika Swandaru datang menemuinya. “Aku dengar kau terluka, Kakang?“ bertanya Swandaru. “Siapa yang mengatakan kepadamu?“ Agung Sedayu justru bertanya. “Sabungsari. Baru saja aku bertemu ketika Sabungsari membawa sekelompok prajuritnya keluar perkemahan.” Agung Sedayu menarik nafas. Kepada Sabungsari ia memang mengaku bahwa ia terluka. Tetapi tidak berpengaruh sama sekali. “Bagaimana dengan luka itu?“ bertanya Swandaru pula. Agung Sedayu menunjukkan luka di lengannya sambil berkata, “Segores kecil. Tidak apa-apa.” Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, “Untunglah bahwa senjata lawanmu itu tidak beracun. Jika senjata lawanmu itu termasuk senjata yang baik dengan warangan yang baik pula, maka sentuhan segores kecil itu akan dapat berakibat sangat buruk.” Namun Agung Sedayu menjawab, “Bukankah di dalam kitab Guru disebut, bagaimana kita melawan racun?” “Jika kita kebetulan tidak membawa obat itu?” “Aku selalu membawanya. Obat itu bukan saja dapat kita pergunakan untuk kita sendiri, tetapi juga untuk menolong orang lain yang terkena bisa atau racun,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi ada jenis racun dan bisa yang tidak dapat ditangkal dengan obat apapun kecuali dengan obat penangkalnya, yang khusus dibuat untuk jenis racun itu.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya. Memang ada.” “Karena itu, maka agaknya lebih baik jika kita tidak terluka sama sekali,“ berkata Swandaru kemudian. “Ya. Ya. Tentu lebih baik,“ sahut Agung Sedayu. “Berkali-kali aku katakan, kita harus berusaha untuk tidak terluka di pertempuran,“ berkata Swandaru dengan bersungguh-sungguh. Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Swandaru itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu itu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Itu adalah yang terbaik. Tetapi suatu ketika kita dapat bertemu dengan lawan yang berilmu lebih tinggi dari ilmu yang kita miliki. Dalam keadaan yang demikian, bukan saja kita dapat terluka, tetapi kita dapat mati. Kita sudah mendapat banyak contoh bahwa orang berilmu tinggi dapat juga mati di pertempuran. Mungkin kita memiliki kelebihan secara pribadi dengan lawan yang kita temui di medan. Tetapi penguasaan medan, kerja sama di antara kelompok dan perang gelar, akan dapat menjebak kita dalam kesulitan.” “Memang Kakang. Tetapi maksudku, semakin siap kita memasuki medan pertempuran, maka kita akan merasa lebih mantap. Keselamatan kita akan lebih terjamin.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti. Aku sependapat.” Swandaru pun kemudian telah menanyakan apa yang dialami Agung Sedayu sepanjang perjalanannya mengikuti pasukan Pati yang sedang ditarik mundur. “Sebuah pertempuran kecil,“ berkata Agung Sedayu, “justru pada saat kami akan kembali ke Prambanan ini.” Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan apa yang telah dialaminya. Ia tidak banyak bercerita tentang lawannya yang berjanggut pendek itu. “Kau masih beruntung Kakang,“ berkata Swandaru, “orang-orang yang mencegatmu agaknya merasa diri mereka berkemampuan sangat tinggi. Namun ternyata kemampuan mereka tidak lebih dari kemampuan para prajurit Mataram dan para pengawal Sangkal Putung. Barangkali juga para pengawal Tanah Perdikan. Bahkan pemimpinnya tidak mampu menilai pasukan yang sedang dihadapinya.” “Agaknya memang demikian,“ berkata Agung Sedayu. “Baiklah, Kakang. Bukankah sekarang kau mendapat kesempatan untuk beristirahat? Beristirahatlah. Kapan Kakang akan kembali ke Tanah Perdikan? Jika Kakang mempunyai kesempatan, aku minta Kakang singgah barang sehari di Sangkal Putung.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Besok aku akan kembali ke Mataram. Mungkin pada kesempatan lain saja aku singgah di Sangkal Putung.” “Besok?“ bertanya Swandaru, “Begitu cepat? Bukankah pasukan kecil Kakang itu perlu beristirahat?” “Kakang Untara menganggap bahwa waktu istirahat sampai esok sudah cukup. Kami akan mendapat kesepatan berisirahat lebih lama. Atau bahkan kesempatan beristirahat itu kami dapatkan setelah kami berada di Tanah Perdikan Menoreh.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku akan meninggalkan perkemahan ini bersama pasukan Kakang Untara.” “Kapan?“ bertanya Agung Sedayu. Swandaru menggeleng. Katanya, “Aku belum tahu, Kakang. Tetapi Kakang Untara telah memerintahkan kepadaku, bahwa pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung yang masih ada di pesanggrahan ini akan meninggalkan pesanggrahan bersama pasukan Mataram yang ada di Jati Anom. Yang kemudian akan ditinggalkan di pesanggrahan ini sampai waktunya pesanggrahan ini dibongkar adalah sekelompok prajurit saja.” “Tetapi aku kira memang sudah tidak akan lama lagi. Pesanggrahan ini agaknya memang akan dibongkar. Demikian pula bekas pesanggrahan Kanjeng Adipati Pati.” “Ya. Pesanggrahan itu sekarang ditunggui pula oleh sekelompok prajurit Kakang Untara. Agaknya kedua pesanggrahan itu memang akan segera dibongkar.” Demikianlah, Swandaru pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke baraknya. Namun sambil melangkah pergi iapun berkata, “Besok sebelum Kakang berangkat aku akan menemui Kakang. Agaknya seisi perkemahan ini akan mengetahui kapan Kakang akan berangkat besok.” Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu menarik nafas panjang. Rasa-rasanya ia sudah meletakkan beban yang cukup berat. Meskipun ia tidak berusaha untuk menghindarinya, tetapi jika beban itu diletakkan, maka dadanya merasa menjadi longgar. Agung Sedayu pun kemudian benar-benar merasa beristirahat, ketika ia berjalan-jalan di luar perkemahan. Beberapa ratus langkah dari perkemahan, Agung Sedayu telah berdiri di atas tanggul Kali Opak. Air Kali Opak memang tidak begitu deras dan tidak pula dalam. Hanya di beberapa tempat saja harus diseberangi dengan rakit. Tetapi ada bagian yang landai, yang untuk menyeberangi Kali Opak harus berjalan di tepian berpasir yang terhitung luas. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu berdiri seorang diri memandangi aliran Kali Opak. Namun kemudian iapun melangkah menelusuri tanggul. Angin bertiup mengusap tubuhnya yang basah oleh keringat, Terasa sentuhan yang segar di kulit wajahnya. Di dataran yang membentang di hadapannya, nampak tanaman di sawah yang rusak terinjak-injak kaki. Ketika prajurit Mataram dan Pati bergerak dalam gelar, maka di sawah itu tidak lagi nampak daun batang padi atau jagung yang hijau segar. Tetapi yang nampak adalah daun pedang dan tombak yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tanah itu tentu masih membekas darah. Dedaunan yang berserakan terinjak kaki prajurit itu tentu diperciki oleh warna darah yang tumpah. Beberapa saat ia merenung. Sudah beberapa kali ia berada di medan pertempuran atau bertempur seorang melawan seorang. Tetapi setiap kali hatinya masih saja menjadi resah jika ia mengenang tubuh yang berserakan terbujur lintang di medan pertempuran. Kemenangan memang memberikan kebanggaan bagi seorang prajurit. Tetapi apakah kematian dan kehancuran juga memberikan kebanggaan? Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun melangkah meninggalkan tanggul Kali Opak itu, kembali ke perkemahan. Langkahnya satu-satu, seakan-akan tanpa disadari, karena angan-angannya masih saja tersangkut pada bayangan-bayangan yang mengerikan yang terjadi di peperangan. Di dalam perkemahan, Agung Sedayu mendapat perintah resmi dari Untara, yang mendapat kuasa untuk memimpin semua pasukan yang ada di perkemahan itu, besok saat matahari naik sepenggalah, bersama pasukan kecilnya berangkat kembali ke Mataram. Para tawanan dan orang-orang yang terluka parah saja-lah yang akan tetap tinggal di perkemahan sampai saatnya perkemahan itu dibongkar. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun segera mempersiapkan diri. Ia telah memerintahkan pasukannya pula untuk bersiap. Esok mereka akan berangkat kembali ke Mataram. Karena itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah mempergunakan waktu beristirahat mereka sebaik-baiknya. Mereka besok akan menempuh sebuah perjalanan lagi. Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi sisa-sisa kelelahan mereka tentu masih akan terasa. Tetapi mereka merasa senang atas perintah itu. Mereka tentu akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, sehingga bergiliran mereka akan mendapat kesempatan untuk mengunjungi keluarga mereka. Demikianlah, ketika saat sudah mendekat di keesokan harinya, Swandaru benar-benar menyempatkan diri menemui Agung Sedayu untuk mengucapkan selamat jalan. Namun iapun masih juga berdesis, “Biarlah kitab Guru ada pada Kakang lebih dahulu. Tetapi aku minta Kakang lebih menekuni bidang kanuragan daripada bidang pengobatan.” “Baiklah. Aku akan mencoba,“ jawab Agung Sedayu. “Jangan sekedar mencoba,“ sahut Swandaru. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, sementara Swandaru berkata, “Kakang harus bersungguh-sungguh. Jika Kakang sekedar mencoba, maka hasilnya tidak akan pernah menjadi baik.” Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Aku memang harus bersungguh-sungguh.” Swandaru melihat kesungguhan di wajah kakak seperguruannya itu. Namun kemudian iapun berkata, “Selamat jalan Kakang. Pada kesempatan lain aku akan pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi jika Kakang sempat, justru karena persoalan antara Mataram dan Pati telah selesai, kami berharap Kakang dan Sekar Mirah dapat mengunjungi Sangkal Putung.” “Baiklah,“ Agung Sedayu mengangguk angguk, “kami akan memerlukan datang ke Sangkal Putung. Sekar Mirah tentu akan senang menengok keluarga yang sudah agak lama tidak bertemu.” Demikianlah, beberapa saat kemudian para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu pun sudah mulai bergerak meninggalkan perkemahan, yang tidak lama lagi akan dibongkar sebagaimana pesanggrahan pasukan Pati. Sambil melepas para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu, Untara sempat berpesan, “Hati-hatilah Agung Sedayu. Mungkin masih ada orang yang akan memburumu sampai ke Tanah Perdikan. Keluarga orang berjanggut pendek yang kau bunuh itu atau saudara-saudara seperguruannya akan dapat mendendammu, justru karena pertempuran itu terjadi di luar arena perang antara Mataram dan Pati.” Agung Sedayu mengangguk angguk sambil menjawab, “Ya, Kakang. Aku akan berhati-hati.” “Kau harus segera melaporkan diri kepada Ki Tumenggung Yudapamungkas, atau langsung ke Ki Patih Mandaraka jika kau dapat menghadap.” “Ya, Kakang,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, sejenak kemudian ketika matahari memanjat semakin tinggi, Pasukan Khusus itu berjalan beriringan menuju ke Mataram. Jalan yang dilalui oleh pasukan kecil itu masih nampak sepi. Gema perang yang terjadi di Prambanan masih belum hilang, sehingga masih banyak orang yang tidak berani turun ke jalan. Bahkan padukuhan-padukuhan di sebelah-menyebelah jalan itu masih nampak lengang. Orang-orang padukuhan yang dekat degan jalan itu memang ada yang mengungsi menjauh. Jika pasukan Pati mampu menembus pertahanan Mataram di Prambanan, maka jalan itu akan dilalui oleh pasukan Pati segelar-sepapan, sehingga nasib orang yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan itu akan dapat menjadi sangat buruk. Perjalanan dari Prambanan ke Mataram memang merupakan jalan yang cukup panjang. Namun karena perjalanan yang mereka tempuh bukan jalan yang rawan, maka rasa-rasanya perjalanan itu tidak melelahkan. Meskipun demikian, ketika matahari sampai ke puncak langit, terasa betapa panasnya membakar ubun-ubun. Di sore hari, pasukan kecil itu mendekati gerbang kota. Pasukan kecil itu mulai mengatur diri dan menyusun barisan sebaik-baiknya. Ciri-ciri khusus Pasukan Khusus itu pun telah dipasang. Kelebet berujung runcing telah dipasang pada tunggulnya. Agung Sedayu tidak menduga bahwa pasukan kecilnya mendapat sambutan yang memberikan kebanggaan di setiap dada para prajuritnya. Agaknya di Mataram telah tersiar berita, bahwa Pasukan Khusus yang baraknya berada di Tanah Perdikan Menoreh dan dipimpin oleh Agung Sedayu itu termasuk salah satu di antara beberapa kelompok pasukan Mataram yang terbaik. Karena itu, Pasukan Khusus itu pula-lah yang mendapat perintah untuk mengikuti gerak mundur pasukan Pati sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Orang-orang yang tinggal di Kotaraja, yang mendengar berita kehadiran Pasukan Khusus itu, telah turun ke jalan, memberikan penghormatan dan bahkan terdengar mereka bersorak untuk menyatakan kekaguman mereka. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Jantungnya terasa berdentang lebih cepat dan lebih keras daripada saat ia memasuki perang gelar melawan Pati. Bahkan saat ia berada di sisi Panembahan Senapati sebagai Senapati Pengapitnya. Kakinya merasa menjadi berat, demikian pula para prajurit. Mereka seakan-akan bergerak sangat lamban meskipun mereka sudah berjalan cepat. Namun jalan menjadi terhambat oleh orang-orang yang ingin menyaksikan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Di Mataram, para prajurit itu langsung menuju ke alun-alun. Dua orang penghubung telah menghubungi Tumenggung Yudapamungkas. Sebelum matahari turun ke punggung bukit, pasukan itu telah memasuki sebuah barak yang memang sudah disediakan. Ki Tumenggung Yudapamungkas sendiri yang menerima pasukan kecil itu dan kemudian langsung menerima laporan dari Agung Sedayu. “Kalian dapat beristirahat di sini sampai besok lusa,“ berkata Ki Tumenggung, “selanjutnya, kalian tentu ingin segera pulang ke barak kalian di Tanah Perdikan Menoreh, untuk selanjutnya menunggu giliran pulang menemui keluarga.” Demikianlah, para prajurit itu telah beristirahat sebaik-baiknya di barak itu. Di keesokan harinya, Ki Patih Mandaraka telah datang bukan saja menemui Agung Sedayu, tetapi Ki Mandaraka berniat menemui seluruh prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk menyatakan terima kasihnya. “Kalian akan mendapat kesempatan cukup untuk bergantian mengunjungi keluarga kalian,“ berkata Ki Patih Mandaraka. Namun kebanggaan para prajurit semakin bertambah-tambah ketika Ki Patih Mandaraka berkata, “Nanti malam, Panembahan Senapati berkenan untuk mengunjungi kalian.” Sebenarnyalah, ketika malam turun, sekelompok pasukan Pengawal Istana telah datang ke barak itu ,mempersiapkan kedatangan Panembahan Senapati di barak itu. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu menjadi sangat berbesar hati ketika Panembahan Senapati sendiri langsung mengucapkan terima kasih kepada mereka. Panembahan Senapati juga menyatakan bela sungkawa, bahwa beberapa orang terbaik di antara mereka terpaksa ditinggalkan dan diserahkan ke pangkuan bumi. “Mataram berhutang budi kepada kalian. Juga kepada para keluarga yang ditinggalkan oleh mereka yang gugur di medan,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. Lalu katanya pula, “Tidak seorangpun di bumi Mataram yang menginginkan terjadinya perang. Tetapi perang itu ternyata tidak dapat kita elakkan dengan penuh kesadaran bahwa perang itu akan menimbulkan bencana. Tetapi jika kita tidak memaksa diri untuk perang, maka bencana yang akan menimpa Mataram menjadi jauh lebih besar. Karena itu, maka kita terpaksa memilih sesuatu yang sangat kita benci, yaitu perang.” Jantung para prajurit itu memang tergetar. Mereka memang tidak dapat menyingkir dari peperangan. Bukan karena para prajurit Mataram itu selalu bermimpi untuk membunuh. Panembahan Senapati memang tidak lama berada di barak itu. Beberapa saat kemudian Panembahan Senapati langsung meninggalkan barak itu di atas punggung kudanya, dikawal oleh beberapa kelompok pasukan Pengawal Istana, pasukan pilihan di antara prajurit terbaik Mataram. Namun kebanggaan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh tidak kalah dari kebanggaan para prajurit dari pasukan Pengawal Istana itu. Di keesokan harinya, Ki Tumenggung Yudapamungkas telah melepas para prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Untuk selanjutnya, bergantian para prajurit itu akan mendapat kesempatan untuk menengok keluarga mereka masing-masing untuk waktu yang terhitung panjang. “Tetapi dengan demikian, kalian harus berbicara dengan para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian juga turut mempertahankan keberadaan Mataram dari serangan prajurit Pati, terutama yang datang dari arah utara,“ pesan Ki Tumenggung Yudapamungkas, “namun mereka telah mendapat kesempatan untuk mendahului kembali ke Tanah Perdikan. Pada saat para prajurit bergantian meninggalkan barak, para pengawal harus berada dalam kesiagaan yang tinggi. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin ada sekelompok orang yang mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan bagi mereka sendiri. Tetapi mungkin sekelompok orang yang membawa dendam ke Tanah Perdikan Menoreh.” Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah meninggalkan barak tempat tinggal dan landasan segala kegiatan mereka. Di situ pula mereka telah ditempa oleh Agung Sedayu, sehingga mereka benar-benar menjadi prajurit pilihan yang mendapat kehormatan langsung dari Panembahan Senapati sendiri, sehingga kedudukan mereka setingkat dengan kesatuan-kesatuan terbaik di Mataram. Di sepanjang perjalanan, iring-iringan itu memang menarik perhatian. Orang-orang padukuhan-padukuhan sepanjang jalan menuju ke Tanah Perdikan melihat kesatuan kecil itu dengan bangga. Satu dua orang yang mengetahui bahwa pasukan itu adalah Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, telah memberitahu tetangga-tetangga mereka. “Pasukan itu baru pulang dari Prambanan. Mereka telah berhasil mengusir pasukan dari Pati,“ berkata seseorang dengan bangga, seakan-akan dirinya sendiri-lah yang telah memenangkan perang itu. Ketika mereka menyeberang Kali Praga dengan beberapa buah rakit yang harus mondar-mandir, tukang-tukang rakit itu tidak mau menerima upah yang seharusnya memang menjadi hak mereka, karena mereka itu merasa bangga atas pasukan itu. “Cerita tentang Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu sudah lewat mendahului pasukan ini sendiri,“ berkata salah seorang dari tukang satang itu. “Ah, tidak ada yang pantas dipuji,“ desis salah seorang pemimpin kelompok. “Kemarin orang-orang yang menyeberang mengatakan bahwa Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh sudah berada di Kotaraja. Mereka akan segera menuju ke Tanah Perdikan,“ sahut tukang satang itu. Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya, “Terima kasih atas pujian itu.” “Kami mengatakan sebagaimana dikatakan orang tentang Pasukan Khusus ini,“ berkata tukang satang yang lain. Para prajurit yang mendengar pujian itu pun tertawa. Namun mereka tidak dapat melupakan bahwa sebagian dari mereka harus tertinggal di perjalanan kembali ke Prambanan dari menjalankan tugas yang cukup berat. Agung Sedayu yang memimpin pasukan itu tidak sampai hati untuk benar-benar tidak membayar upah para tukang satang yang sudah bekerja keras itu. Meskipun semula tukang-tukang satang itu menolak, namun Agung Sedayu berkata, “Ki Sanak. Uang ini bukan uangku pribadi. Kami sudah mendapat biaya penyeberangan ini. Uang ini kami terima dari pimpinan kami di Mataram. Jadi uang ini berasal dari Ki Sanak pula. Bukankah Ki Sanak setiap kali telah dipungut pajak?” Akhirnya tukang-tukang satang itu menerima juga. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu memasuki Tanah Perdikan Menoreh, mereka melihat bahwa perang yang terjadi di Prambanan itu hampir tidak ada pengaruhnya. Kehidupan di Tanah Perdikan itu berjalan seperti biasa. Kesibukan orang yang bekerja sehari-hari. Jalan-jalan yang tidak menjadi sepi. Namun Agung Sedayu mengetahui bahwa beberapa saat yang lalu, ketika pasukan pengawal Tanah Perdikan kembali dari Mataram, air mata pun telah menitik. Beberapa orang anak muda terbaik dari Tanah Perdikan ini telah gugur di medan pertempuran. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak mendapat sambutan yang berlebihan ketika mereka kembali memasuki barak mereka. Tetapi Ki Gede Menoreh, Prastawa, Glagah Putih dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan sudah menunggu. Mereka memang sudah mendapat pemberitahuan lebih dahulu, bahwa hari itu para prajurit dari Pasukan Khusus itu akan kembali ke barak. Upacara pun hanya berlangsung seperlunya. Kemudian, Ki Gede Menoreh sebagai Kepala Tanah Perdikan telah mempersiapkan penyambutan kedatangan para prajurit itu dengan acara makan bersama. Dengan bekerja bersama para prajurit yang bertugas di dapur, Tanah Perdikan Menoreh telah menyiapkan hidangan khusus untuk menyambut kedatangan para prajurit dari medan tugas mereka. Meskipun tidak berlebihan, tetapi sambutan itu memberikan kegembiraan bagi para prajurit yang baru saja menempuh perjalanan itu. Memang bukan perjalanan yang panjang. Tetapi sisa-sisa kelelahan yang masih melekat di dalam diri mereka masing-masing, menjadi sedikit terobati dengan sambutan yang menggembirakan itu. Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus itu merasa telah berada di rumah mereka kembali. Sementara itu, mereka pun mulai menunggu giliran untuk dapat pulang mengunjungi keluarga mereka. Hari itu Agung Sedayu sendiri juga belum pulang ke rumahnya. Bersama para pemimpin kelompok, Agung Sedayu telah mempersiapkan susunan giliran bagi para prajuritnya yang baru pulang dari medan perang, untuk beristirahat bersama keluarga mereka masing-masing. Baru di hari berikutnya. Agung Sedayu pulang dari barak Pasukan Khususnya. Keluarga Agung Sedayu tiba-tiba telah menjadi cerah. Seperti lampu yang semula kekurangan minyak, tiba-tiba telah dituang lagi sampai penuh. Bukan saja istrinya, Sekar Mirah, yang menyambut kedatangan Agung Sedayu, tetapi juga Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan juga Wacana dan istrinya, Kanthi, yang khusus datang untuk mengucapkan selamat kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang baru saja menjalankan tugasnya yang berat itu, rasa-rasanya telah mendapat kesempatan untuk meletakkan segala macam beban di pundaknya. Ia benar-benar merasa lepas dari segala ikatan tanggung jawab dalam tugasnya. Hari itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi sibuk di dapur. Glagah Putih telah memotong tidak hanya seekor ayam. Tetapi untuk menjamu tamu-tamunya yang berdatangan, maka Glagah Putih telah memotong beberapa ekor ayam. Di hari berikutnya, Agung Sedayu masih juga beristirahat di rumah. Ia sengaja tidak pergi ke barak, sebagaimana sudah diberitahukannya kepada para pembantunya. Para pembantunya-lah yang kemudian mengatur pelaksanaan pemberian waktu beristirahat bagi para prajuritnya. Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak sempat menikmati waktu istirahatnya sampai tuntas sebagaimana direncanakannya. Ketika kemudian matahari condong di sisi barat langit, dua orang perwira prajurit Pengawal Istana, diantar oleh Ki Lurah Branjangan, telah datang ke rumah Agung Sedayu. Dengan jantung berdebar-debar Agung Sedayu mempersilahkan tamu-tamunya untuk naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan. Setelah mempertanyakan keselamatan perjalanan mereka, maka Agung Sedayu pun berkata, “Kedatangan Ki Lurah Branjangan serta Ki Sanak berdua telah mengejutkan aku.” “Aku hanya akan bertemu dengan Wulan saja, sekaligus menunjukkan jalan kedua orang perwira dari pasukan Pengawal Istana yang ingin menemui Ki Lurah Agung Sedayu, yang tidak berada di barak karena sedang beristirahat.” “Kami memang mempunyai keperluan dengan Ki Lurah,“ berkata salah seorang dari kedua orang perwira itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara salah seorang tamunya itu berkata, “Kami membawa perintah langsung dari Panembahan Senapati bagi Ki Lurah Agung Sedayu.” Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Perintah apakah yang harus aku jalankan?” “Ki Lurah dipanggil menghadap. Ki Lurah melaporkan dari kepada Ki Patih Mandaraka, kemudian Ki Lurah akan dibawa manghadap oleh Ki Patih.” “Apakah yang harus aku lakukan kemudian?” bertanya Agung Sedayu di luar sadarnya. “Kami tidak mengetahuinya Ki Lurah. Kami hanya mendapat perintah untuk memanggil Ki Lurah. Besok sebelum matahari terbenam, Ki Lurah harus sudah berada di Kepatihan.” Demikianlah, setelah mendapat hidangan minum dan makan, kedua orang perwira dari Pasukan Pengawal Istana itu minta diri untuk kembali ke Mataram. “Kami tidak singgah di barak, Ki Lurah Branjangan.” “Silahkan. Aku juga masih akan berada di sini. Bahkan mungkin sampai besok. Cucuku ada di sini,“ jawab Ki Lurah Branjangan. Sepeninggal kedua orang prajurit dari pasukan Pengawal Istana itu, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang Sekar Mirah. Wajah Sekar Mirah yang baru saja menjadi terang itu redup kembali. Tetapi tidak terlalu lama. Sejenak kemudian iapun telah tersenyum kembali sambil mempersilahkan Ki Lurah Branjangan, “Marilah Ki Lurah. Silahkan melanjutkan menikmati hidangan seadanya ini.” Namun dalam pada itu. Agung Sedayu menangkap getar perasaan Sekar Mirah yang hanya sesaat itu. Sekar Mirah tentu merasa kecewa, bahwa demikian suaminya pulang, telah datang perintah kepadanya untuk tugas-tugas berikutnya. Meskipun mereka belum tahu tugas apa yang akan diemban, tetapi tugas itu tentu termasuk tugas yang penting, karena perintah itu datang langsung dari Panembahan Senapati. Namun justru karena itu, Agung Sedayu telah benar-benar mempergunakan hari-harinya yang pendek itu untuk beristirahat. Bersama Sekar Mirah, mereka sempat mengunjungi Prastawa. Singgah di rumah Ki Gede, dan pergi melihat sawahnya yang ditumbuhi batang-batang padi yang subur. “Aku tidak dapat menghindari perintah, apalagi yang datang langsung dari Panembahan Senapati, Mirah,“ berkata Agung Sedayu. “Aku mengerti, Kakang,“ jawab Sekar Mirah, “tetapi aku akan ikut menjadi bangga, justru karena Kakang mendapat kesempatan untuk melakukan tugas-tugas penting itu.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih atas pengertianmu Mirah. Aku berharap bahwa pada kesempatan lain, aku akan dapat beristirahat lebih lama lagi.” “Kau sudah cukup memberikan waktumu kepada keluarga, Kakang. Bukankah di hari-hari biasa, kau setiap hari dapat pulang?” “Hari-hari yang benar-benar terlepas dari bayangan tugas-tugas yang melelahkan.” “Tetapi kita sudah memilih untuk tinggal di dalam duniamu sekarang ini Kakang.” “Ya. Dengan pengertian dan doronganmu, mudah-mudahan aku dapat melakukan tugas-tugasku sebaik-baiknya.” Sebenarnyalah Sekar Mirah berusaha untuk mengerti bahwa suaminya bukan harus sekedar memenuhi keinginannya. Justru suaminya selalu berada di dalam bayang-bayang tugasnya sebagai seorang prajurit. Di keesokan harinya, Agung Sedayu harus pergi ke baraknya untuk memberitahukan dengan resmi bahwa hari itu pula ia harus pergi ke Mataram. Karena itu, Agung Sedayu harus membagi dan menyerahkan tugas-tugas kepemimpinannya di barak itu kepada pembantu-pembantunya. Hari itu, Agung Sedayu telah meninggalkan Tanah Perdikan lagi menuju ke Mataram. Dibawanya Glagah Putih besertanya, untuk kawan berbincang di perjalanan. “Kenapa kau tidak membawa satu dua orang pengawal?” bertanya Ki Lurah Branjangan. “Biarlah mereka menikmati saat-saat istirahat mereka,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, seperti yang diperintahkan kepadanya, sebelum matahari terbenam Agung Sedayu sudah berada di Kepatihan untuk menghadap Ki Patih Mandaraka. Ketika ia menyampaikan permohonan untuk menghadap, Ki Lurah Agung Sedayu itu pun langsung dapat diterima, karena Ki Patih memang sudah menunggu kedatangan Agung Sedayu. “Kita akan langsung menghadap Panembahan Senapati,” berkata Ki Patih kemudian. Namun katanya pula, “Tetapi biarlah adik sepupumu itu menunggumu di sini.” “Baik Ki Patih,“ jawab Agung Sedayu, yang kemudian memberitahukan kepada Glagah Putih agar ia tinggal di Kepatihan. Glagah Putih menyadari bahwa ia tidak berwenang untuk ikut mendengar perintah Panembahan Senapati kepada kakaknya, seorang prajurit. Karena itu maka katanya, “Baik Kakang. Aku akan menunggu Kakang di Kepatihan.” Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih telah mengenal beberapa orang abdi dalem Kepatihan, sehingga ia tidak merasa canggung. Ketika Raden Rangga masih ada, Glagah Putih sering berada di Kepatihan itu bersamanya. Setelah Raden Rangga tidak ada, Glagah Putih pun sekali-sekali masih juga berada di Kepatihan untuk tugas-tugas tertentu. Sementara itu, Ki Patih Mandaraka bersama Agung Sedayu telah menghadap langsung Panembahan Senapati. “Ada tugas yang penting, Agung Sedayu,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. “Hamba Panembahan,“ sahut Agung Sedayu. “Aku tidak dapat mempercayakannya kepada orang lain. Apalagi adik-adikku. Beberapa orang Pangeran telah dikenal baik oleh orang-orang Pati,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. Jantung Agung Sedayu menjadi berdebar. Ia sudah dapat menduga, tugas apa yang akan dibebankan kepadanya. Sebenarnyalah Panembahan Senapati itu pun berkata, “Agung Sedayu. Menurut laporan beberapa orang yang belum dapat dipastikan kebenarannya, Adimas Adipati bukan hanya menarik pasukannya sampai ke sebelah utara pegunungan Kendeng, tetapi justru telah berada di Pati. Tetapi kekalahannya yang terjadi di Prambanan tidak membuatnya jera. Adimas Pragola dari Pati justru menyusun kekuatan kembali untuk menghantam Mataram.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Perintah yang bakal diterima menjadi semakin terang di angan-angannya. Satu perjalanan jauh harus ditempuhnya. Sebenarnyalah Panemahan Senapati itu pun berkata, “Agung Sedayu. Aku ingin kau pergi ke Pati untuk memastikan, apakah benar Adimas Adipati Pragola telah menyusun kekuatan kembali. Aku minta kau dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat memberikan laporan. Aku minta kau berada di Pati untuk beberapa hari. Sudah tentu kau tidak perlu sendiri. Kau dapat membawa kawan untuk berbincang di perjalanan. Aku tidak menunjuk siapakah yang akan kau bawa. Terserah kepadamu. Atau seandainya kau tidak mau seorang kawan pun yang justru akan dapat mengganggumu.” Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menjawab, “Hamba akan menjalankan segala perintah Panembahan.” “Kau tidak perlu berangkat besok. Mungkin kau masih ingin beristirahat satu dua hari lagi.“ “Terima kasih Panembahan. Jika demikian hamba masih dapat pulang dan bermalam satu malam di rumah hamba.” “Tentu,” jawab Panembahan Senapati, “selanjutnya, kau dapat memilih kawan. Prajurit atau bukan prajurit.” “Apakah hamba boleh membawa Glagah Putih bersama hamba?” bertanya Agung Sedayu. “Tentu. Aku juga sudah tahu tataran ilmu anak itu. Jauh lebih tinggi dari kewajaran anak-anak muda. Apalagi yang seumurnya,“ jawab Panembahan Senapati. “Ampun Panembahan. Glagah Putih tidak mempunyai kelebihan apa-apa selain kenakalannya,“ berkata Agung Sedayu agak ragu. Tetapi Panembahan Senapati itu pun berkata, “Kau pun tentu akan mengatakan bahwa kau pun tidak mempunyai kelebihan apa-apa, meskipun kau tentu tidak akan lupa bahwa kita pernah menjadi pengembara bersama.” Agung Sedayu yang tersenyum itu tidak menjawab, sementara Panembahan Senapati bertanya kepada Ki Patih, “Bagaimana pendapat Paman Mandaraka?” Ki Patih Mandaraka pun tertawa pula. Katanya, “Aku sependapat dengan Angger Panembahan. Ki Lurah Agung Sedayu yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa itu biarlah pergi ke Pati untuk melihat apa yang sekarang ini berkembang di Pati, dalam hubungannya dengan cerita beberapa orang petualang bahwa Pati yang gagal menyerang Mataram itu telah mempersiapkan kekuatan baru untuk menentang Mataram.” Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya, sementara Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka masih saja tertawa. Demikianlah, beberapa saat kemudian setelah memberikan beberapa pesan lagi, Panembahan Senapati pun telah memperkenankan Agung Sedayu meninggalkan istana. “Jika kau akan berangkat ke Pati, kau sudah tidak perlu menemui aku lagi, Agung Sedayu. Pesanku sudah cukup banyak, dan kau pun sudah mengetahui apa yang sebaiknya kau kerjakan.” “Hamba Panembahan,“ jawab Agung Sedayu sambil mengangguk hormat. “Nah, selamat malam. Aku kira kau akan bermalam di Kepatihan,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. “Hamba Panembahan, jika Ki Patih Mandaraka memperkenankan.” “Ia datang bersama adik sepupunya,“ berkata Ki Patih. “Maksud Paman. Agung Sedayu datang bersama Glagah Putih?” “Ya, Ngger.” “Kenapa anak itu tidak kau ajak kemari?“ bertanya Panembahan Senapati kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Patih-lah yang menjawab, “Aku minta Glagah Putih tinggal di Kepatihan.” Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah Agung Sedayu yang memberitahukan kepadanya.” Demikianlah, Ki Patih Mandaraka pun telah mohon diri bersama Agung Sedayu meninggalkan istana untuk pergi ke Kepatihan, karena Agung Sedayu dan Glagah Putih akan bermalam di sana. Di Kepatihan, Agung Sedayu masih mendapat beberapa pesan dari Ki Patih Mandaraka. Bukan saja sebagai Patih di Mataram, tetapi juga sebagai orang tua. “Kau jangan merasa berkecil hati bahwa kau telah ditunjuk untuk menjalankan tugas ini, Agung Sedayu,“ berkata Ki Patih Mandaraka. “Tidak Ki Patih, Kami berdua tentu akan merasa bangga jika kami dapat menjalankan tugas ini dengan baik.” “Jika tiba-tiba saja kau yang teringat oleh Angger Panembahan Senapati untuk menjalankan tugas ini, justru kau adalah terhitung orang terakhir yang menjalankan tugas yang berat untuk mengikuti gerak mundur Pasukan Pati. Itu adalah karena Panembahan Senapati tidak dapat melupakan kau selama pengembaraanmu bersamanya, sebagaimana Panembahan Senapati mempercayaimu untuk menjadi Senapati Pengapitnya. Bagi Panembahan Senapati, kau adalah orang yang khusus. Meskipun kedudukanmu tidak lebih dari seorang Lurah prajurit, tetapi ternyata kau mendapat kepercayaan yang sangat besar dari Panembahan Senapati.” “Satu kebanggaan tersendiri, Ki Patih,“ desis Agung Sedayu. Ki Patih Mandaraka tersenyum. Kemudian katanya, “Nah, sudahlah. Kita akan makan bersama. Kemudian kau dan Glagah Putih dapat beristirahat di bilik yang telah disediakan bagi kalian berdua.” Agung Sedayu, apalagi Glagah Putih, memang merasa canggung untuk makan bersama Ki Patih Mandaraka. Tetapi Ki Patih telah memerintahkannya. Malam itu, di dalam bilik yang sudah disiapkan bagi mereka, Agung Sedayu telah menceritakan perintah Panembahan Senapati itu kepada Glagah Putih. Kemudian Agung Sedayu pun telah memberitahukan pula, bahwa Agung Sedayu diperkenankan mengajak Glagah Putih untuk menjalankan tugas itu. Ternyata Glagah Putih menjadi gembira atas kesempatan itu. Katanya, “Terima kasih Kakang. Dengan demikian maka pengalamanku akan bertambah.” “Besok lusa kita berangkat. Apakah kau akan singgah di Jati Anom untuk bertemu dengan Paman Widura?” “Baik Kakang. Kita akan singgah, jika itu tidak menghambat perjalanan kita,“ jawab Glagah Putih. “Apakah Kakang juga akan singgah di Jati Anom?“ bertanya Glagah Putih kemudian. “Tentu. Jika kau singgah, aku pun akan singgah.” “Maksudku, menemui Kakang Untara. Atau bahkan singgah di Sangkal Putung?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam kesibukan tugas dan ketegangan yang masih dialaminya dalam tugas-tugas barunya, Agung Sedayu rasa-rasanya masih belum ingin bertemu dengan Swandaru. Karena itu, meskipun ia tidak tahu apakah Swandaru masih berada di bekas perkemahan pasukan Mataram atau tidak, maka iapun menjawab, “Swandaru masih berada di perkemahan bersama Kakang Untara. Mereka bertugas sampai perkemahan itu dibongkar. Juga perkemahan orang-orang Pati.” Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih pun merasa segan untuk bertemu dengan Swandaru, meskipun Swandaru tidak pernah menilainya sebagaimana ia menilai kemampuan Agung Sedayu. Malam itu ternyata Glagah Putih tidak segera dapat tidur. Ia masih saja memikirkan tugas yang dibebankan kepada Agung Sedayu, dan yang kemudian melimpah pula kepadanya. Ia merasa bangga, bahwa Panembahan Senapati memberikan ijin langsung ketika Agung Sedayu menyebut namanya untuk menyertai tugasnya yang berat itu, meskipun ia bukan seorang prajurit. Namun akhirnya, Glagah Putih pun telah terlelap pula. Pagi-pagi keduanya sudah bangun dan berbenah diri. Kemudian, ketika matahari terbit, keduanya bermaksud mohon diri untuk segera berangkat kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi Ki Patih Mandaraka masih mempersilahkan keduanya untuk makan pagi. Selagi mereka makan, Ki Patih masih sempat bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah ikat pinggang itu masih ada padamu?” Glagah Putih menyingkapkan bajunya sambil berkata, “Tentu, Ki Patih.” Ki Patih tersenyum. Katanya, “Bagus. Semakin lama ikat pinggang itu akan menjadi semakin akrab denganmu.” “Ya, Ki Patih,“ jawab Glagah Putih sambil mengangguk-angguk kecil. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meninggalkan Kepatihan. Keduanya pun kemudian melarikan kuda mereka di sepanjang jalan kota, meskipun tidak terlalu kencang. Baru kemudian, ketika mereka keluar dari pintu gerbang, keduanya telah melecut kuda mereka, sehingga sejenak kemudian kuda-kuda itu telah berderap semakin cepat. Angin yang sejuk terasa mengusap wajah-wajah mereka. Di langit, selembar awan terapung hanyut ke arah Gunung Merapi. Pepohonan di sebelah-menyebelah jalan seakan-akan terbang ke belakang, sementara pematang sawah bagaikan berputar bersama padukuhan-padukuhan di tengah-tengah bulak persawahan yang luas. Orang-orang yang berpapasan, dengan cepat berusaha menepi. Ketika matahari naik semakin tinggi, keduanya telah sampai ke tepian Kali Praga. Keduanya pun langsung membawa kuda mereka naik ke atas sebuah rakit yang cukup besar, bersama beberapa orang penumpang yang lain. Setiap kali kuda Glagah Putih yang besar dan tegar itu masih saja menarik perhatian banyak orang. Seorang pedagang yang nampaknya cukup berhasil telah menanyakan dari mana Glagah Putih mendapatkan kuda itu. “Dari seorang sahabat, Ki Sanak. Sahabatku memiliki beberapa ekor kuda yang baik. Ia telah memberikan kepadaku seekor,“ jawab Glagah Putih. “Jika ada orang yang menjual kuda sebaik itu, aku mau membeli dengan harga berapapun juga,“ berkata orang itu. Glagah Putih mengetahui maksudnya. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapinya. Namun orang itu kemudian berkata selanjutnya, “Apakah kau tidak ingin menukarkan kudamu, Ki Sanak? Jika kau sudah terlalu lama memiliki dan barangkali sudah menjadi jemu.” Tetapi Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Tidak Ki Sanak. Aku tidak merasa jemu dengan kudaku ini.” Tiba-tiba saja Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Barangkali Ki Sanak juga tertarik pada kudaku? Aku-lah yang sudah merasa jemu dengan kudaku. Aku ingin menggantinya dengan kuda setegar kuda adikku itu.” Orang itu mengerutkan keningnya. Sambil memandang kuda Agung Sedayu ia berkata, “Kudamu biasa-biasa saja Ki Sanak.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Justru karena itu, aku ingin kuda yang tidak bisa.” Pedagang itupun tertawa pula. Demikianlah, rakit mereka pun bergerak semakin dekat dengan tepian di seberang. Pedagang itu tidak habis-habisnya mengagumi kuda Glagah Putih. Ketika kemudian mereka turun selelah membayar upah penyeberangan, pedagang itu masih juga berkata, “Jika kapan-kapan kau menjadi jemu dengan kudamu, katakan kepadaku, Ki Sanak.” “Kemana aku mencari Ki Sanak?“ berkata Glagah Putih. “Aku tinggal di padukuhan Karang Gayam, Kademangan Kleringan, Ki Sanak. Namaku Wirakerti.” “Jadi Ki Sanak orang Kleringan?” bertanya Glagah Putih dengan nada tinggi. “Ya. Apakah kalian pernah pergi ke Kleringan?“ bertanya orang itu. “Aku orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku banyak mengenal orang-orang Kleringan. Aku juga mengenal Ki Demang,“ jawab Glagah Putih. “O,” pedagang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Syukurlah jika demikian. Datang saja ke rumahku meskipun kau tidak ingin mejual kudamu. Aku sudah merasa senang mendapat kesempatan mengamatinya.” “Terima kasih, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. Namun mereka pun kemudian berpisah. Glagah Putih dan Agung Sedayu mengambil jalan yang langsung menuju ke padukuhan induk Tanah perdikan, sementara orang itu menuju ke Kleringan. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Agung Sedayu telah berpacu kembali menuju ke padukuhan induk. Ketika mereka sampai di rumah, ternyata Ki Lurah Branjangan masih ada di rumah itu pula. Setelah beristirahat sejenak sambil minum-minuman hangat, Sekar Mirah yang segera ingin mengetahui tugas apa yang harus diemban oleh suaminya telah bertanya, “Perintah apakah yang Kakang terima dari Panembahan Senapati?” Agung Sedayu pun telah menceritakan dengan singkat tugas yang harus dilakukannya. Ia memilih berangkat bersama Glagah Putih daripada mengajak satu dua orang prajurit dari Pasukan Khususnya, yang sedang menikmati masa-masa istirahat mereka. “Jadi Kakang Glagah Putih akan ikut bersama Kakang Agung Sedayu dalam tugas ini?“ bertanya Rara Wulan “Ya. Ia akan pergi bersamaku untuk beberapa hari lamanya.“ “Tetapi Kakang harus membawanya pulang seutuhnya,“ berkata Rara Wulan. Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia masih bertanya, “Apa yang kau maksudkan? Apakah aku harus membawanya pulang tanpa cacat, tanpa segores luka pun di tubuhnya, atau aku harus membawanya pulang dengan hatinya yang masih utuh tanpa dilukai oleh gadis-gadis Pati?” “Ah, Kakang. Pokoknya utuh semuanya,“ jawab Rara Wulan. Yang mendengar jawaban itu tertawa. Wajah Rara Wulan tiba-tiba saja menjadi panas. Sambil menundukkan kepalanya ia berdesah beberapa kali. “Jangan cemas, Wulan,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku akan membawanya pulang dengan tanpa cacat. Tubuh dan hatinya.” Rara Wulan masih saja berdesah. Tetapi bahwa Agung Sedayu masih mempunyai waktu satu dua hari sebelum berangkat, telah membuat Sekar Mirah agak terhibur. Ia masih sempat berbincang panjang dengan suaminya, yang baru saja pulang dari medan perang dengan mempertaruhkan jiwanya. Namun Sekar Mirah pun menyadari bahwa tugas yang diemban oleh Agung Sedayu itu pun bukan tugas yang ringan. Ia akan berada di tempat yang asing dalam tugas sandi. Namun akhirnya, sampai pula saatnya Agung Sedayu dan Glagah Putih harus berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka masih akan singgah di sebuah padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing. Padepokan Orang Bercambuk, yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura. Semalam menjelang keberangkatan Agung Sedayu dan Glagah Putih, keduanya sempat mengunjungi dan minta diri kepada Ki Gede. Sedangkan untuk sementara Agung Sedayu minta agar Ki Lurah Branjangan berada di barak pasukan khususnya. Meskipun ia sudah mengatur tugas bagi para pembantunya, namun Ki Lurah Branjangan masih tetap mempunyai pengaruh di barak Pasukan Khusus itu. Meskipun Sekar Mirah mengerti sepenuhnya bahwa suaminya menjalankan tugasnya, namun rasa-rasanya berat juga melepaskannya pergi tanpa mengetahui kapan ia akan kembali. Demikian pula Rara Wulan. Meskipun kedudukan Rara Wulan masih belum sama seperti Sekar Mirah yang melepas Agung Sedayu, namun hati Rara Wulan pun terasa bergejolak pula. Berkuda Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka melarikan kuda mereka menyusuri bulak-bulak panjang dan pendek. Keduanya sama sekali tidak singgah di Mataram. Mereka justru menghindari agar perjalanan mereka tidak terhambat. Di perjalanan, keduanya harus berhenti untuk beristirahat serta memberi kesempatan kuda-kuda mereka istirahat pula. Sebagaimana mereka menghindari Kotaraja, maka mereka pun telah menghindari bekas perkemahan pasukan Mataram dan pasukan Pati di Prambanan. Mereka menyeberangi Kali Opak dan Kali Dengkeng beberapa ratus patok dari perkemahan. Kemudian keduanya melarikan kuda mereka langsung menuju Jati Anom, melingkar di kaki Gunung Merapi. Tidak ada hambatan yang mereka temui di perjalanan. Meskipun ada beberapa padukuhan yang masih nampak sepi, namun pada umumnya orang-orang yang mengungsi dari sekitar jalur jalan yang diperkirakan akan dilalui pasukan Pati, telah kembali. Padukuhan-padukuhan di sekitar Jati Anom pun telah mulai terisi. Pada umumnya orang-orang laki-laki telah kembali ke rumah mereka untuk mempersiapkan tempat bagi keluarganya. Bahkan ada juga satu dua keluarga yang seluruhnya telah kembali ke rumah mereka masing-masing. Sementara itu, beberapa kelompok prajurit telah berada di Jati Anom untuk menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi, jika ada sekelompok orang yang ingin mencari kesempatan bagi kepentingan mereka sendiri. Bahkan kemungkinan timbulnya kejahatan terhadap orang-orang yang pulang dari pengungsian. Sementara barang-barang yang berharga masih terkumpul di satu tempat khusus, sebagaimana mereka simpan selama mereka mengungsi. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak singgah dimana-mana. Tetapi kadang-kadang keduanya memang harus berhenti jika mereka berpapasan dengan sekelompok prajurit yang sedang meronda. Kepada para prajurit yang menghentikan mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus menjawab beberapa pertanyaan sebelum mereka diperkenankan melanjutkan perjalanan. Tetapi setiap kali keduanya menyatakan akan pergi ke padepokan kecil di Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Widura, maka mereka dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih telah disambut dengan gembira sekali oleh Ki Widura. Selain mereka memang sudah lama tidak bertemu, Widura juga selalu berdebar-debar jika ia mengingat anaknya yang berada di dalam lingkungan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Widura tahu bahwa Glagah Putih dan Agung Sedayu terlibat dalam perang antara Mataram dan Pati. Namun ternyata bahwa di padepokan kecil itu terdapat empat orang yang sebelumnya tidak dikenal oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Ki Widura pun segera memperkenalkan mereka, bahwa mereka adalah para pengungsi yang menyingkir dari para prajurit Pati, yang kadang-kadang bersikap bermusuhan dengan orang yang tidak bersedia membantu mereka memusuhi Mataram. “Siapakah Angger berdua ini?“ bertanya Ki Lurah Wiranata, salah seorang dari keempat orang pengungsi itu. Ternyata Agung Serayu tetap bersikap berhati-hati, justru karena tugasnya. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku kemenakan Ki Widura, Ki Sanak. Sedang adik sepupuku ini adalah putra Paman Widura sendiri.” “O,“ orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya pula, “Sekarang Angger tinggal dimana?” “Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sanak. Istriku orang Tanah Perdikan itu. Sementara ini aku-lah yang menggarap sawah dan ladangnya, warisan dari orang tuanya.” Ternyata Ki Widura tanggap akan sikap Agung Sedayu. Iapun sudah menduga bahwa Agung Sedayu tentu sedang mengemban tugas penting, sehingga ia tidak dapat menyebut kenyataan tentang dirinya kepada orang yang memang belum begitu dikenalnya. Karena itu, maka justru iapun berkata, “Sementara ini anakku ikut bersamanya untuk membantunya.” Orang-orang itu mengangguk-angguk. Meskipun agaknya tersimpan beberapa pertanyaan lagi, namun orang itu sudah tidak bertanya lebih jauh. Agung Sedayu dan Glagah Putih bermalam satu malam di padepokan kecil itu. Ketika keduanya mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Ki Widura sendiri, keduanya telah mengatakan tugas apa yang sebenarnya sedang mereka pikul itu. “Hati-hatilah,“ pesan Ki Widura, “dalam suasana dan persiapan perang, para prajurit kadang-kadang menjadi kehilangan kesempatan untuk merenungi langkah-langkah yang mereka ambil. Mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan, justru karena mereka sendiri selalu merasa terancam.” “Ya, Paman,“ jawab Agung Sedayu. Namun dalam pada itu Glagah Putih bertanya, “Dimana kuda-kuda kita akan kita tinggalkan selama kita pergi ke Pati? Rencana kami kuda-kuda itu akan kami tinggalkan disini. Tetapi dengan demikian tentu akan menimbulkan pertanyaan pada keempat orang itu.” “Memang mungkin. Sementara itu aku juga masih belum dapat mengatakan apakah mereka benar-benar dapat dipercaya. Mereka nampaknya memang benar-benar menyingkir dari tekanan para prajurit Pati. Sementara itu, selama mereka di sini, mereka juga tidak berbuat sesuatu.” “Meskipun demikian, bukankah kita harus berhati-hati, Ayah?” “Ya,“ Ki Widura mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi biarlah kuda-kuda itu di sini. Mereka tidak akan tahu kemana kalian pergi.” Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah, Paman. Kami akan meninggalkan kuda-kuda kami di sini. Kami berharap bahwa orang-orang itu benar-benar orang yang sedang mengungsi, sehingga tidak mempunyai niat buruk, terutama kepada Mataram. Kemudian kami pun yakin bahwa mereka tidak akan tahu, kemana kami akan pergi.” Keesokan harinya, ketika keduanya minta diri untuk meneruskan perjalanan, Agung Sedayu dan Glagah Putih mengatakan bahwa mereka hanya akan melihat-lihat rumah mereka di Jati Anom dan Banyu Asri. Demikianlah, Agung Sedayu pun sudah mulai menempuh perjalanan mereka yang panjang dengan tugas yang berat pula. Glagah Putih menganggap bahwa perjalanan itu merupakan bagian dari laku yang harus ditempuhnya untuk menyempurnakan ilmunya. Ia akan mendapatkan banyak pengalaman yang akan berarti dalam hidupnya kelak. Karena itu, Glagah Putih Justru merasa bahwa tugas itu merupakan satu keberuntungan baginya. Langit yang bersih dan sinar matahari pagi yang menyiram batang padi di sawah, membuat pagi itu menjadi cerah. Embun yang bergayutan di ujung-ujung daun mulai menguap ketika panas matahari menyentuhnya. Meskipun perang setelah selesai, tetapi sawah yang terbentang luas itu masih belum digarap dengan baik. Masih ada kotak-kotak sawah yang masih belum dibersihkan dari rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela batang padi. Di jalan-jalan masih belum nampak banyak orang yang berjalan hilir mudik. Baru satu dua orang yang berjalan dengan tergesa-gesa melintasi bulak yang panjang. Dengan demikian, jalan bulak yang panjang itu masih terasa sangat lengang. Ketika seorang laki-laki yang sudah separuh baya lewat mendahului mereka berdua, Agung Sedayu pun berusaha berjalan di sampingnya, sementara Glagah Putih pun melangkah dengan langkah-langkah panjang di belakangnya. Ternyata orang yang sudah separuh baya itu nampak menjadi sangat gelisah. Beberapa kali ia berpaling. Kemudian memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti. “Ki Sanak,“ sapa Agung Sedayu kemudian, “apakah aku boleh bertanya serba sedikit sambil berjalan bersama?” Orang itu nampak ragu-ragu. Namun ketika beberapa kali ia memandang wajah Agung Sedayu dan Glagah Putih, agaknya telah terjadi perubahan sikap batinnya terhadap kedua orang yang berjalan di sebelahnya itu. Meskipun masih dengan ragu, tetapi orang itu justru bertanya, “Apa yang akan kau tanyakan?” “Kenapa jalan yang cukup lebar, rata dan nampaknya terpelihara ini menjadi demikian sepi dan lengangnya?” “Banyak orang yang pergi mengungsi Ki Sanak,“ jawab orang yang sudah separuh baya itu. “Bukankah perang sudah selesai? Apakah mereka masih belum kembali dari pengungsian?” “Sebagian memang sudah. Tetapi sebagian memang belum. Sawah itu pun nampak ada yang sudah dipelihara dengan tertib, tetapi masih ada yang belum dijamah sejak kami pergi mengungsi.” “Kenapa masih ada yang belum bersedia kembali? Bukankah sudah tidak ada yang ditakuti lagi?” “Segala-galanya belum mapan di sini, Ki Sanak. Memang sebagian prajurit telah kembali. Tetapi jumlahnya nampaknya masih belum memadai. Karena itu, masih ada orang-orang jahat yang berani memanfaatkan keadaan ini untuk mencari kekayaan buat diri sendiri.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga, bahwa setelah perang akan banyak persoalan yang timbul. Orang-orang yang pada dasarnya mempunyai watak dan sifat yang kurang baik, suasana setelah perang akan dapat mendorongnya untuk melakukannya lagi. Apalagi jika orang-orang itu menjadi kekurangan, atau pada dasarnya memang belum menghentikan kegiatannya itu. Dalam pada itu, setelah beberapa saat mereka berjalan bersama, orang itu pun kemudian berkata, “Rumahku di padukuhan yang nampak itu. Karena itu, di simpang tiga itu aku akan berbelok ke kanan.” “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “silahkan Ki Sanak. Aku akan berjalan terus.” Ketika orang itu berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih berjalan terus. Namun orang itu sempat berpesan, “Berhati-hati. Semakin jauh Ki Sanak berjalan, maka jalan-jalan akan menjadi semakin sepi. Banyak padukuhan masih kosong. Bahkan agak jauh ke utara, keadaan masih terlalu gawat.” “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Para prajurit Pati yang terdesak mundur, nampaknya mengalami kesulitan di sepanjang perjalanan mereka. Kakakku yang datang dari utara mengatakan, bahwa masih ada kelompok-kelompok kecil prajurit Pati yang menelusuri jalan kembali. Di sepanjang jalan mereka harus mendapatkan makanan dan minuman. Tetapi kadang-kadang mereka tidak sekedar ingin makanan dan minuman, tetapi juga perhiasan dan barang-barang berharga lainnya.” “Mereka tentu bukan prajurit Pati,“ jawab Agung Sedayu. “Lalu, bagaimana aku harus menyebut, jika mereka pergi ke selatan bersama pasukan yang dipimpin sendiri oleh Kanjeng Adipati Pragola?” “Prajurit Pati yang sebenarnya, jumlahnya tidak mencukupi. Karena itu Kanjeng Adipati Pati telah mengumpulkan orang laki-laki yang tinggal di sebelah utara Gunung Kendeng. Nah, laki-laki yang berasal dari daerah yang demikian luasnya itu, tentu ada di antaranya yang kehilangan pegangan ketika mereka mengalami kesulitan.” Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sambil melangkah melanjutkan perjalanan lewat jalan yang lebih sempit, “Namun bagaimanapun juga, kalian harus berhati-hati.“ “Baiklah Ki Sanak. Terima kasih atas peringatan Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meneruskan perjalanan mereka. Ketika mereka lapar dan haus, ternyata mereka sangat sulit untuk menemukan sebuah kedai yang membuka pintunya. Namun akhirnya Agung Sedayu dan Glagah Putih berhasil menemukan sebuah kedai yang meskipun kecil, namun agaknya mencukupi kebutuhan sekedar untuk mengobati haus dan lapar. Apalagi Agung Sedayu dan Glagah Puth telah terbiasa makan sederhana. Sementara itu, matahari telah mulai turun. Sinarnya bagaikan membakar ikat kepala. Di kejauhan nampak bayangan ndeg amun-amun, sejak matahari menjadi semakin rendah. Tetapi demikian keduanya memasuki kedai itu, maka terasa satu suasana yang lain. Beberapa orang sudah duduk di dalam kedai itu. Di hadapan mereka sudah dihidangkan mangkuk-mangkuk minuman. Namun agaknya mereka sudah cukup lama duduk di kedai itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih mencoba untuk tidak menghiraukan mereka. Keduanya hanya ingin makan dan minum. Tidak lebih. Seorang yang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan jambang, kumis dan janggut yang pendek tetapi tebal, melangkah mendekati keduanya. Bajunya yang terbuka memperlihatkan dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Sebuah luka goresan menyilang di antara bulu-bulu dadanya itu. Dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan seorang yang berjualan makanan dan minuman, orang itu bertanya, “Kalian mau minum dan makan apa?” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Digamitnya Glagah Putih yang hampir saja bangkit. Anak itu nampak tersinggung melihat sikap penjual di kedai itu. Agung Sedayu-lah yang kemudian menjawab, “Kami minta wedang sere saja Ki Sanak. Kemudian nasi dua mangkuk.” Orang itu tidak menjawab. Iapun kemudian menuang wedang sere ke dalam dua buah mangkuk. Menyenduk nasi, dengan sayur lodeh kluwih dan sepotong ikan ayam, dan sebungkus bothok mlandingan. Tanpa berkata apa-apa pula, orang itu menyodorkan pesanan itu kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Minum dan makanlah,“ desis Agung Sedayu kepada Glagah Putih, yang menjadi semakin tidak senang terhadap sikap penjual di kedai itu. Tetapi ia tidak membantah. Sebagaimana Agung Sedayu, Glagah Putih pun menghirup minumannya. Wedang sere dan gula kelapa, sehingga tubuh Glagah Putih menjadi semakin segar. Namun ketika Glagah Putih akan mulai makan nasi dengan sayur lodehnya, Agung Sedayu memegang pergelangan tangan Glagah Putih. “Kau tidak usah makan. Biar aku saja yang makan,“ bisik Agung Sedayu. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Agung Sedayu itu mengangguk kecil. Glagah Putih pun segera tanggap. Tentu ada sesuatu yang gawat, sehingga kakak sepupunya itu melarangnya makan. Yang segera terkilas di kepalanya adalah racun. Nasi itu tentu mengandung racun, sementara kakak sepupunya itu tawar akan segala macam racun dan bisa. Pemilik kedai yang bertubuh tegap gelisah karena Glagah Putih tidak ikut makan nasi lodeh yang telah dihidangkan. Karena itu, orang itu pun kemudian melangkah medekati Glagah Putih sambil bertanya, “Kenapa kau tidak makan Anak Muda?” “Aku masih kenyang, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. “Tetapi kenapa kalian memesan dua mangkuk nasi, jika kau masih kenyang?” “Kakakku ini terbiasa makan terlalu banyak. Ia akan menghabiskan dua mangkuk nasi dengan sayur lodeh itu.” “Kau jangan menyinggung perasaanku. Masakan kami sudah terkenal di seluruh daerah ini. Jika kau tidak mau makan, maka kau telah menghina kami.” “Maaf, Ki Sanak. Aku memang tidak lapar.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seseorang yang ada di kedai itu memberinya isyarat untuk mendekat. Orang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan bulu-bulu lebat di dadanya itu pun mendekati orang yang memanggilnya itu. Agung Sedayu yang curiga segera mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan orang-orang itu, meskipun diucapkan sangat perlahan-lahan. Seorang yang berwajah gelap berdesis lemah, “Biarkan saja. Jika yang seorang mati, anak itu tidak akan berdaya.” Namun seorang yang lain berdesis, “Kita juga tidak yakin keduanya membawa barang-barang berharga. Apa yang ada pada mereka, tidak cukup untuk mengupah menggali dua lubang kubur.” Mereka pun kemudian terdiam. Sementara orang yang bertubuh tegap dan berdada bidang itu kembali ke tempatnya tanpa bertanya apa-apa lagi kepada Glagah Putih. Sementara itu Agung Sedayu telah selesai makan. Ia sadar sepenuhnya, bahwa nasi itu memang mengandung racun. Namun kekebalan tubuhnya terhadap racun dapat mengatasinya, sehingga racun itu sama sekali tidak menimbulkan akibat apapun bagi tubuhnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus semakin berhati-hati. Jika racun itu tidak berhasil membunuh mereka, maka orang-orang itu tentu akan mempergunakan kekerasan untuk membunuh keduanya. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah selesai makan. Tetapi masih ada semangkuk nasi yang belum dimakan. Semangkuk nasi yang seharusnya dipesan bagi Glagah Putih. Orang-orang lain yang ada di kedai itu mulai menjadi gelisah. Orang yang makan dan menghabiskan semangkuk nasi itu masih tetap duduk di tempatnya. Ketika ia meneguk wedang serenya, ia masih tetap kelihatan segar. Racun yang tertelan bersama nasi yang dihidangkannya, nampaknya masih belum berpengaruh atasnya. Pemilik kedai itu mulai berkeringat. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih seakan-akan tidak menghiraukan penjual nasi dan orang-orang lain yang ada di kedai itu. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu pun berkata, “Ternyata aku tidak dapat menghabiskan dua mangkuk nasi ini. Ketika aku memesan dua mangkuk, aku kira setiap mangkuk nasi tidak sebanyak ini.” Penjual nasi itu tidak sabar lagi. Racun di nasi yang dihidangkan ternyata tidak membunuh orang itu. Meski pun demikian orang itu sempat menjadi ragu. Tetapi ia merasa yakin bahwa ia sudah menaburkan racun itu di atas nasi sebelum diberinya sayur lodeh dan lauk-pauknya. “Apakah orang ini kebal racun?” orang itu bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia mempunyai alasan untuk memulai dengan pertengkaran. Karena itu, maka iapun melangkah mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih. Dengan kasar ia berkata, “Kalian atau salah seorang dari kalian harus menelan nasi yang sudah kalian pesan.” “Bukankah itu tidak perlu, Ki Sanak?“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi aku akan menderita rugi. Jika kalian tidak makan nasi itu, lalu buat apa?” “Jangan merasa dirugikan. Aku akan membayar harganya,“ jawab Agung Sedayu pula. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kalian sudah menghina kami. Sudah aku katakan, bahwa masakanku dan istriku telah dikenal di daerah ini. Jika kalian memesannya dan tidak memakannya, itu berarti bahwa kalian telah merendahkan kemampuan kami.” “Ki Sanak. Aku bukannya baru sekali ini masuk ke dalam sebuah kedai. Tetapi aku tidak pernah mengalami perlakuan seperu ini,“ berkata Agung Sedayu. “Aku tidak peduli. Tetapi aku benar-benar merasa tersinggung dengan tingkah laku kalian.” “Sudahlan. Jangan berputar-putar. Apa sebenarnya yang kalian kehendaki?” Wajah orang itu menjadi tegang, sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Kau tentu mempunyai maksud buruk terhadap kami. Bahkan mungkin terhadap banyak orang yang telah singgah di kedaimu ini. Mungkin di belakang kedai ini terdapat sebuah kuburan yang luas tanpa pertanda apapun juga. Orang-orang yang mati karena kau racun, akan kau kubur di belakang kedai ini, atau di tempat lain yang jarang dikunjungi orang.” “Setan kau. Apa yang kau bicarakan itu?“ geram orang bertubuh tegap dan berbulu di dadanya itu. “Kita bukan anak-anak lagi. Buat apa kita harus berpura-pura? Katakan saja bahwa kau telah meracun kami berdua. Agaknya kau mempergunakan kesempatan selagi tatanan kehidupan belum mapan setelah terjadi perang. Mungkin kau berpikir, bahwa membunuh dalam suasana seperti ini sekedar untuk mendapatkan timang emas atau perak, pendok keris atau apapun juga, tidak akan ada yang mengurus, apalagi menangkap dan menghukum.” “Cukup,” orang yang semula duduk di kedai itu pun bangkit berdiri. Tiga orang yang garang. Wajah-wajah mereka geram memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Serahkan semua kekayaan yang ada padamu. Timang dan mungkin uang, cincin yang kau pakai dan segalanya.” Agung Sedayu itu pun menjawab sambil menjulurkan tangannya, “Nah, kau lihat. Aku tidak mengenakan cincin. Adikku juga tidak. Timang di ikat pinggangku pun tidak terbuat dari perak, apalagi emas. Timangku terbuat dari tembaga. Buatannya pun keras. Uang, aku hanya membawa secukupnya. Barangkali hanya cukup untuk membayar nasi dan minuman yang kami pesan, meskipun kau bubuhi racun di atasnya.” “Aku tidak peduli. Tetapi kau sudah mengetahui apa yang kami lakukan di sini. Karena itu, kau dan adikmu akan mati. Kalian akan aku kubur di belakang kedai ini. Meskipun kau tidak mempunyai barang-barang berharga, tetapi kau tidak boleh meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, karena mulutmu akan berbicara kepada banyak orang tentang kedai kami ini.” “Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “biarlah kami pergi. Kami berjanji bahwa kami tidak akan mengatakan apapun juga tentang kedai ini.” “Tidak,“ geram salah seorang di antara mereka, “satu-satunya kemungkinan terbaik bagi kalian adalah menyerahkan leher kalian. Karena dengan demikian, kalian akan dengan cepat mati. Tetapi jika kalian berusaha untuk melawan, maka kalian akan memperpanjang kesengsaraan kematian kalian.” “Kami adalah pengembara yang sudah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan seperti ini. Karena itu, jangan berharap bahwa kami akan menyerah,“ jawab Agung Sedayu. Keempat orang itu nampaknya tidak sabar lagi. Ketika keempatnya melangkah mendekat, maka Agung Sedaya dan Glagah Putih pun segera mengambil jarak di atara amben-amben bambu yang ada. bersambung cVgs.
  • 6na654ts4l.pages.dev/36
  • 6na654ts4l.pages.dev/366
  • 6na654ts4l.pages.dev/354
  • 6na654ts4l.pages.dev/148
  • 6na654ts4l.pages.dev/193
  • 6na654ts4l.pages.dev/316
  • 6na654ts4l.pages.dev/100
  • 6na654ts4l.pages.dev/331
  • 6na654ts4l.pages.dev/80
  • api di bukit menoreh 290